Beberapa hari lalu, seperti biasa saya menjalankan rutinitas. Saya pergi ke warung tempat saya bekerja. Ketika saya membuka pintu warung, wuus udara dingin dari AC langsung menyelimuti kulit yang kepanasan akibat udara di Bekasi cukup panas.
Setelah masuk, saya melakukan rutinitas untuk bersalaman kepada pemilik warung dan juga rekan kerja saya. Selanjutnya, saya membuka laptop dan juga gawai milik saya untuk mempersiapkan desain promosi warung tersebut.
Namun, tiba-tiba salah satu pemilik warung yang juga seorang dosen ikut duduk dan membuka laptopnya serta terlihat sangat sibuk dengan beberapa dokumen baik fisik ataupun yang terdapat di laptop miliknya.
Saya lalu bertanya, “Sedang apa pak?’”. “Persiapan sertifikasi dosen”. Ungkapnya singkat. Ya wajar saja, beliau terlihat sibuk. Kita ketahui bersama memang sertifikasi dosen dan sertifikasi guru adalah sebuah sertifikasi profesi.
Dengan menjalankan sertifikasi, maka dosen atau guru tersebut dianggap layak mengajar di suatu kampus dan sekolah. Selain dianggap layak, mereka juga mendapat tunjangan untuk menambah uang dapur mereka.
Sertifikasi Dai
Di saat yang sama, saya melihat beberapa portal berita yang berisi tentang sertifikasi Dai, saya sedikit penasaran. Apa itu sertifikasi Dai? Namun setelah saya mencari tahu apa maksudnya, saya malah menemukan berita berjudul MUI menolak sertifikasi Dai.
Selanjutnya, setelah saya mencari apa itu sertifikasi Dai, ternyata sertifikasi itu salah satu program Kementrian Agama yang bernama penceramah bersertifikat. Tujuan dari program tersebut untuk meningkatkan kapasitas keilmuan penceramah di Indonesia.
Dari pihak Kementrian Agama menjelaskan bahwa ini adalah sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa karena ini bukan sertifikasi profesi, sehingga tidak berkonsekuensi wajib atau tidak mengikuti program ini.
Seketika saya mengernyitkan dahi. Saya membayangkan sertifikasi dai ini hanya program dengan kegiatan pelatihan atau peningkatan kapasitas seperti yang sering saya lakukan. Lalu saya teringat ketika mengikuti pelatihan atau sertifikasi yang saya ikuti pada tahun 2016.
Begini ceritanya, saya mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kader di salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, tujuan pelatihan ini untuk memenuhi persyaratan agar bisa naik ke pimpinan setingkat provinsi.
Selanjutnya, setelah lulus seleksi administrasi, saya harus mengikuti beberapa wawancara yang berisi alasan mengapa saya ingin mengikuti pelatihan tersebut hingga apa gagasan yang saya tawarkan untuk program organisasi ke depan.
Seusai saya lulus semua proses seleksi, akhirnya saya berangkat menuju lokasi pelatihan yang terletak di sebuah pelosok desa di Provinsi Banten. Perjalanan yang luar biasa, sangat jauh dari Ibukota Provinsi Banten yaitu Kota Serang.
Akhirnya, saya mengikuti pelatihan itu selama tujuh hari, dengan keadaan tanpa sinyal, berisi banyak materi untuk wawasan organisasi dan juga kebangsaan. Selain itu, pelatihan juga berisi tentang diskursus wacana program organisasi ke depan.
Setelah pelatihan selesai, saya harus mengerjakan program tindak lanjut untuk mendapatkan sertifikat kelulusan. Program tindak lanjut tersebut berupa diskusi peserta untuk memunculkan gagasan baru dan ditulis dalam sebuah laporan.
Sesudah semua rangkaian program tindak lanjut selesai baru lah saya mendapatkan sertifikat kelulusan yang menandakan saya telah mengikuti pelatihan tersebut. Saya membayangkan pelatihan sertifikasi dai atau pelatihan penceramah bersertifikat seperti itu prosesnya.
Berbagai Ormas Islam Sudah Menyelenggarakan Pelatihan Dai Masing-masing
Ketika saya menyudahi imajinasi di warung, saya dikagetkan oleh rekan saya untuk segera melaksanakan sholat, selanjutnya saya kembali duduk dan berselancar di media sosial lalu menuliskan konsep untuk artikel ini.
Lalu, saya teringat bahwa di Indonesia memiliki banyak organisasi masyarakat di bidang keagamaan termasuk Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, banyak sekali pelatihan peningkatan kapasitas dai baik di Muhammadiyah atau di organisasi otonomnya.
Bahkan Muhammadiyah memiliki perguruan tinggi yang berfokus untuk melahirkan Dai hebat, yaitu di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). Untuk masuk PUTM, sangat banyak persyaratan yang harus dipenuhi serta harus menjalankan pendidikan beberapa tahun untuk menjadi dai.
Belum lagi ormas keagamaan lain yang memiliki pendidikan dai seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, dan masih banyak lagi. Bahkan Majelis Ulama Indonesia pun memiliki pelatihan atau sertifikasi yang bernama Pelatihan Kader Ulama.
Semua pendidikan Dai yang diselenggarakan ormas keagamaan memiliki proses yang panjang seperti cerita saya di atas. Mulai dari proses seleksi, lalu pendidikan yang lamanya bisa berhari-hari bahkan bertahun-tahun lalu melaksanakan program pasca pelatihan.
Setelah itu mendapatkan sertifikat lalu mengabdi di beberapa pelosok Indonesia untuk menjadi penceramah serta pengajar. Bahkan ada yang memilih menetap di tempat pengabdian untuk terus mengajar dan berceramah.
Bisa kita bayangkan, dengan banyaknya program pendidikan Dai bersertifikat yang dilakukan berbagai ormas Islam. Berapa banyak penceramah bersertifikat yang tersebar di seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke?
Lalu dengan banyaknya penceramah bersertifikat yang berasal dari ormas Islam, apakah masih perlu Kementrian Agama menyelenggarakan program sertifikasi Dai?