Feature

Manusia Angka

4 Mins read

Cukup aneh bukan? Manusia bisa memprediksi dengan tepat kapan Mars akan berada di langit‒ bahkan untuk seratus tahun ke depan. Namun, lucunya, mereka tidak pernah bisa tahu, apa yang akan terjadi pada diri mereka sendiri. Manusia yang membaca tulisan ini, mungkin tidak akan pernah tahu kapan sang penulis akan membubuhkan titik di akhir kalimat yang mana. Saat sang penulis mengetik titik, barulah mereka tahu bahwa titik itu ternyata berakhir di kalimat ini.

Namun begitulah, manusia memang adalah sepercik rahasia di ruang bernama semesta. Rahasia itu, melazimkan manusia berlaku berbeda. Makanya, menyatukan perilaku manusia dalam hukum- hukum yang disepakati adalah impian yang hampir mustahil‒ seperti membangun istana pasir di pesisir. Yang diabaikan oleh manusia Barat belum tentu baik bagi manusia Timur. Yang diburukkan oleh manusia Timur belum tentu buruk bagi manusia Barat. Kedua kutub pemikiran itu selalu saling menggulung‒ enggan bersepakat.

Barat kadang salah paham memahami diri, terlalu percaya diri untuk menebar bibit nilainya‒ yang dianggapnya paling mutakhir dan unggul‒ ke seluruh penjuru negeri. Timur juga demikian, kadang salah sangka membidas bibit yang tumbuh berkembang di Barat: ada yang menganggap segala bibit yang tumbuh di sana adalah bibit- bibit unggul yang wajib disadur, ada pula yang menolak mutlak bibit- bibit tersebut, padahal bisa teliti rahasia keunggulannya. (seakan) Keduanya, memang ditakdirkan untuk salah paham.

Manusia pernah bertenggang rasa cukup lama karena memahami keniscayaan berbeda itu. masalahnya ada, semenjak faham itu mulai tersemai ke segala penjuru; saat imperialisme menguasai kepala pemenang perang, gambaran kesakralan manusia‒ sebagai sepercik rahasia‒ disulapnya menjadi angka- angka dalam data. Manusia bukanlah lagi rahasia. Manusia didekati dengan pendekatan matematika. Jadilah manusia ditengarai hanya sebagai hewan berpikir di atas meja laboratorium saja, mesin- mesin di pabrik industri, senjata- senjata di medan perang.

Baca Juga  Liberal Bersendi Sunah

Anak-  anak Adam tadinya begitu mulia dengan rahasia- rahasianya‒ dengannya mereka bisa menengarai dirinya berbeda. Dari perbedaan itu manusia bisa tahu ada satu dzat yang tidak pernah berubah lagi berbeda- beda. Dzat itu adalah yang Maha Esa lagi Maha Tahu‒  Pemilik segala rahasia mereka. Namun apalah dinyana, ketika mereka para manusia jauh dari kediriannya menjadi pengampu rahasia, diam- diam faham yang meng-angkakan manusia itu mendandani mereka sebatas menjadi noktah tak berdaya di luasnya semesta.

Ketika manusia menjadi angka, sekelebat keseharian mereka tidak lebih jadi sekadar Sysiphus yang dihukum oleh dewan perkumpulan Dewa. Sysiphus ‒sebagaimana diceritakan Homer di Odyssey-nya‒ dengan sabar mendorong batunya ke puncak bukit yang curam. Sesampainya di puncak, tak sempat ia menyeka keringat, batu yang didorongnya itu sudah melereng kembali ke bawah. Berulang kali ia mendorongnya ke puncak, berulang kali pula batu itu melereng ke bawah mempermainkannya.

Manusia yang telah bermetamorforsa menjadi angka sama seperti Sysiphus ‒ terpasung dalam keseharian yang monoton. Seperti matahari, waktu dapat memperhitungkan kapan kemunculannya, dan kapan saat tenggelamnya. Sisi manusia sebagai makhluk yang penuh rahasia, meluber di dalam dua belas angka yang menghuni jam tangan. Manusia jadi makhluk yang membosankan, mudah diukur dengan penggaris, dilempar- lempar seperti barang di gudang, mudah ditebak seperti teka- teki silang di majalah anak- anak.

Mark Zuckerberg dan tuan- tuan modal berotak di seluruh dunia, tidak hanya berpangku tangan meneroka fenomena itu. Bagi mereka, fenomena itu adalah momentum sejarah yang bonavid. Masa- masa yang digadang oleh Werner Heisenberg‒ penemu teori mekanika kuantum ‒ sebagai masa di mana manusia membutuh teknologi tak ubahnya seperti siput yang tak bisa hidup tanpa cangkangnya, atau seperti seekor laba- laba dengan jaringnya. Masa- masa itu telah jauh berjungkir‒ terbalik.

Baca Juga  Tuna Empati di Saat Pandemik

Mark dan para tuan aplikasi semisalnya memanfaatkan suasana bersejarah itu menjadi kesempatan untuk menjajakkan komiditinya. Ketika manusia tidak sanggup lagi menghentikkan kecanduannya terhadap teknologi, ketika itulah sebenarnya manusia sudah berubah menjadi teknologi itu sendiri. Suasana baru itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh para tuan aplikasi‒ sambil berselancar di lorong gelombang budaya pop yang tak berkesudahan, manusia akhirnya benar- benar menjadi mesin- mesin pencetak uang tanpa disadari.

Manusia yang telah bermetamorfosa menjadi angka, absahlah kini menjadi deretan angka di rekening Mark dan koleganya. Manusia benar- benar menjadi mesin setelah menjadi angka. Para tuan aplikasi memperlakukan mereka seperti penyedot debu‒ yang bisa dimatikan dan dinyalakan sesuka hati. Begitupun para jenderal‒ mereka menghitung para pasukannya di medan perang, persis seperti pengembala di gurun yang menghitung dombanya untuk digiring masuk ke kandang. Ketika manusia ditengarai sebatas menjadi angka, manusia jadi kehilangan kemuliaannya.

Abdul Wahab Mishiri yang perkataannya dikutip oleh Malik bin Nabi di bukunya Fī Mahabil Ma’rokah memandang bahwa pandangan yang meng-angkakan manusia itu‒ dalam istilahnya disebut an- Nadzroh al- Kammiyyah wal Ihsō’iyyah (kuantitas dan statistik)‒ memang lahir dari keberpihakan manusia Barat terhadap materialisme “yang menjernihkan (desakralisasi) fenomena manusia sebagai fenomena yang khusus (dzōhiroh mutamayyizah) di alam semesta.Manusia adalah hewan berpikir, namun pada intinya sama‒ tetaplah binatang. Begitu intisari pandangan itu.

Manusia di Barat, belum puas hanya dengan sekedar memproklamirkan kematian Tuhan. Seperti pemberitahuan di stasiun yang selalu berkelanjutan selama jadwal keberangkatan masih ada. Barat melanjutkan proklamasinya dengan mengumumkan kematian diri mereka sendiri sebagai manusia. Yang mati bukanlah semata- mata jasad, melainkan jiwa mereka. Fenomena itulah yang coba disirat rapat- rapat oleh media Barat, namun akhirnya meledak baru- baru ini seperti kembang api di perhelatan acara pergantian tahun‒ mengejutkan orang- orang.

Baca Juga  Terima Kasih Pak Jusuf Kalla

Faham yang meng-angkakan manusia itu mengeringkan sifat ruhaniah manusia Barat‒ memaknai kehidupan. Manusia adalah ruh dan jasad. Jasad mereka kenyang menelan materi, namun jiwa mereka kehausan karena jauh dari saripati wahyu. Sampai tiba saatnya kekeringan itu tidak lagi bisa dibasuhi, akhirnya mereka berusaha sekuat tenaga membagi penderitaan itu, demi sedikit mengurangi penderitaan yang telah menumpuk dalam diri mereka.

Itulah yang dilakukan Brenton Tarrant di Selandia Baru, dan Patrick Crusius baru- baru ini di Texas, Amerika. Berkaca pada diri mereka sendiri, manusia di mata mereka hanyalah angka yang tidak ada artinya. Ketika mereka merasa terganggu oleh karena angka- angka itu, apa salahnya jika mereka menyingkirkannya‒ sebagaimana guru matematika yang menghapus angka- angkanya di papan tulis selepas kelas. Menghapus angka- angka, kerena benci matematika adalah perkara biasa. Tarrant dan Patrick tak sedikitpun ragu menyatakan aksinya itu terang- terang.

“Wa laqād karramnā bani Ᾱdam,” manusia telah dimuliakan oleh Allah di atas seluruh makhluk di muka bumi. Manusia bukanlah sekedar noktah tak berarti yang jadi bulan- bulanan para pengusung teori evolusi untuk di-desakralisasi. Bukan hanya orang Arab, atau muslim sekalipun. Semua manusia adalah mulia. Allah telah menghadiahkan sifat mulia itu secara cuma- cuma sebagai karunia, sayang sebagian dari mereka malah meng-angkakan-nya sia tak bermakna.

Manusia adalah khalifah yang diciptakan untuk memakmurkan bumi, menebar rahmat bagi seluruh makhluk, mengelola dengan bijak kekayaan alam. Tepat seperti yang digubah oleh Syed Hossein Nasr di bukunya Man and Nature; manusia mulia memperlakukan alam dan sesamanya sebagaimana suami mengasihi istri‒ penuh cinta dan rasa tanggung jawab. Manusia yang telah bermetamorfosa menjadi angka memporakparandakan alam dan sesamanya seperti pelacur yang dimanfaatkan hanya untuk memuaskan hasrat pribadi, bahkan tak jarang dicampakkan kejam apabila melawan.

Allahu a’lam

Faris Ibrahim
13 posts

About author
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir I Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds