Perspektif

Intelektualisme dalam Pendidikan

3 Mins read

Tujuan utama pendidikan menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Wikipedia.org).

Sedangkan menurut William F. O’neil dalam buku Ideologi-ideologi Pendidikan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan, dan menyalurkan kebenaran, yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting kehidupan secara mendasar.

Cukuplah dua pengertian di atas menjadi motivasi utama bagaimana proses pendidikan maupun pengajaran dirumuskan, diterapkan di kelas-kelas agar mengingatkan pendidik (guru) memiliki suatu pedoman kuat dalam melayani peserta didik.

Merujuk pada UU no. 20 tahun 2003 kita diimbau untuk mengembangkan potensi. Dalam hal ini, tentu diperlukan suatu upaya mengidentifikasi berbagai model kecerdasan yang ada pada peserta didik sebagai individu unik.

Tak lupa ranah yang dicapaipun menjadi kompleks, yaitu meliputi ranah spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Purna sudah rumusan tujuan pendidikan yang ideal ini untuk menghasilkan output anak didik yang kita harapkan.

Idealitas dan Realitas Pendidikan di Indonesia

Namun tentu, antara idealitas dan realitas kadang tidak seiring sejalan. Kita banyak menemukan ketimpangan-ketimpangan. Dalam banyak fenomena wajah pendidikan di Indonesia, belum sepenuhnya menghasilkan apa yang dicita-citakan. Masih banyak orang dengan “Well Educated” justru memiliki perilaku yang kontras.

Sering kita temui dalam media massa kasus korupsi, penyalahgunaan jabatan, maupun masalah moralitas, seperti narkoba dan pergaulan bebas serta kasus-kasus penganiayaan.

Masih banyak orang-orang dengan “Well Educated” justru memiliki perilaku yang kontras.

Beberapa di antaranya dilakukan oleh orang dengan pendidikan tinggi dan status sosial menengah ke atas. Bahkan, kadangkala kita sering menemui pembelaan atas kasus-kasus yang berpihak pada yang melakukam kesalahan.

Baca Juga  Ayah, Buka Puasalah Denganku

Seperti logika terbalik, pembenaran atas sikap-sikap negatif, tidak amanah, dan rendah moral kadangkala terjadi. Bidang pendidikan seakan-akan atau memang sedang kalah pamor dengan bidang politik.

Mungkin juga hal ini disebabkan institusi pendidikan kurang menghasilkan output-output yang bermental survival atau banyak mengambil peran dalam problem solving di masyarakat.

Maka dari itu, kita perlu diingatkan kembali bahwa proses pendidikan dan pembelajaran adalah proses melatih siswa (peserta didik untuk bernalar, berpikir kritis, peka dan tanggap dalam menyikapi kompleksitas masalah yang ada di sekitarnya.

Selanjutnya menjadi urgent bagi pendidik dalam menginjeksi semangat dalam berintelektual yang diimbangi dengan praktik dalam kegiatan sehari-hari. Tentunya agar kita tidak menghasilkan generasi sekadar “user” dan “instan”, tetapi akan melahirkan generasi yang kreatif, intelek, dan inovatif.

Ciri Umum Intelektualisme

Adapun untuk mengevaluasi apakah proses pembelajaran sudah memiliki unsur intelektualisme, berikut ini beberapa ciri umum intelektualisme dalam pendidikan:

1. Menganggap Pendidikan adalah berpengetahuan

Adalah menjadi sebuah tujuan dalam diri kita sendiri bahwa “tahu“ bukan sekadar cara meningkatkan keefektifan perilaku praktis semata. Dengan kata lain, bagaimana kita bisa menghidupkan kesadaran pada peserta didik bahwa dengan “pengetahuan“ ini kita bisa berbuat sesuatu yang berorientasi pada manfaat dan maslahat.

2. Memandang peserta didik sebagai manusia

Yakni manusia yang memiliki hakikat universal dan melampaui keadaan-keadaan tertentu di suatu saat dan tempat. Dari sini, pendidik harus menyadari bahwa siswa adalah diri-diri yang berbeda dan spesial. Ia adalah makhluk rasional juga sosial. Penyajian materi yang kebanyakan ada unsur dogma, hendaknya ada bagian yang dirasionalkan.

3. Proses pembelajaran harus berdiri tegak

Yang dimaksud di sini adalah tegak dalam landasan kebenaran-kebenaran yang inhern dalam nalar atau kenyataan itu sendiri.

Baca Juga  Merawat Amanat Kemerdekaan

Hal yang Perlu Dilakukan Pendidik dalam Menanamkan Intelektualitas

Sedangkan yang dapat dilakukan oleh pendidik dalam menanamkan intelektualisme dalam pendidikan antara lain adalah:

  1. Membiasakan untuk mengajak siswa bernalar, berpikir kritis, intuitif dan menemukan problem solving. Untuk itu, ada beberapa model soal yang bisa diterapkan, antara lain Low Order Thinking Skills (LOTS), Medium Order Thinking Skills ( MOTS), dan High Order Thingking Skill ( HOTS).
  2. Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru adalah yang terbaik. Namun, sang guru harus berusaha bekerja sama dengan sifat-sifat hakiki siswa yang secara ilmiah rasional daripada menuntun kepatuhan melalui tatacara indoktrinasi.
  3. Guru harus dipandang sebagai sosok panutan. Keunggulan yang harusnya dimiliki seorang guru, antara lain adalah dalam bidang intelektual, serta seorang wasit atau sebagai juru penengah kebenaran.
  4. Evaluasi yang ditujukan untuk mengukur ketajaman intelektual. Contohnya seperti ujian bercorak esai lebih disukai ketimbang yang menekankan isi faktual (soal objektif).

Tentunya dalam menerapkan itu semua guru sebagai pengendali mutlak kelas secara umum tidak bersikap “serba membolehkan“ (permissif) dalam tatacara-tatacara memegang kendali ruang kelas, namun wewenang harus selalu diabsahkan dan atau bisa dibenarkan oleh nalar.

Meskipun pendidikan moral (pelatihan watak) adalah aspek yang penting dan tidak terelakkan dari proses pembelajaran, namun sekolah khususnya dalam proses pembelajaran juga harus memusatkan perhatiannya pada penjelasan dan pembuktian berlandasan intelektual dan berprinsip pada moral yang utama. 

Dengan memasukkan unsur intelektualisme dalam proses pendidikan, di berbagai jenjang sesuai dengan porsinya, maka output pendidikan akan terasah untuk berpikir kritis, bernalar, serta terbiasa untuk melakukan penelitian menemukan hal baru atau mampu memecahkan masalah. Generasi yang tidak mudah dibohongi oleh informasi-informasi yang tidak berdasar, terbiasa dengan data dan pandai menganalisa sebuah masalah, serta peka dengan masalah di sekitarnya juga mampu menemukan solusinya.

Baca Juga  Reinterpretasi Makna Kewalian

Editor: Lely N

Fatatik Maulidiyah, S.Ag, M.PdI
6 posts
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds