Tulisan ini merupakan hasil refleksi pasca mengikuti Kajian tentang ‘Geneologi Islam Radikal di Indonesia” bersama Prof. Martin Van Bruinessen, Ph.D (Indonesianis asal Belanda) yang diselenggarakan oleh Program Doktoral Ilmu Sosial FISIP UNAIR Surabaya 28-10-2020.
Ada hal yang menarik dalam sesi diskusi, terkait masifnya proses penyebaran dan pengaruh gerakan Salafi atau proses Salafisasi di Indonesia. Di mana, penyebaran dan pengaruhnya sudah masuk ke semua organisasi sosial keagamaan arus utama di Indonesia, seperti NU-Muhammdiyah.
NU-Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan terbesar baik dari jumlah jamaahnya, jaringan gerakan, dan asset usahanya di Indonesia. Karakter kedua organisasi ini (NU-Muhammadiyah) oleh banyak sarjana baik dalam maupun luar negeri dianggap sebagai organisasi sosial keagamaan yang paling dekat mewakili corak, karakter, dan tradisi Islam Indonesia yang moderat. Sementara gerakan Salafi, lebih dekat dan cenderung mewakili corak tradisi sosial keagamaan Timur Tengah.
Berangkat dari wacana tersebut, muncul sebuah pertanyaan, terus bagaimana posisi dan sikap organisasi sosial keagamaan NU-Muhammadiyah di tengah masifnya proses gerakan Salafisasi global yang gencar terjadi di lapangan? Untuk fokus kajian, maka tulisan ini difokuskan pada pembacaan terhadap bagaimana posisi dan sikap dakwah Muhammadiyah menghadapi fenomena salafisasi global di tengah masyarakat Indonesia?
Salafisasi Global dan Muhammadiyah
Fenomena proses gerakan Salafisasi global terasa betul masuk ke tubuh jamaah Muhammadiyah. Hal itu terpotret dari kegelisahan para pemimpin, maraknya kajian, dan banyaknya karya pemikiran para aktivis Muhammadiyah terhadap fenomena tersebut.
Seperti karya buku hasil riset Prof Haedar Nashir (Ketum PP Muhammadiyah), “Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia” (2013), di antarnya mengkaji tentang pandangan dunia (worldview) gerakan Islam Syariat (HTI, MMI, KPPSI) yang cenderung serba Syariat. Syariat ditempatkan sebagai ajaran utama yang penerapannya melalui pelembagaan formal dalam institusi negara (formalisasi syariat Islam) hingga pembentukan negara Islam (Khilafah Islamiyah). Karena pandangan dunia yang serba syariat, maka gerakan Islam syariat tampil serba doktriner dan serbakaku (rigid). Logika mereka dibangun atas prinsip al-ahkam al-khamsah (lima prinsip hukum Islam), yakni wajib, haram, mubah, sunah, dan makruh.
***
Dunia yang begitu kompleks dikonstruksi serba normatif dan baku dalam sistem berpikir fikih abad pertengahan. Akibatnya, melahirkan fanatisme. Bahwa menegakkan syariat Islam secara formal termasuk dalam institusi negara adalah soal hidup dan mati sebagaimana perintah jihad dalam Islam (IBTimes.ID, Islam Syariat Menurut Haedar Nashir).
Selain itu, ada pula karya buku hasil riset Dr. Sholihul Huda, “The Clash of Ideologi Muhammadiyah: Pertarungan Ideologi Moderat vs Radikal” (2017). Riset ini mengungkap fenomena persinggungan ideologi aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI. Di mana, mereka merasa dakwah “Nahi Mungkar” Muhammadiyah kurang tegas dan lugas, terlalu pasif, bahkan apatis terhadap kemaksiatan, berbeda dengan FPI (MC Hidayat, Benturan Ideologi, Jurnal Afkaruna UMY 2019). Hemat penulis, kritik tersebut kurang pas, sebab strategi dakwah nahi munkar Muhammadiyah lebih berorientasi jangka panjang yaitu perubahan terhadap kesadaran diri melalui proses pendidikan.
Proses salafisasi global tersebut cenderung berdampak kepada terjadinya proses pergeseran paham ideologi dan tradisi sosial keagamaan pada jamaah Muhammadiyah di lapangan. Paling tidak, terpotret ada tiga pola baru tradisi sosial keagamaan baru yang sedang tarik menarik merebutkan ideologi dan tradisi sosial jamaah Muhammadiyah, yaitu Muhammadiyah rasa HTI (MuHTI), Muhammadiyah rasa FPI (MuFI), dan Muhammadiyah rasa Salafi (MuSA).
Pengarusutamaan Wacana Ideologi Melalui Medsos
Masifitas proses Salafisasi tersebut menurut Prof Martin disebabkan oleh pemanfaatan media informasi secara maksimal dalam pola komunikasi dan pengorganisasian dakwah gerakan Salafi di masyarakat. Seperti pemanfaatan secara masif media sosial (medsos) Whatsapp (WA), Twitter, Instagram, dan YouTube.
Sementara, organisasi keagamaan arus utama belum begitu memaksimalkan media informasi sebagai alat komunikasi dan pengorganisasian dakwah. Sehingga, cenderung gagap dalam menghadapi perubahan pola dakwah baru di masyarakat yang sudah berubah pola relasi dan komunikasinya, akibat dari pengaruh teknologi informasi (internet).
Sebagaimana pandangan Jhon Hoffman dalam A Glossary of Political Theory (2007), disebutkan bahwa arus globalisasi dengan senjatanya teknologi informasi, sangat berdampak pada pola perilaku sosial-kultur termasuk sosio-keagamaan di masyarakat. Apalagi jika di sebuah negara (baca: ormas keagamaan) tidak memiliki filter atau ideologi yang kuat, maka akan sangat terasa sekali perubahan yang terjadi.
Masifitas arus informasi itu bahkan sudah menembus “jantung” ruang-ruang privat. Hal itu menjadikan individu atau masyarakat bebas berselancar mengakses informasi apapun yang dibutuhkan termasuk berselancar ideologi keagamaan, tanpa memperdulikan lagi batasan ideologi dan organisasi.
Mengutip Dominique Wolton dalam Kritik atas Teori Komunikasi (2007), dengan dimulainya era internet maka, kita telah memasuki era kesunyian (suwung) interaktif. Di mana, individu terbebas dari segala aturan dan paksaan. Ujian kesunyian ini menjadi terasa riil di saat menghadapi banyaknya kesulitan dalam menjalin kontak dengan sesama.
Media informasi memiliki ketersediaan beragam sumber bacaan dan wacana ideologi keagamaan mulai dari wacana ideologi keagamaan liberal, moderat, hingga radikal. Semua ada. Artinya posisi dan peran ormas keagamaan (baca: Muhammadiyah) saat ini cenderung tidak kuasa melakukan monopoli sumber dan pengarusutamaan ideologi sebagai pegangan dalam praktik kehidupan warganya. Berangkat dari realitas tersebut, maka diperlukan upaya pengembangan atau pembaharuan (tajdid) dalam strategi komunikasi dan pengorganisasi dakwah Muhammadiyah terutama pada Majelis Tabligh.
Pembaruan Strategi Dakwah Majelis Tabligh Muhammadiyah
Majelis Tabligh merupakan lembaga yang memiliki posisi sangat strategis sebagai media terdepan dalam menyiarkan ideologi dan ajaran Muhammadiyah di jamaah Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia.
Artinya, Majelis Tabligh adalah ujung tombak dan gambaran real Persyarikatan Muhammadiyah. Sehingga, ada istilah “abang-ijone” Muhammadiyah tergantung dari profil para mubaligh Muhammadiyah. Dari latar tersebut, maka diperlukan strategi baru dalam komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah. Ada beberapa masukan yang mungkin dapat dijadikan gambaran dalam pembaharuan strategi komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah:
Pertama, pembentukan Mubaligh Digital Muhammadiyah (MDM). Komunitas MDM ini bisa berjumlah 10-30 Kader yang dibentuk ditingkatan Daerah (PDM). Mereka bisa direkrut dari mahasiswa Prodi Teknologi Informasi/Komputer di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang ada di daerah mading- masing.
Komunitas MDM ini disiapkan untuk mengawal dan melaksanan teknis lapangan dalam rangka dakwah digital Muhammadiyah. Maka, untuk membangun dakwah digital Muhammadiyah, Majelis Tabligh bisa menjalin kerjasama dengan Prodi Teknologi Informasi/Komputer PTM yang ada di sekitarnya.
Kedua, pembuatan kanal/portal online di Majelis Tabligh di setiap tingkatan daerah (PDM). Pembuatan kanal portal media online sangat strategis dalam rangka penyebaran ideologi, fikih Muhammadiyah, dan program dakwah Muhammadiyah. Serta dapat menjadi penyeimbang kanal-kanal media online dari kelompok Salafi yang masif dan cenderung menguasai media sosial.
Sehingga, kanal-kanal portal media online Muhammadiyah sangat dibutuhkan jamaah Muhammadiyah sebagai sumber informasi dakwah dan paham keagamaan Muhammadiyah. Sebab saat ini, masyarakat cenderung mengakses sumber-sumber keagamaan dari media online.
Ketiga, pembuatan TV Dakwah Digital melalui pemanfaatan Youtube di setiap tingkatan daerah (PDM). Selain kanal media online, TV digital juga memiliki posisi sangat penting saat ini dalam penyebaran ideologi atau dakwah yang banyak di manfaatkan oleh komunitas keagamaan termasuk kelompok Salafi yang sangat masif. Sehingga, Majelis Tabligh bisa memanfaatkan kanal Youtube sebagai media TV digital untuk menyebarkan ideologi, fikih, dan dakwah Muhammadiyah.
Semoga dapat menjadi perenungan untuk melakukan pembaharuan komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah terutama di Majelis Tabligh.