Perspektif

Belajar Menghormati Ibu dari Abu Hanifah

2 Mins read

Siapa yang tak kenal Abu Hanifah? Ia adalah salah satu ulama dan rujukan utama Madzhab Hanafi, salah satu dari madzhab yang empat. Abu Hanifah, atau Imam Hanafi, termasuk golongan tabi’in karena beliau hidup pada rentang abad 1 Hijriah. Beliau bernama lengkap Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit terlahir di Kota Kufah (Irak) tepatnya pada tahun 80 H/697 M. Menghormati ibu adalah nilai yang tidak bisa dilepaskan Abu Hanifah, walau ilmunya kian tinggi.

Latar Belakang Abu Hanifah

Terlahir dari keluarga terhormat Klan Persia, sebagaimana dituturkan oleh Ismail bin Hammad (cucu Abu Hanifah), “Kami adalah keturunan bangsawan Persia yang merdeka, demi Allah keluarga kami tak ada sama sekali yang pernah menjadi budak”.

Pemikiran dan hasil ijtihad Imam Hanafi kemudian ditulis dan disebarkan oleh murid-muridnya hingga sampai sekarang menjadi salah satu madzhab yang masih bertahan sekaligus populer di dunia Islam. Penganut Hanafiah banyak dijumpai di India, Pakistan, Bangladesh, Suriah, Irak, Mesir dan sebagian kawasan Maghribi.

Dikenal sebagai pebisnis (pedagang kain) tak menjadikan Abu Hanifah sibuk dengan kemakmuran bisnisnya. Ia justru menjadi seorang yang amat cinta dengan ilmu dan waktu hidupnya juga banyak didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.

Menghormati Ibu adalah Keutamaan

Berkaitan dengan menghormati ibu, ada salah satu petikan kisah menarik mengenai Abu Hanifah. Diceritakan bahwa beliau adalah seorang yang cinta dan taat pada ibundanya. Ia mengatakan pula bahwa taat dan menghormati ibu dan ayah adalah salah satu syarat mendapat petunjuk. Sebaliknya, ingkar kepada keduanya akan membawa ke dalam kesesatan.

Abu Hanifah pernah membawa ibunya ikut dalam suatu pertemuan-pertemuan ilmiah. Dalam suatu majelis ilmu, ia pernah menanyakan sesuatu karena diminta oleh ibunya untuk menanyakan hal persoalan tersebut. Padahal sebenarnya beliau juga tahu mengenai jawaban persoalan tersebut. Tapi itulah akhlak seorang ulama kelas langit yang begitu menghormati ibu.

Baca Juga  Debat Politik: Sebuah Diskursus Tentang Etika, Kognisi, dan Afeksi

Abu Yusuf, salah seorang muridnya yang populer dan banyak menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau pernah bercerita bahwa Abu Hanifah pernah membawa ibunya bersama-sama di atas keledai guna menghadiri majelis ilmu Umar ibn Zar.

Seperti yang dikisahkan Abu Yusuf, Abu Hanifah pergi ke majelis Umar ibn Zar untuk menanyakan beberapa masalah yang hendak ditanyakan oleh ibunya. Para sahabat dan muridnya heran mengapa ia bertanya.

Bahkan Umar ibn Zar keheranan, lantas bertanya ke Imam Hanafi, “Engkau bertanya kepadaku tentang suatu masalah, padahal engkau lebih mengetahui.” “Ibuku menyuruhku untuk bertanya.” jawab beliau.

Mendengar jawaban dari Imam Hanafi, Umar ibn Zar mengembalikan pertanyaan itu kepada sang mujtahid. Lantas jawaban tersebut disampaikan kembali kepada Imam Hanafi sebagai isyarat bahwa ia telah melaksanakan perintah ibunya, yaitu mendengar jawaban dari lisan Umar ibn Zar.

Sejurus kemudian beliau pulang ke rumah dan menceritakan perihal  jawaban yang diberikan oleh Umar ibn Zar pada ibunya.

Kehebatan Ilmu Tiada Banding dengan Kehormatan Ibu

Lagi, lain waktu ibunya meminta untuk diantar menemui Zar’ah dengan tujuan hendak meminta fatwa akan suatu hal, “Aku tidak akan menerima fatwa kecuali apa yang disampaikan oleh Zar’ah al-Qash.” ucap ibundanya.

Sesampai di hadapan Zar’ah, Abu Hanifah berkata, “Ibuku meminta fatwa atas hukum ini”. Kemudian Zar’ah menjawab, “Engkau lebih mengetahui persoalan itu daripada aku, jadi jawablah sendiri.

Aku sudah menjawabnya namun ibuku enggan menerima kecuali dari engkau.” jawab Abu Hanifah. Zar’ah pun berkata, “Hukum tentang ini adalah sebagaimana dikatakan oleh Abu Hanifah.” Mendengar itu, puaslah hati sang ibunda.

Baca Juga  Pengalaman Nonton "Mekkah I'm Coming" yang Tak Kalah Lucunya

Nampak unik sekaligus takjub membaca kisah tersebut. Sekelas Imam Hanafi, apalah arti ilmu di hadapan seorang ibu. Tak ada merasa menggurui, membanggakan diri apalagi merasa dirinya lebih mengetahui daripada ibunya. Beliau tidak pula mengajari atau menceramahi ibunya, karena memahami pentingnya menghormati ibu. Ia memilih menuruti apa pun perintah ibundanya karena ia tahu bahwa ilmunya tiada bermanfaat sama sekali tanpa ridho ibunya.

Kisah tersebut menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua yang baru belajar agama. Jangan merasa bangga hanya karena sering hadir di taklim, kajian dan majelis. Bukan tidak diperbolehkan untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran syariat kepada siapa pun termasuk ayah dan ibu kita. Sampaikanlah dengan hikmah dan santun.

Dan sungguh akhlak dan perilaku kita kepada kedua orang tua kita adalah sebaik-baik cermin keilmuan kita.

Editor: Shidqi Mukhtasor
Aditya Budi S.
6 posts

About author
S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds