Inspiring

Melampaui Kartini (2): Siti Walidah, Perintis Gerakan Perempuan Islam Indonesia

7 Mins read

Hai ulama palsu yang busuk, datanglah sekali lagi di Banyuwangi, kalau memang benar ajakanmu! Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam, biarlah pulangmu menjadi bangkai! Bawalah isteri sekalian, supaya selesai juga atau kami jadikan budak belian!

Kalimat bernada sengit mengancam ini memang ditujukan kepada KH Ahmad Dahlan. Namun, bukan hanya sang pendiri Muhammadiyah saja yang menerima dampak psikologis dari ancaman tersebut. Dampak psikologis paling besar dirasakan oleh sang isteri, Siti Walidah (Nyai Dahlan). Dia diancam bakal dipermalukan sebagai budak belian jika suaminya bersikukuh melaksanakan dakwahnya ke Bangil dan Banyuwangi. Tetapi, dia memang seorang isteri yang tabah. Sekalipun suaminya diancam bakal dibunuh dan dirinya akan dipermalukan sebagai budak belian, dia tetap konsisten menyokong suaminya berdakwah ke daerah Jawa Timur.

Nyai Dahlan sepertinya sadar betul, inilah konsekuensi bersuamikan seorang ulama pembaru, melawan arus pemahaman keagamaan yang telah mapan dan tradisi berdakwah kebanyakan. Dalam salah satu adegan film Sang Pencerah sedikit memudahkan imajinasi para pemirsa untuk mengenali keteguhan Nyai Dahlan ketika berjuang mendampingi suaminya. Adegan pembicaraan dari hati ke hati sepasang suami-isteri, tatkala sang suami dihampiri gelisah, terdesak oleh penolakan masyarakat di sekitarnya.

Isteri Kiai Dahlan itu, tak mencukupkan dirinya sebagai pendamping hidup yang menyokong suaminya dari balik layar. Ia menempatkan dirinya juga sebagai kawan berjuang Kiai Dahlan, merintis pengajian bagi kaum perempuan, baik kaum muda, tua, maupun para buruh batik. Pengajian perempuan itu pula, nantinya, yang menjadi embrio pengajian-pengajian ‘Aisyiyah. Nyai Dahlan juga menyediakan rumahnya untuk pendidikan kaum putri melalui internaat atau asrama putri, yang selanjutnya direplikasi oleh ‘Aisyiyah di daerah di luar Yogyakarta.

Siti Walidah

Siti Walidah putri Kiai Penghulu Muhammad Fadhil, lahir di kampung Kauman pada 1872 M, anak keempat dari tujuh bersaudara: Kiai Lurah Nur, Haji Ja’far, Nyai Wardanah Husin, Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), Haji Dawud, KH Ibrahim, dan KH Zaini. KH Ibrahim, adik ipar Kiai Dahlan, adalah penerus estafet kepemimpinan Muhammadiyah setelah sang pendiri organisasi Islam modern ini wafat (1923-1932).

Rata-rata, anak-anak di Kauman, termasuk anak-anak perempuan, difasilitasi belajar agama, demikian juga Walidah, dibimbing oleh orangtuanya atau para ulama Kauman di langgar-langgar. Masyarakat Kauman identik dengan masyarakat Islam yang terbentuk oleh ikatan keagamaan, pertalian darah, dan profesi abdi dalem pamethakan atau abdi dalem dari lembaga Kepenguluan yang menangani urusan agama. Tidak heran, di Kauman ada banyak ulama, dan kebanyakan masyarakatnya menyadari betul pentingnya pendidikan agama, tapi tidak dengan pengetahuan umum.

Sejak kecil, Siti Walidah memang cenderung menonjol dibanding kawan-kawannya, lebih berani dan lancar bicaranya. Kemampuannya berdakwah diasahnya sejak Kiai Fadhil menaruh kepercayaan kepada putrinya ini untuk membantu mengajar di langgarnya atau biasa disebut Langgar Kiai Fadhil. Pengalaman mengajar tersebut tentu membantu Walidah mengelola pengajian perempuan yang dirintisnya, dan mendampingi Kiai Dahlan mendidik murid-murid perempuan, yaitu bakal pegiat-pegiat ‘Aisyiyah awal. Ia digambarkan piawai mengajar. Caranya mengajar membikin terpikat murid-muridnya di langgar. Walidah remaja juga dicitrakan pandai memotivasi murid-muridnya belajar, dan itu tetap berlanjut hingga Walidah menikah, merintis pengajian perempuan, mendorong murid-murid Kiiai Dahlan berjuang di medan ‘Aisyiyah, membimbing aktivis ‘Aisyiyah semasa ia terlibat dalam kepengurusan ‘Aisyiyah maupun sesudah menjadi penasehat ‘Aisyiyah, dan membina siswi-siswi di internaat atau asrama putri.

Baca Juga  Baharuddin Lopa (2): Sosok Teladan dan Harapan Bangsa

Begitu dianggap layak menikah, Siti Walidah berhadapan dengan perjodohan tanpa pilihan. Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kiai Ahmad Dahlan, pada 1889. Kedudukan Mohammad Darwis terhadap Siti Walidah tak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Muhammad Darwis, lelaki kelahiran 1868 atau 4 tahun di atas Walidah, adalah putra KH Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung (Besar) Kesultanan Yogyakarta, dengan Siti Aminah (Nyai Abubakar). Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Kiai Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari KH Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta.

Merintis Gerakan Perempuan

Pada tahun 1912, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi pembaruan Islam pertama di Yogyakarta. Muhammadiyah mengawali gerakannya dari kesadaran akan arti penting pendidikan bagi kaum bumiputra, khususnya umat Islam. Walidah beruntung, bahwa suaminya yang notabene adalah founding father Muhammadiyah, menaruh perhatian besar pada perempuan.

Kaum perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal dan menjalankan peran kemasyarakatan, berdakwah secara aktif di ruang publik, seperti di pengajian maupun di organisasi. Perempuan adalah pribadi yang utuh, tidak sekadar swarga nunut neraka katut pada suaminya. Sedini mungkin, Kiai Dahlan kemudian mempersiapkan kader perempuan pemimpin sehingga terwujud ‘Aisyiyah, wadahnya perempuan Muhammadiyah.  

Gagasan tentang kesetaraan perempuan di wilayah pendidikan dan dakwah Islam, dimulai Walidah dengan mengusahakan pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman. Modal utamanya dari cursus belajar membaca al-Qur’an yang diperuntukkan bagi gadis-gadis Kauman yang masuk Sekolah Netral. Konon, surat yang diajarkan pertama kali adalah al-Ma’un. Murid-murid cursus diajak agar peka terhadap fenomena kemiskinan yang hampir marak di kalangan umat Islam.

Pintu hati mereka diketuk untuk memberikan pertolongan kepada kaum fakir-miskin. Bentuk-bentuk pertolongan sesuai dengan kemampuan. Yang kaya membantu dengan uang. Yang tidak cukup kaya, tetapi sehat, dianjurkan membantu dalam bentuk tenaga. Bagi yang  pintar dianjurkan membantu dalam bentuk sumbangan pikiran. Pada tahun 1914, dibentuklah perkumpulan bernama Sapa Tresna. Nyai Ahmad Dahlan membantu cursus membaca al-Qur’an dan mengumpulkan kaum perempuan, baik tua maupun muda, untuk mendapatkan pelajaran agama di bawah asuhan Kiai Ahmad Dahlan.

Kaum ibu maupun remaja putri juga dikumpulkan untuk mengikuti pengajian. Berawal dari Kauman, dan berkembang ke kampung lain, seperti Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Pengajian yang diisi oleh Dahlan dan Walidah ini berlangsung setelah Ashar sehingga perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Wal ‘Ashri.

Ada juga pengajian yang diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman. Awal abad 20, Yogyakarta dikenal sebagai pusat industri batik, dan kampung Kauman adalah salah satu sentranya. Berkembangnya industri batik di Kauman, berkorelasi dengan banyaknya buruh yang didatangkan dari luar Yogyakarta. Para buruh adalah representasi masyarakat pekerja yang terpinggirkan, dan tidak mempunyai akses untuk belajar. Dibutuhkan keberpihakan sebagaimana dipraktikkan Walidah dengan menyelenggarakan pengajian bagi para buruh yang lebih sering luput dari perhatian. Di pengajian itu, mereka belajar agama, membaca, dan menulis, agar bisa bersikap jujur dan tidak merasa kecil hati karena menganggap diri mereka bodoh. Perkumpulan pengajian inilah yang dikenal dengan nama Maghribi School, karena diadakan setelah Maghrib, usai para buruh menuntaskan pekerjaan.

Baca Juga  Sisi Lain KH Ahmad Dahlan: Ternyata Beliau Seorang Wartawan!

Gerakan Aisyiyah

Pengajian Sapa Tresna, Wal ‘Ashri, dan Maghribi School sudah tidak asing dalam literatur sejarah ‘Aisyiyah, dan itulah embrio pengajian-pengajian Aisyiyah. Di ‘Aisyiyah, disediakan ruang yang luas bagi perempuan untuk menjadi subjek dalam dakwah Islam. Inilah karakter pembaruan ‘Aisyiyah bila disandingkan di antara peta gerakan perempuan awal abad 20.

Sejak dekade kedua abad 20, telah bermunculan organisasi perempuan seperti Perkumpulan Kerajinan Amai Setia (1911), Poetri Mardika (1912), Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Hadi (1915), Wanito Susilo (1918). Rata-rata, organisasi perempuan sebelum tahun 1920, dan masih berlanjut setelahnya, menaruh perhatian pada perbaikan posisi perempuan dalam perkawinan, keluarga, dan peningkatan kecakapan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. ‘Aisyiyah pun senada, tentu dengan meletakkannya pada kerangka besar ajaran Islam. Tapi yang membedakan ‘Aisyiyah dengan organisasi perempuan yang lain, ialah bahwa ‘Aisyiyah juga berfokus pada ranah perempuan dan agama.

Nyai Dahlan adalah permisalan perempuan sebagai subjek dakwah. Ia bersama pengurus ‘Aisyiyah yang lain, beberapa kali mendatangi cabang ‘Aisyiyah sampai luar kota, sebut saja Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan beberapa kota lain. Pernah ia mendatangi daerah Batur, melewati gunung Dieng, naik kuda pada tahun 1927. Di tempat yang didatanginya itu, ia bertabligh dengan ceramah terbuka, dan memotivasi kaum perempuan Muhammadiyah setempat untuk menggiatkan kegiatan ‘Aisyiyah. Para  ibu, menurut Nyai Dahlan, tidak cukup dengan mengasuh anak dan mengurus keperluan rumah tangga, tapi perlu berkumpul untuk berembuk tentang kebutuhan ruhaniah, kebutuhan perempuan, dan masyarakat.

Keterlibatan perempuan dalam ruang publik, mau tidak mau, akan memperluas daya jangkau pergaulan, termasuk dengan para laki-laki. Nyai Dahlan bahkan pernah diundang dalam sidang ulama Solo bertempat di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta. Pergaulannya luas, termasuk dengan para ulama yang notabene adalah laki-laki. Dalam kongres ‘Aisyiyah ke-15 di Surabaya, tahun 1926, Nyai Dahlan berpidato di hadapan kongres. Harian yang terbit di Surabaya, seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po mewartakan isi kongres Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, serta memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang dipraktekkan warga ‘Aisyiyah.

Nyai Dahlan menjabat sebagai president HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah sejak tahun 1921. Tetapi sejak tahun 1927, Nyai Dahlan berperan sebagai adviseur (penasehat) ‘Aisyiyah yang terus berkembang membentuk ranting-ranting di luar Jawa. Kepemimpinan Aisyiyah dipegang oleh Siti Bariyah.  Ketika ‘Aisyiyah mengadakan kongres besar di Minangkabau pada 1930, Nyai Dahlan termasuk 1 di antara 8 anggota Pengurus Besar ‘Aisyiyah yang ditetapkan menghadiri dan memimpin kongres ‘Aisyiyah. Dalam notulensi kongres, tersebut bahwa pertemuan pertama kongres, sidang tertutup, maupun sidang umum terbuka, dibuka oleh Sitti Nyai H A Dahlan dengan bacaan al-Fatihah bersama dan ucapan terima kasih, baru kemudian jalannya sidang diserahkan kepada Pengurus Besar ‘Aisyiyah yang lain, seperti Siti Fatimah dan Siti Munjiyah.

Di Minangkabau, Nyai Dahlan bahkan sempat berfoto bersama dengan menggunakan baju khas Minangkabau. Begitu pula pada kongres ‘Aisyiyah XXII di Semarang, 1933, sesi-sesi dalam kongres dibuka oleh Nyai Dahlan, baru diserahkan kepada Ketua MPA, Siti Munjiyah, atau yang lain sesuai jenis sidang.

Baca Juga  Badan: Tradisi Syawalan Masyarakat Cilacap

Pada tahun 1933, Nyai Dahlan tak lagi menjadi ketua ‘Aisyiyah, telah digantikan oleh Siti Aisyah Hilal di tahun 1931, dan Siti Munjiyah sejak 1932 hingga 1936. Tapi Nyai Dahlan tetap diminta membuka jalannya kongres, pertanda kewibawaan dan penghormatan pengurus ‘Aisyiyah terhadap ‘ibu’-nya itu. Nyai Dahlan sendiri, didaulat menjadi ketua ‘Aisyiyah sejak tahun 1921 setelah kepemimpinan Siti Bariyah dari tahun 1917.

Terpilihnya Siti Bariyah sebagai ketua pertama ‘Aisyiyah dan bukan Nyai Dahlan (sebagaimana Ahmad Dahlan menjadi ketua Muhammadiyah pertama) menjadi menarik. Realitas ini justru bisa dibaca sebagai keberhasilan Dahlan mengkader muridnya sebagai pemimpin perempuan. Murid-murid perempuan Dahlan memang sengaja disiapkan untuk menggiatkan wadah perempuan Muhammadiyah, dan ketika wadah itu terbentuk, sudah sewajarnya bila salah satu kadernya-lah yang diminta memimpin jalannya organisasi. Baru kemudian, Nyai Dahlan menjadi ketua, sedari 1921-1926, ketika ‘Aisyiyah sedang giat-giatnya meluaskan jangkauan ke daerah-daerah. Ketua beralih lagi kepada Bariyah sampai 1929, dan Nyai Dahlan kembali memimpin di tahun 1930 selama 1 tahun.

Nyai Dahlan telah menjadi salah satu ikon simbolis ‘Aisyiyah di masanya, dan memasyarakatkan perempuan berkerudung bersama suaminya. Sebelum Muhammadiyah didirikan, belum banyak perempuan di Kauman yang berkerudung. Mereka yang mengenakan pakaian menutupi aurat hanyalah para hajjah. Bersamaan dengan terbentuknya organisasi ’Aisyiyah, lahirlah gerakan menertibkan pakaian perempuan Islam. Bersamaan dengan gerakan berkerudung, semaraklah industri kerudung songket khas Kauman bersanding dengan industri batik. Kerudung ini, bahkan, sempat menjadi ciri khas anggota ’Aisyiyah.

Sampai tahun 1938, Nyai Dahlan mengusahakan dirinya tetap hadir dalam Kongres ‘Aisyiyah. Baru tahun 1939, ketika kongres digelar di Medan, ia berhalangan hadir karena sakit, tapi tahun depannya, pada kongres ‘Aisyiyah di Yogyakarta, 1940, Nyai Dahlan menyempatkan diri hadir meski dalam keadaan sakit encok, sekaligus menjadi kongres ‘Aisyiyah terakhir yang dihadirinya.

Pahlawan Nasional

Semasa Nyai Dahlan sakit, tepatnya ketika digelar sidang Majlis Tanwir, konsul-konsul Muhammadiyah menjenguknya. Saat itu juga, Nyai Ahmad Dahlan menyampaikan wasiat KH Ahmad Dahlan ihwal menjaga semangat hidup Muhammadiyah. Lantas, Nyai Ahmad Dahlan berpesan menitipkan ‘Aisyiyah sebagaimana suaminya menitipkan Muhammadiyah kepada kepada generasi penerus.

Membayangkan aktivitas Nyai Ahmad Dahlan, maka keluarga Ahmad Dahlan bisa dikatakan sebagai replika keluarga berbasis pejuang. Tidak hanya Kiai Ahmad Dahlan yang sibuk bergiat dalam persyarikatan, tetapi juga Nyai Ahmad Dahlan yang berbagi tugas menaruh perhatian dengan wilayah garap kaum perempuan.

Tidak sampai berselang setahun setelah menyampaikan wasiat, pada 31 Mei 1946, Nyai Ahmad Dahlan menyusul suaminya, mengambil tetirah abadi. Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada isteri KH Ahmad Dahlan yang telah mendidik dan membina perempuan-perempuan muda sebagai calon-calon pemimpin Islam. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/Tahun 1971 telah menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber: Srikandi-srikandi Aisyiyah karya Mu’arif & Hajar Nur Setyowati.

Editor: Yahya

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *