Perspektif

Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Bolehkah?

4 Mins read

Belajar Agama—-Beberapa waktu ini, viral sebuah pembahasan tentang kekeliruan bacaan Al-Qur’an seorang ( yang disebut) ustadz. Saya sempat tidak tertarik membahas hal ini, tapi ternyata isu ini bertahan seminggu. Bahkan saat saya menulis pun, masih bisa ditemui pembahasannya di timeline media sosial.

Kekeliruan membaca Al-Qur’an memang fatal. Apalagi dilakukan oleh orang yang dikenal sebagai ustadz. Hal ini tidak bisa ditawar. Kefasihan membaca Al-Qur’an adalah hal yang paling dasar dalam belajar agama Islam.

Namun, hal menarik bagi saya, bukan pada apa kesalahan bacaannya, tapi diskurus tentang: apakah seseorang yang baru belajar agama, bisa didaulat menjadi seorang ustadz?

Serba-serbi Ustadz

Sebelumnya, pengertian ustadz disini saya persempit menjadi seseorang yang saleh dan otoritatif dalam bidang agama Islam. Oleh karenanya, berperan sebagai tempat bertanya dan pendakwah menuju kebaikan Islam.

Bukan ustadz dalam arti professor seperti di Arab Saudi. Sederhananya, ustadz di tulisan ini, ya ustadz dalam top of mind-nya orang Indonesia lah. Pokoknya ngerti lah ya. Hehe.

Kembali ke pembahasan.

Saya termasuk yang sering berinteraksi dengan para aktivis hijrah. Dalam beberapa pengajian, saya sering ikut menjadi mustami dalam acara yang diisi oleh ustadz (pemimpin komunitas) hijrah. Oleh karena itu, perkenankan untuk menyampaikan beberapa fakta terlebih dahulu.

Pertama, para ustadz tersebut sebenarnya mengakui bahwa mereka masih dalam tahap belajar.

Kedua, mereka pada dasarnya tidak mau disebut ustadz, hanya kadang kebiasaan orang Indonesia, dikit-dikit orang bicara agama disebut ustadz.

Ketiga, tujuan mereka berceramah adalah inspirasi, bukan dakwah otoritatif keagamaan. Oleh karenanya, tidak heran terkadang format acaranya terkadang mirip-mirip dengan acara motivasi. Ada talkshow dan sesi ‘muhasabah’ dengan menangis bersama (biasanya menyangkut orangtua).

Baca Juga  Refleksi Tahun 2021: Menyoroti Fenomena Kebebasan Beragama dan Toleransi

Masih banyak sebenarnya, tapi saya kira tiga hal ini ini cukup relate dengan apa yang ingin sampaikan selanjutnya.

Mulai paragraf setelah ini, tolong baca pelan-pelan ya, agar analogi nya tersampaikan dengan baik. Analogi agak rumit tapi nyambung kok dengan inti tulisannya nanti.

Sebuah Analogi

Begini. Saya adalah orang asli Tasikmalaya. Lahir sampai SMA di kota ini. Kuliah, saya melanjutkan ke kota Solo. Di sana, saya bertemu teman-teman baru. Ketika saya mengenalkan diri sebagai orang Tasikmalaya, teman saya asli Solo mengaku bahwa dia pernah ke Kampung Naga.

Sebagai asli Tasikmalaya, saya tahu Kampung Naga. Tapi belum sama sekali pernah masuk ke sana. Teman saya asli Solo justru pernah ke sana, karena ada tugas sekolah.

Lalu, saya pun ceritakan bahwa saya kemarin masuk ke keraton Solo. Menariknya, teman saya yang asli Solo, malah belum pernah masuk Kraton sama sekali.

Saat teman saya lain menanyakan detail tentang Kampung Naga, saya cuma jawab katanya katanya. Justru, teman saya asli Solo tadi yang bisa menjelaskan secara detail dan lebih menarik. Hal itu wajar, karena dia memang pernah ke sana.

Begitu pun saat kemudian saya bercerita bertemu abdi dalem kraton Solo, justru teman saya asli Solo yang paling kepo. Padahal dia asli Solo. Tapi saat itu, pengalaman saya tentang Kraton lebih menarik dan otoritatif.

Pembicaraan teman asli Solo tentang Kampung Naga lebih menarik bagi orang lain, dibanding saya asli Tasik. Namun, tetap saja pengetahuan keseluruhan tentang Tasik lebih menang saya. Dia pun tidak bisa dikatakan sebagai sejarahwan Tasik karena memiliki pengetahuan tentang Kampung Naga.

Hal yang sama berlaku bagi saya. Saya tidak lebih paham seluk beluk kota Solo. Saya hanya tahu tentang Kraton Solo.

Baca Juga  Paradoks Intoleransi Agama dan Ras

Pengalaman Spiritual Setiap Orang, Berbeda-beda

Dalam menjalani kehidupan beragama, tidak semua orang mengalami pengalaman spiritual yang sama. Meski seorang ahli agama atau dididik agama sejak kecil, pasti ada saja pengalaman spiritual yang tidak pernah dia alami. Namun, hal tersebut justru dialami oleh (kebetulan) baru belajar agama.

Contoh, pengalaman spiritual tentang mengajak tobat para jagoan preman bertato, jarang dimiliki oleh yang background pesantren. Hal ini justru dimiliki oleh mantan geng mereka yang hijrah, kemudian berhasil menularkan hal tersebut kepada komunitasnya.

Pengalaman spiritual awam tentang kesabaran merawat orang tua yang sakit, tidak dialami oleh orang alim yang orangtuanya sehat. Pengalaman tentang keajaiban sedekah dapat menyembuhkan penyakit, justru banyak dialami oleh orang awam, yang menyebabkan mereka hijrah. Berbagai pengalaman spiritual tersebut lah yang kemudian menjadi bahan dakwah menarik.

Saya orang Tasik, tidak tahu tentang Kampung Naga. Hal ini bisa diibaratkan, saya seorang yang terdidik pesantren dari kecil, namun tidak memiliki pengalaman mengajak preman masuk masjid. Atau pengalaman spiritual merawat orangtua bertahun-tahun yang menyebabkan diberikan hidayah, karena alhamdulillah orangtua sehat.

Modal Pengalaman Spiritual Tak Berarti Paham Segalanya

Materi dakwah di manapun akan lebih menarik disampaikan oleh yang memiliki proses spiritual langsung, meskipun hanya orang awam. Tidak perlu harus dijelaskan sekaliber ustadz. Di sinilah kemudian awam yang baru belajar tersebut mendapatkan panggung dakwah.

Dalam hal ini, meski baru belajar baca Al-Qur’an, tapi memiliki pengalaman spiritual dengan Allah yang luar biasa. Maka bagi saya, hal itu justru wajib mendakwahkannya. Agar energinya terasa.

Hal yang menjadi masalah kemudian, hanya dengan modal mengalami proses spiritual tersebut, sudah mulai (dengan niat baik) mengoreksi wacana yang lebih luas. Sebagaimana, teman orang Solo yang cuma mengenal Kampung Naga, coba mengajari saya tentang daerah-daerah lain yang ada di Tasik yang belum pernah dikunjunginya.

Baca Juga  KH. Abdul Halim Mahfudz: Pemukiman Khusus Muslim Membuat Masyarakat Ekslusif

Dalam hal agama, ranah ini biasanya adalah terkait hukum dalam Islam. Sebagai contoh dalam ilmu fikih, perlu diketahui, belajar fikih ini merupakan aspek yang sulit dan perlu waktu. Tidak bisa baru belajar langsung ahli.

Oleh karenaya, memiliki pengalaman spiritual menarik, belum tentu pasti mengerti masalah fikih. Apalagi mencoba mengomentari praktik fikih orang lain. Inilah (di mana) ustadz hijrah tersebut akan terkena masalah. Seperti akan terjadi masalah jika teman saya asli Solo, mulai mengajari saya daerah Tasik lainnya.

Apalagi disebut atau disejajarkan dengan ulama terkemuka. Ini sama dengan baru tahu tentang Kampung Naga, tapi pengen disejajarkan sebagai sejarahwakan Tasikmalaya. Mungkin bisa, tapi perlu proses panjang. Tidak Instan.

Cukup panjang artikelnya, pada intinya kami ingin sampaikan.

Baru belajar agama, lalu berdakwah, boleh? Boleh saja. Asal tahu batasanannya. Kalau niatnya inspirasi, ya inspirasi saja. Tidak usah komentar hukum fikih yang belum atau baru dibahas satu pandangan saja. Apalagi dilevelkan dengan ulama, atau menjelek-jelekan dan mengkritik ulama tertentu.

BTW, masuk Kampung Naga berapa tiketnya sekarang?

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *