Perspektif

Yang Tersisa dari Ribut-Ribut Soal Hari Karini

4 Mins read

Mempermasalahkan Hari Kartini

Suasana Hari Kartini di tahun ini masih sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar masih diisi dengan kontroversi perihal sosok R.A. Kartini yang dianggap tidak pantas menjadi representasi gerakan emansipasi perempuan Indonesia.

Tulisan Monika Novena di laman Kompas.com (21/04/21) menyebut bahwa, bagaimana mungkin seorang gadis pribumi yang hanya mengenyam pendidikan tingkat sekolah dasar mampu menuangkan gagasan serta pemikiran dengan cermat seperti dalam surat-surat yang ditujukan kepada sahabatnya.

Sedangkan di tahun lalu, seperti yang ditulis Lutfi Dwi Pujiastuti dan Ahmad Farhan Haris di laman Viva.co.id (21/04/20) bahwa pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja tapi sekaligus merayakan Hari Ibu pada 22 Desember.

Alasannya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain-lain. Apalagi, wilayah perjuangan Kartini hanya di Jepara dan Rembang saja. Bahkan, Kartini dianggap tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.

Lantas, pertanyaan yang muncul dan belum bisa terjawab dengan baik adalah siapakah kalau begitu dari mereka yang lebih pantas untuk dijadikan sebagai sosok teladan bagi perempuan Indonesia?

Namun ada baiknya kita tanggalkan dulu ribut-ribut mengenai siapa tokoh emansipasi perempuan yang lebih layak diteladani ketimbang R.A Kartini. Sebab, apa yang diributkan sama sekali belum tepat sasaran.

Sebut saja ketika menyamakan serta memukul rata istilah ‘pejuang emansipasi’ sebagai pejuang kesetaraan gender saja, tanpa mengategorikannya – ke dalam bidang tertentu, maka kita akan terus berdebat sekaligus kesulitan dalam menentukan siapa yang lebih unggul atau siapa yang lebih berpengaruh bagi perempuan di Indonesia.

Tokoh “Tandingan” Kartini

Sosok-sosok yang juga kerap disandingkan dengan R.A. Kartini macam Rohana Kudus dan Hj. Rangkayo Rasuna Said (jurnalistik), Opu Daeng Risadju (pergerakkan), Laksamana Malahayati (militer), Siti Manggopoh (ekonomi), hingga Maria Wanda Maramis (pemberdayaan perempuan) telah menempuh jalan juangnya masing-masing.

Baca Juga  Kartini di Mata Kardinah: Sosok Wanita Gagah yang Punya Selera Humor

Sedangkan, Kartini sendiri memilih ber-ikhtiar di bidang pendidikan. Artinya, kalau ingin melihat pendidikan sebagai elan vital dari perjuangan emansipasi perempuan, maka mengadu sosok Kartini secara head to head dengan mereka adalah sebuah kekeliruan.

Akan lebih elok kiranya kalau Kartini kita sejajarkan dengan tokoh semisal Dewi Sartika atau Teungku Fakinah yang sama-sama berjuang meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya kalangan perempuan di daerah mereka masing-masing.

Teungku Fakinah atau biasa disebut Teungku Faki, merupakan seorang pejuang merangkap ulama perempuan di Aceh yang tercatat pernah mendirikan sebuah pesantren di Lam Beunot bersama suaminya pada tahun 1872. Sementara Dewi Sartika, merupakan tokoh penerus perjuangan dari R.A Kartini yang juga fokus terhadap masalah pendidikan kaum perempuan.

Ia merupakan pendiri dari Sekolah Isteri yang berlokasi di Kabupaten Bandung pada tahun 1904. Di sekolah itu, para perempuan tidak hanya dibekali dengan pengetahuan mengenai baca-tulis-hitung saja, tetapi juga dengan pelbagai keahlian penunjang seperti menjahit dan merenda.    Perjuangan yang dilakukan oleh Kartini.

Teungku Faki dan Dewi Sartika adalah perjuangan yang mengedepankan sisi kemanusiaan yang mana pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk memanusiakan manusia, memerdekakan manusia dari kurangnya pengetahuan akan ilmu.

Sebabnya itu, peran dari ketiga tokoh tersebut adalah peran yang mengacu pada proses intelektualitas dan bukan proses maskulinitas. Apa yang dilakukan olehnya sama sekali berbeda dari ciri maskulinitas yang mencakup keberanian, kemandirian, dan ketegasan (Braggin, Mary, 1982).

Ciri-ciri maskulin dimaksud justru melekat pada tokoh lain seperti Cut Nyak Dhien atau Martha Christina Tiahahu yang dikenal sebagai gerilyawati yang berjuang di medan perang. Dua sosok perempuan yang sama-sama memiliki keberanian serta kecakapan dalam menghadapi musuh.

Cut Nyak Dien mulai berperang melawan belanda di Aceh pada tahun 1880 sedangkan Christina Martha Tiahahu ikut berperan dalam sejumlah peristiwa penting di Maluku, salah satunya dalam pertempuan merebut Benteng Duurstede dari Belanda pada tahun 1817.

Baca Juga  Melampaui Kartini (2): Siti Walidah, Perintis Gerakan Perempuan Islam Indonesia

Kartini: Pejuang Emansipasi Wanita

Berbeda dengan Kartini yang memilih tidak melawan keluarga saat ia masih menjadi anak pingit atau memilih tidak melawan suami saat ia dipoligami. Seperti yang tertulis di buku Biografi Pahlawan Nasional R.A. Kartini (2008).

Selama dipingit di rumah, Kartini menghabiskan waktu menulis surat kepada teman-temannya yang kebanyakan berasal dari Eropa, seperti Estelle atau Stella Zeehandelaar, Jacques Henrij Abendanon, Rosa Manuela Abendanon, dan lainnya (Depsos RI, 2008).

Isi dari surat-surat yang kelak diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan terbitan yang kemudian dikenal dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang itulah yang kemudian disebut Lutfi dan Ahmad sebagai surat kontroversi.

Akan tetapi, terlepas dari pernyataan tersebut, faktanya R.A. Kartini seperti yang sudah disebutkan, memang mengambil peran sebagai pemerhati pendidikan karena didorong oleh kesukaan terhadap ilmu pengetahuan.

Abraham William menjelaskan dalam tulisannya di laman Tirto.id (21/04/21) bahwa di usia yang masih belia, Kartini telah akrab dengan buku-buku seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, juga karya-karya Frederik van Eeden.

Meskipun pernah dipaksa berhenti oleh ayahnya dari Europese Lagere School (ELS) dengan alasan bahwa anak perempuan tidak harus mengenyam pendidikan tinggi, Kartini tetap konsisten memperjuangkan kesetaraan pendidikan antara kaum perempuan dan laki-laki di lingkungannya (Tirto.id).

Dari beberapa uraian singkat di atas, kiranya kita mampu memahami bahwa baik Kartini sama seperti pejuang emansipasi perempuan lain, sama-sama telah melakukan perubahan-perubahan besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia melalui bidangnya masing-masing.

Namun bukan menjadi alasan yang tepat pula untuk membandingkan atau menegasikan eksistensi tokoh satu dengan tokoh lain. Yang perlu dilakukan adalah menyatukan seluruh spirit perjuangan mereka, lalu menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga  Stop Narasi Kebencian karena Beda Pilihan Politik!

Peringatan Hari Kartini

Peringatan Hari Kartini yang hadir tiap tahun seyogyanya merupakan kesempatan bagi para perempuan masa kini untuk mulai mengembangkan diri, mengejar cita-cita, mengukir prestasi sebanyak-banyaknya.

Kendati jumlah tokoh perempuan modern akan terus meningkat setiap tahun, namun tak bisa dipungkiri jika perjuangan meningkatkan kesetaraan pendidikan antara perempuan dan laki-laki masih harus digalakkan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 bahwa, angka melek huruf laki-laki masih lebih tinggi daripada perempuan, yaitu sebesar 97,45% untuk laki-laki dan 94,55% untuk perempuan. Menyikapi masalah tersebut, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto angkat bicara.

Seperti yang diliput oleh mediaindonesia.com (29/09/20), ia menegaskan bahwa jika keluarga melalui peran ibu sudah dikenalkan untuk melek huruf maka dalam proses pendidikan keaksaraan dalam pemberantasan buta aksara akan lebih effektif.

Artinya, peran peremuan masih dibutuhkan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan Indonesia khususnya untuk mengatasi masalah buta aksara. Minimnya literasi perempuan, menurut Giwo, berakar pada budaya patriarki yang masih saja tumbuh di dalam keluarga.

Kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, acap kali luput dari harapan anak-anak perempuan. Seperti yang dirasakan oleh Kartini muda.

Oleh sebab itu, daripada terus ribut-ribut soal siapa yang lebih pantas menjadi tokoh perempuan paling berpengaruh di Indonesia, lebih baik benahi dulu budaya literasi kita.

Jadikan semangat R.A. Kartini, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu serta semua pahlawan perempuan di Indonesia sebagai acuan dalam membangun budaya kritis perempuan Indonesia agar lebih baik kedepannya. Jangan sampai, budaya literasi kita hanya berhenti pada berita-berita perihal selebriti dan artis Korea saja.

Editor: Yahya FR

Achmad Rohani Renhoran
1 posts

About author
Akademisi dan Pegiat Literasi
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *