Sepenggal kisah dari seorang sarjana yang baru lulus kuliah sebut saja istilah millenialnya fresh graduate. Suatu ketika ia kemudian pulang ke kampung halaman tempat ia dilahirkan. Tanpa cukup lama ia mengamati kampung halamannya itu, kemudian naluri agent social of change mahasiswa mantan aktivis ini muncul di saat ia melihat kegelisahan bahwa ada yang perlu diperbaiki dari kampungnya ini.
Kampung tersebut perlu perubahan, baik perubahan secara fisik maupun non-fisik. Terdapat banyak kegelisahan yang dialami oleh masyarakat di kampungnya mulai dari; potensi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak, atau harapan para remaja yang ingin melanjutkan ke jenjang studi yang lebih tinggi, imbuhya.
Mereka butuh pendidikan yang layak untuk dapat belajar ilmu agama, belajar ilmu sains, belajar makna kebhinekaan, belajar 4 pilar kebangsaan agar negara tetap ada sampai kapan pun meskipun gedung kejaksaan agung hangus luluh lantak menghabisi dokumen kejahatan koruptor kelas kakap yang belum diungkap.
Fakta lain didapatkan bahwa di kampungnya itu cenderung memiliki akses yang jauh, ribet, susah dan lain sebagainya, sehingga mereka tidak punya semacam keinginan yang kuat, tidak memiliki harapan/hopeless.
Kemudian tidak ada orang yang memotivasi yang bersangkutan untuk bisa maju dan berkembang sebagaimana masyarakat perkotaan. Jika ini semua dibiarkan akan berbahaya bagi masyarakat kampungnya tersebut.
Ia kemudian mengajak diskusi para stakeholder di kampungnya tersebut dan memberikan saran untuk perbaikan dan pemberdayaan sesuai dengan ilmu yang telah diperoleh. Sayang, saran hanyalah saran belaka tanpa ada tindak lanjut.
Akhirnya, si “sarjana” ini hanya bisa menggerutu dan merasa kesal. Muncul di benaknya; kenapa orang-orang ini (stakeholder) takut untuk melakukan perubahan? Padahal mereka diamanahi memimpin kampung/desanya ini untuk kemaslahatan warganya bukan?
Pernahkan kamu sebagai mantan mahasiswa mengalami hal seperti demikian? Mari kita bergandengan tangan.
“Think Globally, Act Locally”
Ungkapan “Think Globally, Act locally” nampaknya dalam kisah non-fiksi tersebut sangat berkorelasi, tanya mengapa? Think globally menuntut kita untuk dapat berpikiran dan berwawasan yang luas. Melihat dunia dengan keseluruhan. Selain itu, kita harus berpikir secara majemuk, menerima pemikiran orang lain yang positif guna untuk peningkatan kualitas hidup.
Act locally, ini suatu tindakan yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, dengan berpikiran luas dan pengalaman kita mampu untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak terpaku dengan aturan lama, tetapi melakukan inovasi dengan tetap mempertahankan norma-norma lokal yang positif.
Di antara berbagai macam cara untuk mewujudkan “Think globally, Act locally” ini salah satunya adalah dengan cara memperbanyak positive thinking atau berpikiran positif.
Berpikir Positif
Jika kita mendengar kata positif mungkin secara tidak langsung akan terbayang kepada hal-hal yang konotasinya baik-baik saja. Sering kali kita mendengar ungkapan “Banyakin berpikir positif yuk”, atau “Udah positive thinking aja” ungkapan seperti itu sering kali kita dengar mengenakan atau sedang merasa ragu-ragu.
Contoh kecil misalnya, ketika kita ingin melakukan sesuatu namun pikiran-pikiran kita lebih cepat dihinggapi dengan pikiran-pikiran yang negatif terlebih dahulu. Misalnya: “Aku bisa nggak ya? Kenapa dia lebih beruntung? Apakah aku bisa menyelesaikannya? Aku sepertinya bakalan gagal. Aku bakal bahagia seandainya. Kira-kira acaranya lancar nggak ya? Dan lain sebagainya..
Kata-kata ini sering terbenak di pikiran kita dengan sendirinya. Pun masih banyak kata-kata yang konotasinya senada dan bermakna negatif. Dalam menjalani hidup, tentu saja kita sebagai manusia selalu mendapat tantangan dan masalah yang diberikan oleh Allah SWT.
Apa yang Allah SWT berikan itu pastilah untuk menguji kita sebagai hamba-Nya. Apakah kita sanggup atau tidak dengan ujian dan masalah tersebut. Setiap orang mempunyai masalah, tetapi yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya adalah bagaimana orang tersebut menyikapi masalah yang ia hadapi.
Kita sering mengeluh dan berpikir yang negatif terhadap keadaan yang sedang kita alami. Berpikiran negatif kepada diri sendiri dan kepada sesama manusia saja tidak baik, apalagi jika kita sampai berpikiran negatif kepada Sang Pencipta?!
Sudah tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan berpikir positif badan kita menjadi sehat, tidak mudah sakit-sakitan, atau bahkan sukses dalam berbagai hal, misalnya dalam belajar, berbisnis, diskusi, dan lainnya. Dengan berpikiran positif urat-urat saraf kita akan sedikit lebih rileks, sehingga pikiran menjadi jernih. Mudah untuk memutuskan hal-hal yang penting dan krusial.
Sikap dan perilaku kita sekarang ini merupakan cerminan kita di masa masa lalu, ucapan-ucapan kita di masa sekarang merupakan peramal bagi masa depan kita. Bagaimana maksudnya? Ya, bahwa kondisi masa lalu, sekarang dan masa depan kita ini akan tercermin dari bagaimana sikap dan perilaku kita sehari-hari.
Sikap Kita; Sahabat dan Musuh bagi Diri Sendiri
Tanamkan pada diri kita, bahwa sikap kita merupakan sahabat yang paling setia. Namun juga bisa menjadi musuh yang paling berbahaya. Bagaimana sikap mental kita ini merupakan suatu pilihan; positif atau negatif. Jika kita seorang yang berpikiran positif, kita pasti dapat memperoleh sesuatu yang baik tentunya.
Kita akan lebih banyak berkreasi daripada bereaksi. Jelasnya, kita lebih berkonsentrasi untuk berjuang mencapai goal atau tujuan yang positif daripada terus menerus memikirkan hal-hal negatif yang mungkin bisa saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dengan bersikap positif bukan berarti telah menjamin tercapainya suatu kesuksesan. Namun, bila sikap kita positif, setidaknya kita sudah berada di jalan menuju kesuksesan. Sebagaimana untuk mencapai hal-hal lainnya, untuk menjadi pribadi yang berpikiran positif, prosesnya harus dilakukan secara terus-menerus.