Perspektif

Disrupsi Agama dalam Masyarakat Digital

2 Mins read

Pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam beragam teknologi digital mengakibatkan hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang radikal dan amat dahsyat. Semua terjadi begitu cepat, bahkan sebagian besar merubah karakteristik tatanan sosial, termasuk agama.

Ekses Positif dan Ekses Negatif Teknologi

Beberapa kultur masyarakat tidak mempercayai adanya kemajuan, bahkan sebagian lagi ada yang memutuskan untuk mempertahankan status quo warisan nenek moyang mereka. Kultur masyarakat seperti ini masih banyak kita temukan di negara kita, lebih sering dikenal dengan istilah komunitas masyarakat adat.

Di sisi lain, masyarakat yang terbuka terhadap perubahan sekarang sudah memasuki revolusi industri 4.0. Sebuah pencapaian luar biasa yang bisa dicapai oleh manusia dalam sejarah keberadaannya di muka bumi.

Lebih daripada itu, kemajuan dalam bidang teknologi berpengaruh secara luas terhadap bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Munculnya berbagai aplikasi yang dapat terpasang dalam smartphone seperti aplikasi untuk belanja, traveling, kemudian ditunjang dengan aplikasi finansial teknologi (fintech).

Adanya berbagai aplikasi tersebut dirasakan sangat membantu dan mempermudah hidup penggunanya. Akan tetapi, kemajuan teknologi tersebut juga membawa pada beberapa permasalahan. Dalam penggunaan media sosial misalnya, masyarakat masih rentan terperangkap dalam provokasi, hoaks, hate speech, dan agitasi. Tak sedikit dari mereka yang berakhir dalam sel tahanan karena dianggap melanggar undang-undang ITE.

Disrupsi Agama

Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadinya perubahan fundamental atau mendasar, yaitu evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia. Perkembangan teknologi yang sangat pesat berdampak juga pada perubahan dalam bidang agama.

Contoh disrupsi yang paling dirasakan adalah terjadinya deotorisasi tokoh agama. Dalam ruang media sosial contohnya, bisa kita temukan bahwa yang memberikan penyampaian keagamaan banyak yang bukan dari golongan kyai.

Baca Juga  Integrasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Tokoh-tokoh agama yang dulunya menjadi pusat dalam mencari ilmu, sekarang kehilangan otoritasnya karena agama tidak lagi bertumpu pada standar-standar yang dibuat secara otoritatif orang-orang muslim berpengetahuan.

Suatu hari, pendidikan agama bisa saja ditutup lantaran pengetahuan mengenai masalah seputar agama sudah dapat diakses dalam mbah Google dan tidak perlu repot untuk mondok menjadi santri bertahun-tahun untuk mendapatkan ilmu agama.

Begitu juga dengan pembelajaran al-Qur’an. Kalau dulu banyak dipelajari dengan cara bertalaqqi langsung dengan guru, sekarang sudah banyak di kanal Youtube yang menyediakan beragam cara belajar al-Qur’an, bahkan sampai bisa mencari metode seperti apa yang kita mau. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam kurun waktu 25 atau 20 tahun yang lalu.

Merosotnya kebutuhan akan Kyai atau ulama yang otoritatif adalah bukti bahwa masyarakat beragama mulai mengalami pergeseran dan perubahan. Belum lagi dengan adanya fenomena post-truth era yang membuat seseorang cenderung malah membenarkan keyakinan dan bukan meyakini kebenaran.

Akhirnya seseorang bukan lagi mencari kebenaran, melainkan mencari “pembenaran”. Lebih lanjut lagi nalar kritis yang harusnya dibangun untuk mencari fakta, malah tergantikan dengan emosi sebagai basis pengetahuan.

Pola-pola Hubungan Sosial

Digitalisasi merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dahulu aktivitas masyarakat hanya bisa dilakukan dengan bertatap muka (dunia nyata), akan tetapi sekarang beragam aktivitas dilakukan dalam dunia digital (dunia maya). Dengan adanya ruang media sosial contohnya, seseorang bisa berinteraksi dengan teman onlinenya yang berada di belahan bumi yang berbeda.

Pola hubungan sosial yang biasanya terjadi dalam ruang lingkup sederhana, sekarang cakupannya menjadi lebih luas. Sebuah fenomena menarik terjadi ketika netizen dari Indonesia mengomentari postingan artis asal Korea Selatan di laman Instagram.

Baca Juga  Pendidikan Inklusif: Pendidikan untuk Semua

Sebagian komentar nyinyir netizen +62 mendapatkan tanggapan dari pengguna dari negara Korea Selatan sendiri dan negara lainnya karena komentar netizen Indonesia yang tidak bisa menempatkan mana dia (artis) sebagai pribadi dalam dunia nyata dan mana sebagai pemeran film.

Fenomena nyinyir biasanya dilakukan oleh tetangga. Akan tetapi, sekarang seseorang bisa melakukannya bahkan terhadap seseorang yang belum pernah dia temui dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, diperlukan adanya literasi digital supaya masyarakat bisa memanfaatkan teknologi dengan lebih bijaksana. Tak kalah pentingnya, agama yang juga terkena disrupsi harus melakukan berbagai perbaikan. Termasuk dalam pendidikan terkait keterbukaan, keragaman, mendorong daya kritis, dan literasi media sosial.

Editor: Zahra

5 posts

About author
Tertarik terhadap isu sosial, keagamaan dan lingkungan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds