Perspektif

“Insya Allah” yang Meragukan

3 Mins read

Sebagai masyarakat muslim, begitu akrab dengan terminologi Insya Allah yang sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya pun sangat begitu kompleks dan beragam. Ada kala kita gunakan saat kita diajak atau diundang rekan untuk nongkrong di esok hari. Kadang diucapkan pada saat ditanya mengenai kesiapan maupun kepahaman atas suatu hal.

Memang tidak ada yang salah apabila kita mengucapkan kalimat Insya Allah, maknanya pun menggambarkan ketergantungan kita kepada Rabb. Kata ini mengandung unsur tauhid juga, yaitu “Jika Allah Mengizinkan”. Akan tetapi yang menjadi kesalahpahaman—atau bahasa kerennya adalah Miskonsepsi—di sini adalah implementasi dan niat pengucapan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Asbabun Nuzul Insya Allah

Dalam buku Asbabun Nuzul yang disusun oleh KH.Q. Shaleh, (1995) menukil riwayat mengenai asbabun nuzul surah Al-Kahfi 23-24:

 وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ – ٢٣

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” QS. 18:23

اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖوَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا – ٢٤

kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” QS. 18:24

Suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu`ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal berkaitan dengan sikap, perkataan dan perbuatan Muhammad.

Pendeta Yahudi berkata,”Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawab, ia nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian. Lalu apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang roh,”

Baca Juga  Membaca untuk Islam Indonesia yang Berkemajuan

Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Rasulullah SAW bersabda, ”Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok”. Beliau menyatakan itu tanpa disertai kalimat “Insya Allah”.

Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak kunjung datang. Orang-orang Makkah mulai mencemooh. Rasulullah sendiri sangat sedih, gundah, gulana dan malu karena tidak tau apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian datanglah Jibril membawa wahyu menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan “Insya Allah”. (QS. 18:23-24)

Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (QS. 18:9-26); Seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (QS.18:83-101); dan perkara roh (QS.17:85).

Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab Jaamiul Bayan menjelaskan, ”Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, keuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.

Pengaplikasian

Dengan menilik ke Asbabun Nuzul tersebut tentunya kita dapat mengambil ibrahnya. Insya Allah merupakan satu kalimat yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk lemah, makhluk yang hanya mampu merencana dan mengusahakan. Finalnya tetap ada dalam ridho dan izin-Nya. Satu inti yang harus kita pegang adalah hal tersebut.

Namun realitanya terkadang berbeda, bukan bermaksud untuk men-generalisir, bukan pula bermaksud menjudge hati dan niat setiap orang yang mengucapkannya. Insya Allah merupakan kalimat yang perlu sinkronisasi dua elemen dalam tubuh, yaitu lisan dan hati (niat). Dalam realitanya kadangkala dua unsur tersebut tidak saling berkompromi— “besok berangkat kajian ya bro?”, (dalam hati gue : “males ah, besok gue ada acara sendiri sebenernya, tapi gimana ya) akhirnya keluar kalimat ”InsyaAllah ya bro”.

Baca Juga  Memperbaiki Diri Sama Dengan Memperbaiki Jodoh

Bukan bermaksud bersuudzon, tapi baiknya kita melihat diri kita masing-masing. Sudah seperti apa implementasi kita terhadap kalimat “Insya Allah“. Sejauh mana kita meng-iya-kan ajakan saudara kita dengan memang niat dan kemudian dilandasi InsyaAllah sebagai upaya ketawadhuan. Dan sejauh mana pula kita meng-iyakan ajakan saudara kita yang padahal sebenarnya kita setengah hati atau malah tidak ada niat untuk memenuhinya tetapi kita tetap melandasi hal itu dengan Insya Allah? Apakah kalimat ini hanya sebagai tameng saja?

Bagaimana jika kata Insya Allah dijadikan tameng untuk memperdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab? Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa. Pertama, menipu dengan menatasnamakan zat-Nya. Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita enggan menepatinya.

Begitu juga ketika kita ditanyai tentang perihal kepahaman atau kesiapan akan suatu hal—“besok udah siapkan?” atau “materi ini sudah paham?”. Tidak ada istilah Insya Allah untuk menjawab hal tersebut. Kesiapan dan kepamahan adalah bentuk kepastian yang datangnya dari diri kita sendiri atas ikhtiar dan atas doa.

Waktu yang Tepat

Jika kita melihat lagi Asbabun Nuzul di atas, tentu kita akan mengerti kapan kita harus mengucapkan Insya Allah. Yaitu saat kita memastikan esok hari yang diluar kendali kita, apa maksudnya? Seperti pada Asbabanun Nuzul di atas, Rasulullah SAW menunggu wahyu dari Allah, wahyu dari Allah adalah hal di luar kuasa dan kendali Rasulullah. Tetapi sepenuhnya adalah kendali Allah, maka dari itu sangat dianjurkan untuk melandasinya dengan kalimat Insya Allah sebagai bentuk ketawadhuan dan kerendahan diri kita.

Berbeda dengan kesiapan dan kepahaman, ia datang atas ikhtiar kita sendiri. Yang paling mengetahui apakah kita paham dan apakah kita siap adalah diri kita sendiri. Memang Allah lah sumber dari segala bentuk kesiapan dan kepamahan kita, tetapi hal itu dipicu dan kita hasilkan dari segala ikhtiar kita, dalam kata lain kepamahan dan kesiapan merupakan hal yang dibawah kendali kita.

Baca Juga  Banyak Anak, Kebanyakan Rezeki?

Wallahu A`lam

Editor: Sri/Nabhan

1 posts

About author
Aktif di Organisasi IPM. Saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Perkaderan PD IPM Klaten dan juga menjadi Korps Fasilitator PW IPM Jawa Tengah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds