H. Arief Hafaz Oegroseno, Ph.D, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman dalam webinar pengajian rutin PP Muhammadiyah yang digelar via Zoom sekaligus ditayangkan di YoutubeChannel TV MU (11/9), mengangkat tema Islam dan Islamofobia di Eropa.
Turut hadir pembicara yang lain yaitu; Dr. H. Muhammad Najib dan Hj. Ai Fatimah Nur Fuad, Ph.D, Wakil Dekan 1 FAI UHAMKA. Arief Hafaz memaparkan kondisi terkini masyarakat Eropa yang sangat berpotensi terjadi Islamofobia.
Islamophobia Menguat di Eropa
Duta Besar RI ini menjelaskan bahwa di setiap wilayah Eropa, pasti ada penduduk muslimnya. Diproyeksikan akan terjadi peningkatan jumlah umat Islam di Eropa, baik karena bertambahnya jumlah imigran muslim atau non-imigran. Analisa demografi sampai 2050, juga bisa dilihat melalui tingkat kesuburan yang tinggi. Hal ini kemungkinan akan terus meningkat dan menjadi kontributor dalam peningkatan jumlah warga Islam di Eropa.
Aspek demografi kali ini yang penting mengapa warga Islam terus meningkat. Ada juga karena masalah konflik Timur Tengah, Syiria, Libia, dan sebagian dari Yaman. Kita juga melihat kebijakan Jerman yang paling besar.
Ia menceritakan pengalamanya berdiskusi dengan para politisi Uni Eropa dan beberapa LSM keagamaan perihal toleransi dan intoleransi beragama. Menurutnya, ada satu hal mendasar yang menjadi satu sebab mengapa Eropa berada di level “Islam and Europa” bukan “European Islam”.
“Pertama, mereka menganggap nilai Eropa dipengaruhi demokrasi dari filsafat Yunani. Kedua, sistem hukum mereka dari Romawi (Roman Legal System). Ketiga, ada aspek enlightmen yang mana hubungan antara geraja, agama, masyarakat, dan pemerintah yang semakin terpisah. Keempat, revolusi industri menunjukan rasionalitas yang semakin meningkat. Nilai inilah yang menunjukan Islam tidak pernah ada dalam empat aspek ini. Oleh karena itu, secara psikologis terjadi perbedaan yang cukup fundamental” jelasnya.
Menurut Arif ada beberapa aspek yang menjadi satu dasar pemahaman mengapa Islamofobia sangat mengakar kuat di sana. Tentunya, bagi Arif, ada pemahaman tentang Islam yang salah. Orang Eropa melihat Islam sangat kental dengan Arab dan radikalisme. Orang Eropa berpikir nampaknya ini tidak sesuai dengan modernisme, demokrasi, dan human rights. “Padahal, jika kita lihat secara mendalam, nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia), rasionalitas, dan demokrasi itu ada dalam Islam” tegasnya.
Tiga Penyebab Munculnya Islamophobia
Jika flashback ke zaman kejayaan Islam di bidang sains, dahulu ilmuwan Islam lah yang menemukan aljabar, fisika, dan berbagai sains lain. Mungkin inilah faktor yang menyebabkan ketidaksukaan dan kecemburuan sosial. Analisis Arief Hafaz mengenai pandangan masyarakat Eropa tentang Islamofobia tidak akan menurun jika terus dibarengi dengan munculnya kelompok ekstrem kanan. Yang mana, mereka menduduki kursi di parlemen AFD di Jerman. Mereka mempunyai posisi yang kuat. Hanya sedikit yang tidak terdampak yaitu negara-negara kecil.
Ia menjelaskan tiga aspek terjadinya Islamofobia.
“Pertama, people driven. Ini berupa simbol-simbol dan ucapan dari partai yang ada mengenai keislaman. Berbagai pernyataan dan tagline ini cukup drastis dan menyakitkan. Apalagi diucapkan di negara Eropa yang demokratis yang seharusnya memakai human rights dan toleransi terhadap perbedaan” pungkasnya.
“Kedua, government driven. Yakni, aturan pemerintah yang mendiskriminasi mahasiswa atau murid dari negara Timur Tengah. Terjadi pembatasan terhadap mereka yang mengenakan jilbab, misalnya, tidak dipanggil interview. Ada juga cerita yang sering didengar di Belgia, bahwa ada seseorang yang membutuhkan apartemen, tapi karena ia memakai jilbab, ia ditolak. Wanita memakai jilbab di tempat tertentu dilarang serta aturan-aturan yang mendiskriminasi umat Islam. Ketiga, Media driven. Di Eropa, media juga berperan dalam menciptakan Islamofobia. Entah itu media mainstream atau media koran kuning tapi punya pembaca yang cukup besar. Ini yang menjadi satu circle yang memang challenging” imbuh Arif.
Pesan untuk Muhammadiyah
Pada menit terakhir, Arif memberi pesan kepada Indonesia dan Muhammadiyah.
“Merupakan sebuah tantangan yang sangat dalam dan luas untuk menepis Islamofobia di Eropa. Salah satu caranya, bisa dengan melakukan suatu kontribusi berupa diskusi seperti hari ini. Muhammadiyah juga bisa berperan aktif dalam konteks memberikan gambaran bahwa Islam tidak selalu identik dengan Timur Tengah” jabarnya.
Islam juga menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Islam juga hidup di negara yang menghargai wanita dan kepemimpinan wanita. Hal seperti itu sedikit diketauhi di Eropa. Indonesia hanya dikenal sebagai tempat wisata dan tidak menonjolkan karakter Islamnya.
“Muhammadiyah bisa juga turut andil dengan membuka perwakilan Muhammadiyah yang besar di Eropa. Mengundang tokoh Muhammadiyah di Jerman dan Eropa. Jangan hanya berbicara di Indonesia saja. Coba untuk ke luar untuk menjelaskan secara gamblang Islam sebenarnya seperti apa” tutupnya.