Perspektif

Agama Hanya untuk Negara Miskin

2 Mins read

Dalam hal beragama, setiap negara memiliki falsafahnya masing-masing. Di berbagai negara, pengertian agama atau kepercayaan terhadap tuhan memiliki makna yang berbeda beda. Namun, ada satu polemik dan beberapa riset pada tahun ini. Adanya suatu pernyataan bahwa negara yang memiliki tingkat religius tertinggi adalah negara yang memiliki ekonomi dan pendidikan yang rendah. Lalu adakah kaitannya antara tingkat religiusitas dengan tingkat kesejahteraan suatu negara?

Apakah Negara Miskin karena Agama?

Dalam salah satu riset yaitu the global god divide, negara-negara yang memiliki tingkat PDB (produk- domestik bruto) rendah, memiliki kepercayaan terhadap agama atau tuhan sebagai pengatur kehidupan memiliki persentase mencapai 75%. Sedangkan negara-negara yang meyakini bahwa tidak perlu beragama dan bertuhan untuk bermoral memiliki tingkat PDB tinggi hingga 9%.

Hal itu bukanlah suatu masalah. Akan tetapi dalam membangun suatu generasi, nilai-nilai agama menjadi hal yang fundamental. Bila kita renungkan, silih bergantinya antara kejayaan dengan runtuhnya suatu kerajaan atau negara terdapat hubungan dengan hilangnya rasa kepercayaan terhadap sang pencipta. Pola tersebut selalu terjadi jika kita mengkaji sejarah peradaban. Dalam buku Dirosah lisuqutil tsalatsatil daulah islamiyah karya Dr. Abdul Halim Uwais, beliau berkata bahwa, “karakter generasi penerus yang hilang kepercayaan dalam beragama terhadap pencipta-Nya adalah faktor kehancuran suatu peradaban.”

Akan tetapi, beberapa pandangan mengatakan bahwa rata-rata negara yang memiliki tingkat religius tinggi itu, memiliki konflik secara internal maupun secara eksternal. Hal ini juga diperparah dengan keadaan negara religius yang memiliki tingkat pendidikan dan perekonomian yang rendah. Kejadian tersebut banyak terjadi di negara-negara semenanjung Arab, Afrika, Asia, termasuk juga Indonesia.

Riset tersebut tidaklah salah, namun hal ini menjadi suatu polemik bagi saya pribadi. Apakah agama itu memiliki pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan negara? atau sebenarnya kesejahteraan yang di dapat oleh negara yang memilki tingkat religius yang rendah itu hanyalah kesejahteraan yang semu?

Baca Juga  Karakter Hanif: Autentitas Manusia Rohani

Inilah yang menjadi suatu polemik baru bagi dunia saat ini. Realitanya, masyarakat agama yang paling sengsara saat ini adalah Islam. Mungkin hal ini yang menjadikan suatu individu dan kelompok di dalam suatu negara memiliki anggapan bahwa agama adalah hambatan maupun halangan dalam sebuah negara untuk maju dan sejahtera. Lalu siapakah sebenarnya yang salah? Agamanya atau negaranya? Ataukah penyebabnya adalah lantaran praktik dalam beragama yang sudah tidak lagi dijalankan oleh sebuah negara?

Negara Sekuler tapi Menerapkan Beragama

Ada suatu ungkapan dari seorang ulama turki, Said Nursi Badiuzzaman mengatakan, “Eropa saat ini sedang mengandung ajaran Islam dalam tubuhnya dan negara arab sedang mengandung ajaran Eropa dalam tubuhnya. Dari kata-kata tersebut terdapat titik terang, bahwa agama yang seharusnya memiliki peran sentral untuk meningkatkan kesejahteraan dan memajukan suatu individu atau kelompok di dalam suatu negara, malah menjadikan negara yang religius jadi terbelakang.

Realita sekarang menunjukkan bahwa negara dengan tingkat kebersihan, kesejahteraan, atau keamanan yang baik merupakan negara dengan tingkat religius yang rendah. Kemudian bila melihat negara dengan tingkat religius yang tinggi, keberhasilan ini masih jauh panggang dari api atau bisa dibilang belum berhasil untuk meraih keberhasilan tersebut.

Bila ditelaah lebih lanjut, hal ini disebabkan karena mereka mengamalkan ajaran-ajaran agama namun tidak mengetahui esensi dari amal yang dilakukan. Keadaan itu berbanding terbalik dengan yang terjadi pada negara religius yang rendah, mereka sekedar mengetahui namun kurang dalam hal pengamalan.

Ketika ajaran Islam datang di suatu negeri yang memiliki banyak kerusakan pada berbagai sektor kehidupannya, seharusnya Islam dapat mengubahnya hingga menjadi diperhitungkan keberadaannya dan kekuasaannya. Hal ini pernah terjadi di masa lalu bagaimana digdaya dan adikuasanya peradaban saat itu dari Romawi atau Persia bukanlah apa-apa. Itulah yang sekarang tidak dimiliki oleh negara religius mana pun, di mana keadaan negara religius tersebut saat ini malah mengagumi suatu negara yang sebenarnya banyak meniru gaya hidup Islam.

Baca Juga  Subi Nur Isnaini: Peran Perempuan dalam Moderasi Beragama

Maka sudah sepatutnya kita kembali pada ajaran yang sudah terbukti keberhasilannya dalam membangun peradaban, terutama konsep dan pengaplikasian agama Islam yang saat ini sedang di pojok dan diasingkan dengan isu-isu perpecahan. Memang agama ini asing dan akan kembali dengan keterasingan, maka sungguh mulialah orang yang dianggap asing.

Pada akhirnya seperti kata orang, malam akan berlalu, dan badai pun akan berhenti. Semoga saja!

Editor: Shidqi Mukhtasor
Avatar
2 posts

About author
Nama : Devan Muhammad Firdaus alamat : Bandung, jawa barat status : Mahasiswa di Universitas syah kuala
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *