Report

Empat Tren Nama-Nama Anggota Perempuan Muhammadiyah

2 Mins read

IBTimes.ID – Nama merupakan kata yang di dalamnya terdapat kode linguistik tertentu. Kode linguistik ini mewakili pikiran orang tua atau yang memiliki kuasa atas penamaan seperti kakek atau tokoh agama. Nama mengandung klasifikasi seperti gender, afiliasi keagamaan, atau kelas sosial. Dewasa ini orang memiliki harapan yang tinggi kepada nama anaknya sebagai doa.

Hal ini disampaikan oleh Askuri dalam kegiatan International Conference on ‘Aisyiyah Studies 2020 pada Sabtu (24/10). Pria yang konsen mengkaji nama-nama Arab ini menyebut bahwa sejumlah besar nama yang dianalisis secara diakronis akan menghasilkan gambaran dinamis tentang tren penamaan. Tren ini bisa digunakan untuk membaca realita sosial.

Ia melakukan penelitian tentang nama anggota Muhammadiyah berdasarkan waktu ketika mendaftar menjadi anggota Muhammadiyah atau membuat Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Presentase laki-laki dan perempuan pemegang Nomor Baku Muhammadiyah pada tahun 2000 – 2010 terdiri dari 53% laki-laki dan 47% perempuan.

Pada rentang tahun 1941-1950, hanya 7% anggota Muhammadiyah yang perempuan. Tahun 1951-1960, ada 11% perempuan. Tahun 1961-1970 ada 12% anggota perempuan. Tahun 1971-1980, ada 14% perempuan. Tahun 1981-1990 ada 37%, tahun 1991-2000 ada 41%, dan pada tahun 2001-2010 ada 47%.

Pada tahun 70 an sampai 80 an terjadi pertumbuhan nama anggota secara cukup signifikan. Dalam analisis Askuri, pemerintah orde baru berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan sejak tahun 70 an sehingga menjadikan kondisi politik relatif lebih stabil. Maka, pemerintah mampu melaksanakan program-program pendidikan dan peningkatan kemakmuran masyarakat. Sehingga hal ini mampu meningkatkan kesadaran mobilitas sosial perempuan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Askuri, nama perempuan anggota Muhammadiyah diklasifikasikan menjadi empat kelompok. Yaitu nama hybrid (Eropa-Arab-Jawa), nama Arab, nama Arab-Jawa, dan nama Jawa.

Baca Juga  Menggelorakan Semangat #BersatuPerangiCorona

Pada tahun 1941-1950, 77% nama anggota perempuan Muhammadiyah adalah nama Arab. Pada tahun 1951-1960 ada 76% nama Arab, dan pada tahun 1961-1970 ada 79% nama Arab. Dalam kurun waktu 30 tahun ini, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sangat terasa sebagai organisasi santri. Nama-nama anggotanya didominasi oleh nama-nama Arab. Ciri-cirinya adalah menggunakan kata Siti dan berakiran –ah atau –tun (muannats). Contohnya Siti Za’ronah, Siti Muchsinah, Siti Aisjah, dan lain-lain.

“Siti itu nama Arab, bukan nama Jawa. Dia adalah kependekan dari Sayyidati yang artinya tuanku,” ujar Askuri. Selain itu, menurut Askuri, nama-nama Jawa yang merupakan minoritas pada periode ini didominasi oleh nama Jawa priyayi atau kaum terpelajar.

Nama Jawa pada periode 1961-1970 hanya ada 12%, namun pada periode 1971-1980 meningkat menuju 34%. Namun, nama-nama ini berasal dari nama kelas bawah atau kamu abangan seperti Rubinem, Waginem, Sumiyem, dan lain-lain.

Menurut Analisa Askuri, kaum abangan adalah patron massa terbesar bagi PKI. Namun, setelah PKI dituduh terlibat dalam Gestapu dan dibubarkan pada tahun 1966, para pendukung mereka menjadi objek pengejaran rezim Orba dan akhirnya mencari tenda penyelamat. Tenda penyelamat yang paling strategis waktu itu adalah Muhammadiyah dan NU.

Sementara itu, dekade 1990 an ditandai dengan pertumbuhan anggota perempuan Muhammadiyah yang memiliki nama hybrid atau campuran Eropa, Arab, dan Jawa. Karakter nama-nama di periode ini memiliki diksi yang unik, panjang, dan berprospek masa depan.

“Anak-anak dengan nama ini dilahirkan dari generasi orangtua yang relatif berpendidikan tinggi, memiliki pergaulan yang luas, dan lebih makmur dari generasi sebelumnya,” ujar Askuri.

Ia memberi contoh nama-namanya seperti Adellia Risti Nur Ramadhani, Daniar Ema Nurnainy, Yasmi Almira Prindria Syifa, Atika Zahra Ratifa, Basima Wardatul Zhahira, dan seterusnya. Menurut Askuri, generasi baru ini yang akan terus tumbuh, baik di dalam maupun di luar Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Saat ini ‘Aisyiyah sedang berhadapan dengan generasi ini.

Baca Juga  Azyumardi Azra: Yang Melaporkan Din Syamsuddin Radikal itu Absurd!

Kesimpulannya, dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta ini menghimbau agar ‘Aisyiyah mendalami anggotanya untuk memetakan potensi dan merespons hal-hal baru yang muncul. Selain itu, ‘Aisyiyah perlu mengembangkan instrumen yang lebih memadai untuk memetakan karakteristik anggota.

“Saya berdoa agar ‘Aisyiyah lebih terbuka untuk melakukan riset tentang anggotanya,” tutupnya.

Reporter: Yusuf

Avatar
1343 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *