Perspektif

Tren Buzzer: Represi Digital Jaman Sekarang

2 Mins read

Berbicara mengenai trend buzzer memang tak ada habisnya. Baru-baru ini bahkan mulai ramai kembali. Sejak ramai kasus vonis pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang hanya dituntut satu tahun penjara, Bintang Emon membuat roasting kritik melalui video di media sosialnya dengan judul #gasengaja. Video ini menyampaikan keresahan terhadap fenomena tuntutan terhadap Novel Baswedan tersebut.

Bintang Emon dan Sederet Korban Buzzer

Banyaknya masyarakat digital yang menyebarkan postingan tersebut membuatnya menjadi viral. Namun, ditengah tren video roasting tersebut pada Senin(15/6) Bintang Emon menjadi trending topic di Twitter bukan karena videonya. Justru karena ulah buzzer yang mencoba melakukan doxing (sebar data pribadi) yang tidak sesuai dengan fakta kebenaran. Doxing tersebut menjadi fitnah dan mencoba membunuh karakter dan psikis salah satu komika tersebut.

Tidak hanya permasalahan yang terjadi pada Bintang Emon. Korban buzzer juga menyerang kelompok akademis. Beberapa minggu lalu, mahasiswa UGM akan melaksanakan diskusi akademik menyoal terkait tema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Sistem Ketatanegaraan”. Diskusi yang rencananya akan dilakukan pada 29 Mei 2020 harus terserang oleh ulah buzzer.

Berdasarkan dari press release dari Fakultas Hukum UGM menyatakan bahwa kegiatan diskusi yang akan diselenggarakan merupakan diskusi akademik sebagai bentuk kebebasan akademik. Diskusi ini bertolak belakang dengan tuduhan buzzer yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan makar.

Tidak sekedar menuduh sebagai kegiatan makar, namun juga adanya ancaman terhadap mahasiswa penyelenggara diskusi baik dengan cara diretas hingga aksi teror ancaman pembunuhan. Diantara kasus tersebut masih banyak kasus-kasus yang dilakukan oleh para buzzer sebagai bentuk pembungkaman kritik masyarakat terhadap pemerintah.

Fenomena trend buzzer merupakan trend yang semakin hangat diperbincangkan selain fenomena menjelang Pemilu 2019. Dan saat ini sedang bergulir misalnya, buzzer seolah menjadi peran penggiring opini publik untuk tidak mengkritisi kebijakan pemerintah. Selain itu juga melakukan pengroyokan virtual kepada masyarakat yang melakukan kritik dan kontra terhadap kebijakan pemerintah.

Baca Juga  Islam: Agama Lintas Etnis, Budaya, dan Benua

Sehingga tren serangan siber ini berlangsung hingga saat ini. Yaitu saat serangan buzzer menyerang masyarakat digital yang mengkritik terhadap kebijakan pemerintah. Serangan siber dengan kebiasaan buzzer menjungkir balikkan logika, untuk membunuh karakter orang-orang yang kritis terhadap pemberi kebijakan. Selain menciderai demokrasi, trend buzzer ini juga sebagai bentuk tren tindakan represi digital.

Media Sosial Sarana E-Demokrasi

Pada dasarnya ditengah teknologi yang semakin berkembang ini banyak alternatif media yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan pendapat, saran bahkan kritik. Terlebih hadirnya media sosial ini dengan bebasnya masyarakat untuk menyampaikan kritik kepada siapa ia akan menuai kritik.

Landasan kebebasan berpendapat sebenarnya pun juga sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Mengacu pada undang-undang di atas, di era konvergensi media saat ini dimana media digital begitu pesat berkembang hingga hadirnya globalisasi telah membuat arus ide, gagasan dan nilai semakin intens dengan karakter yang borderless. Dengan hadirnya internet, mereka dapat menyuarakan hak-hak yang sebelumnya mendapat tekanan.

Bahkan di negara yang menganut aspek demokrasi ini, seharusnya media sosial sebagai sarana baru bagi masyarakat untuk dapat saling berinteraksi satu sama lain serta dengan pemerintah. Media sosial juga digunakan untuk menyampaikan aspirasi sebagai wujud penyampaian hak demokrasi yang dimiliki sebagai rakyat negara.

Tindakan Represi Digital

Idealnya penerapan E-Demokrasi harus dijalankan seideal mungkin. Terlebih pada indikator freedom of net. Namun, trend buzzer akhir-akhir ini menjadi realita yang buruk dalam praktik e-Demokrasi di Indonesia.

Jika melihat fenomena-fenomena tadi, merupakan bentuk represi yang dilakukan di media digital sebagai upaya pembungkaman-pembungkaman terhadap masyarakat untuk melaksanakan hak demokrasinya. Suara-suara yang disampaikan kemudian dapat ditimpa oleh suara-suara yang berlawanan. Motif tersebut serupa apa yang sudah dilakukan oleh buzzer saat ini.

Baca Juga  Media Sosial adalah Alat Efektif untuk Menyebarkan Kesetaraan Gender

Hal tersebut dapat menciderai kebebasan menyuarakan pendapat melalui internet (freedom of net). Salah satunya adalah Violations of User Right, yaitu sejauh mana payung hukum melindungi kebebasan berpendapat? sejauh mana pengawasan aktivitas di internet? apakah jurnalis atau masyarakat mendapat ancaman kekerasan fisik maupun mental atas berita yang mereka tulis?.

Kita bisa merefleksikan bagaimana pemerintah mengupayakan kebebasan berpendapat melalui media sosial dengan apa yang sudah dijabarkan sebelumnya. Ternyata masih saja banyak tindakan represi yang masih terjadi, seperti trend buzzer politik yang tidak patut menjadi contoh pada masyarakat digital saat ini.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Seorang Jurnalis Humas UMY yang sedang melanjutkan studi di Magister Ilmu Komunikasi UGM
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *