Berpikir Kritis ala Imam Ghazali — Sekitar pertengahan tahun 2018, saya memulai suatu project yang bertema berpikir kritis. Tema ini begitu menarik saat itu, karena sebagaimana yang saya amati dan rasakan sendiri, berpikir kritis bukan sesuatu yang mudah dilakukan.
Hal ini terkonfirmasi ketika dalam diskusi dengan teman-teman Indonesia yang sedang studi di Australia. Mereka katakan bahwa hal pertama yang sering menjadi perhatian tutor kepada esai mereka adalah terkait bagaimana mereka menampilkan ‘suara’ mereka sendiri.
Memaknai Berpikir Kritis
Berbeda dengan pandangan awam, berpikir kritis bukan sekadar menyajikan kesalahan-kesalahan dari pandangan atau teori tertentu. Berpikir kritis juga bukan hanya soal berhasil mengidentifikasi fakta atau pandangan yang kontra terhadap suatu tesis yang ingin kita sanggah. Lebih dari itu, berpikir kritis menuntut kita untuk meneliti kekuatan argumen, dalil dan bukti dari semua posisi atau pandangan—entah apakah ia berseberangan atau memiliki variasi—untuk kemudian menentukan di mana posisi kita di hadapan permasalahan yang kita sedang pelajari.
Secara umum, tema berpikir kritis adalah tema yang menarik perhatian sangat besar dari para peneliti global, bahkan hingga saat ini. Mudah sekali untuk menyadari itu: perhatikan angka sitasi dari riset-riset utama berpikir kritis, lalu lihat kapan dan apakah ia masih terus disitasi hingga ke tahun-tahun belakangan.
Bila bicara mengenai penelitian bertema berpikir kritis, jawabannya sudah tentu sangat luar biasa. Dalam jangka waktu lima tahun belakangan, ada ribuan kutipan secara akumulatif yang memantik berbagai riset tinjauan literatur. Saya pun sempat kepayahan, karena harus menyelami ‘samudra’ literatur dalam topik ini demi penyelesaian tugas akhir dari program master.
Dalam proses belajar itu terbersit pertanyaan dalam benak saya, “Bagaimana konsep berpikir kritis dimaknai dalam khazanah keilmuan Islam sendiri?”
Pertanyaan ini bagi saya penting. Selain karena saya seorang Muslim, juga karena Islam sebagai agama dengan penganut terbanyak kedua di dunia memiliki pengaruh besar bagi kehidupan secara global. Saya pun memulai pencarian itu.
Imam Ghazali dan Berpikir Kritis
Saya menemukan penelitian mengenai topik berpikir kritis seringkali diasosiasikan dengan Imam Ghazali, ilmuwan Muslim paling cemerlang dalam sejarah yang sangat berpengaruh di dunia.
Sosok beliau bukan sosok yang main-main. Ia dianggap sebagai manusia yang lahir seribu tahun sekali. Ia juga disebut sebagai hujjatul Islam, yang mensistematisasi Islam sehingga kita memiliki khazanah keilmuan yang begitu kaya dan bisa kita rasakan saat ini.
Menurut para pengkaji karyanya, Imam Ghazali memiliki konsep yang unik mengenai berpikir kritis. Misalnya saja, beliau menuntut kita untuk kritis demi mencapai ilmu yang berada dalam derajat ‘haqqul yaqin’; keyakinan tanpa keraguan karena penyaksian langsung kita tanpa tabir yang menghalangi. Bila melihat sumber lain, haqqul yaqin juga bermakna sebagai kesadaran atas hakikat segala sesuatu: bahwa segalanya hanya bayangan dari wujud sejati (Tuhan).
Dalam kitab Al-Munqidz min adh-dhalal (Pembebas dari Kesesatan), Imam Ghazali mendorong Muslim untuk selalu mencari dan menemukan sendiri kebenaran. Alih-alih taqlid atau mengikuti pendapat dari seorang ulama sekalipun ulama itu ma’shum (p. 73).
Malahan, beliau menyuruh kita untuk menilai kebenaran dari pendapat-pendapat para ulama lalu berijtihad sendiri. Sebabnya, imam atau bahkan nabi adalah manusia yang tidak bebas dari kesalahan (p. 81). Mereka juga berijtihad, sebagaimana semua manusia juga boleh berijitihad.
Imam Ghazali sendiri mencontohkan melalui usahanya untuk memilah dan memilih kebenaran yang datang dari semua golongan pencari kebenaran (ahli kalam, ta’lim, filsuf dan sufi). Bagi Imam Ghazali, merupakan keharusan bagi kita untuk memahami secara mendalam suatu gagasan secara langsung dari para penggagasnya, sebelum kita bisa mengkritik gagasan mereka.
Sejalan dengan anjurannya itu, Imam Ghazali terkenal karena kehebatannya dalam mensistematisasikan pemikiran-pemikiran para ilmuwan Muslim yang berbeda sekalipun dengannya.
Sehingga bahkan dikatakan bahwa para lawan berpikir itu menggunakan karya Imam Ghazali sebagai dasar bagi pemikiran mereka. Demikian dalamnya pemahaman beliau sehingga bukunya yang sedianya dia gunakan untuk dasar kritik, malah menjadi sandaran bagi target kritiknya.
Sikap ‘Orang Buta yang Memanah’
Sikap Imam Ghazali sangat berbeda dengan masyarakat, pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan kita hari ini; yang pada umumnya senang menjelekkan suatu pandangan tanpa sebelumnya memahami sepenuhnya pandangan yang mereka tidak setujui. Bagi Imam Ghazali, sesungguhnya mereka seperti ‘Orang buta yang memanah’ (p.10). Perilaku semacam ini jelas bukan adab seorang Muslim dalam memandang realitas.
Sungguh apa yang dikatakan Imam Ghazali sebetulnya sejalan dengan pengertian berpikir kritis yang saat ini menjadi budaya akademik di barat. Hal itu tercermin dari bagaimana mereka mengembangkan ilmu dengan saling kritik-otokritik, serta kehatian-kehatian dalam menilai atau memahami suatu gagasan.
Imam Ghazali adalah contoh nyata bagaimana Islam berpengaruh bagi barat, namun juga sekaligus contoh ironi bila melihat fakta bahwa Muslim sendiri tidak meneladani kedisiplinan ilmiah beliau.
Meski demikian, Imam Ghazali juga tidak lepas dari kelemahan. Ia banyak dikritik karena sikapnya terhadap para filsuf Muslim aristotelian. Misalnya dalam Al-Munqidh, ia berbicara dengan tegas mengenai kesesatan pandangan para filsuf-filsuf Muslim hingga memberi label yang berlebihan, “..mereka wajib dianggap kafir. Demikian pula seperti Ibnu Sina, Al Farabi dan lain-lain.” (p.44). Dan sebagai konsekuensinya di halaman belakangan dia melarang kita membaca karya-karya para filsuf itu.
Tentu hal itu bukan tanpa alasan. Menurut Ahmad Fadhil, dalam pengantarnya untuk ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali selayaknya pawang ular yang ingin menghindarkan anak-anaknya dari ular yang berbisa (filsafat).
Sedemikian sayangnya hingga kemudian anjuran Imam Ghazali menyebabkan banyak Muslim hari ini masih mengalami ‘trauma’ kepada filsafat. Bahkan ‘alergi’ untuk membaca dan memahami karya-karya para filsuf Muslim. Hal ini tentu menggelisahkan karena menyebabkan minimnya pembacaan kritis kita kepada pemikiran filsuf-filsuf Muslim yang dianggap ‘kafir’ oleh Imam Ghazali.
Meneladani Imam Ghazali
Terlepas dari kelemahannya, bagaimanapun juga Imam Ghazali telah memberikan teladan yang paripurna sebagai seorang ilmuwan Muslim. Di tengah-tengah perasaan bahwa komunitas Muslim tidak mengalami kemajuan yang signifikan, barangkali sudah saatnya bagi kita menjadi Imam Ghazali: mempelajari sendiri secara langsung, mendalam, objektif dan–tentunya yang paling penting–kritis atas semua pandangan sekalipun pandangan itu pada awalnya membuat kita tidak nyaman.
Melalui proses itu, harapannya kita dapat menggali mutiara-mutiara kebijaksanaan dari semua penjuru dunia sebagai bekal untuk membangun kembali peradaban emas Islam.
Editor: Zahra