Perdebatan antara Rasjidi dan Harun itu terdapat banyak situasi yang dibicarakan di dalamnya. Namun, yang akan kita telaah yaitu teologi dan penjelasan singkat tentang filsafat. Filsafat akan membahas permasalahan akal dan wahyu, sedangkan teologi akan membahas permasalahan relevansi teologi rasional Mu’tazilah. Berhubungan dengan permasalahan akal dan wahyu, Harun Nasution berpendapat bahwa dalam Islam peran akal sangat menonjol. Islam sendiri memuat dorongan, ajakan, bahkan intruksi kepada manusia agar sering mempergunakan akal mereka untuk berpikir. (Harun Nasution, 2011:48)
Kritikan Rasjidi kepada Harun
Gagasan Harun tersebut menjelaskan bahwa di samping wahyu dalam Islam, akal juga memiliki peran yang penting. Dari sini dapat dilihat bahwa Harun sangat memprioritaskan akal. Pandangan ini dikomentari oleh Rasjidi menurutnya dalam doktrin Harun terdapat pandangan yang penting, akan tetapi berbahaya jika keyakinan akan akal yang terlalu berlebihan. Seharusnya kita sebagai orang muslim sadar akan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa akal itu memiliki keterbatasan. (H. M. Rasjidi, 1977:111)
Pernyataan di atas melambangkan penyangkalan Rasjidi terhadap perspektif Harun yang menurutnya terlalu mendewakan kinerja akal. Kita sebagai umat muslim sudah seharusnya meyakini bahwa segala macam kebenaran yang muncul dari akal manusia itu bersifat relatif. Kebenaran yang absolut itu munculnya hanya dari Tuhan. Dari entitas tersebut dapat dilihat bahwa Harun dan Rasjidi memiliki perspektif yang berbeda mengenai peran dari akal dan wahyu.
Harun dan Semangat Mu’tazilah
Harun memang sangat antusias pada semangat rasionalitas Mu’tazilah dalam bidang teologinya. Searah mengenai hal itu, Harun mengungkapkan bahwa doktrin yang ada dalam aliran Mu’tazilah tidaklah menyimpang dari ajaran yang ada pada agama Islam. Seperti halnya ajaran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah semua aliran itu masih dalam lingkup Islam. Oleh sebab itu, menurut Harun setiap umat Islam memiliki indepedensi untuk memutuskan aliran filsafat atau teologi yang sesuai dengan hidup mereka. (Harun Nasution, 2012:39)
Pendapat Harun tersebut sangat bertentangan dengan pandangan umum lainnya yang ada di Indonesia. Di sini Rasjidi beranggapan bahwa Harun berupaya mencetuskan kembali aliran Mu’tazilah, dan gagasan seperti itu untuk umat Islam Indonesia sangatlah berbahaya. (H. M. Rasjidi, 1977:107)
Hakikat dari perbedaan pendapat antara Harun dan Rasjidi di atas adalah melibatkan permaslahan bahwa pantaskah apabila teologi rasional Mu’tazilah itu dihidupkan lagi. Dari perbedaan tersebut mendatangkan perdebatan baru bagi kritikus, baik itu yang sepakat ataupun yang bertentangan dengan pendapat mereka berdua. Oleh sebab itu, permasalahan ini sangat penting dipelajari guna mengetahui argumen secara mendalam dari kedua tokoh.
Sebagai aliran teologi rasional, Mu’tazilah memiliki bebepa ciri-ciri yaitu sangat mengutamakan doktrin berpikir logis di setiap pendapatnya. Ia mengambil doktrin-doktrin filsafat Yunani secara kaidah yang digunakan untuk mengungkapkan pendapat teologi mereka. Ketika menyelami Al-Qur’an mereka lebih memfokuskan pada ma’na takwil daripada hanya terpaku pada bacaan saja. Sebab inilah banyak orang menyebut bahwa Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang rasional. (M. Abu Zahrah:144-149)
Pandangan tentang Mu’tazilah
Menurut Harun pemikiran yang diterima di Indonesia yakni paham Asy’ariyah itu lebih condong pada karakter Jabariyyah. (Harun Nasution, 2003:38) dan hal itu membuat manusia tidak berkembang dan bersikap tidak aktif. Sedangkan paham Mu’tazilah lebih memfokuskan pada aliran Qadariyyah yang berkeyakinan bahwa manusia mempunyai keleluasaan dalam memutuskan perilakunya. Harun lebih berupaya untuk menarik permasalahan teologi pada kawasan efektif. Ia melihat bahwa ketertinggalan umat Islam Indonesia itu disebabkan oleh pengaruh pandangan dinamis tradisional atau Jabariyyah dan lambat dalam merebut bagian pembaharuan.
Rasjidi berpendapat bahwa rasionalisme Mu’tazilah membentuk agama menjadi pikiran-pikiran yang mati. Karena agama yang melebihi jangkauan akan kehilangan religiositas iman yang menjadikan agama itu tidak lagi memiliki faedah. (H. M. Rasjidi, 1977:110) Dengan begitu, dapat diketahui alasan Rasjidi menuturkan bahwa rasionalisme Mu’tazilah merusak keteguhan Iman. Secara fenomenal, orang-orang Mu’tazilah telah berusaha untuk menyiarkan ajarannya dengan menekan bahkan melibatkan kekerasan. Kita sebagai kaum rasional akan sangat aneh melihat pemaksaan ajaran seperti itu agar diterima,
Hal ini sangat bertentangan dengan rasionalitas yang mereka serukan. Namun Harun berpendapat bahwa kemajuan umat dapat dicapai dengan teologi rasional, yang dimaksud adalah teologi dari Mu’tazilah. Menurut Harun ragam tradisional yang ada pada filsafat atau teologi Asy’ariyah itu kurang cocok dengan pandangan kaum terpelajar. Menurut mereka corak liberal lebih cocok digunakan untuk kaum terpelajar. (Harun Nasution, 1986:34)
Sedangkan Rasjidi mengatakan bahwa antara Asy’ariyyah dan Mu’tazilah itu keduanya sama-sama memakai argumentasi rasional dalam menegakkan pandangannya. Hal yang membedakan hanyalah titik tekan pada beberapa persoalan saja seperti Asy’ariyyah itu karakternya lebih konservatif ketimbang Mu’tazilah. (H. M. Rasjidi, 1977:111). Harun mempunyai argumentasi sendiri mengapa ia berkata bahwa Mu’tazilah lebih rasional. Baginya perbedaan dasar antara keduanya itu terletak pada keteguhan akal. (Harun Nasution, 2012:37)
Paham Qadariyyah dan Jabariyyah
Menurut Harun paham Qadariyyah lebih bisa ditoleransi secara logis daripada Jabariyyah. Dengan bukti itu Harun mencatat bahwa Mu’tazilah lebih Rasional. Menyambungkan pernyataan Rasjidi yang mengatakan bahwa Asy’ariyyah lebih konservatif itu hanyalah permasalahan terminologis. Sebab arti dari konservatif dalam persoalan ini adalah lebih tradisional. Dengan begitu, pernyataan itu sama saja dengan menyatakan bahwa Asy’ariyyah lebih tradisonal daripada Mu’tazilah dan memang benar begitu adanya.
Menurut Harun spirit pemikiran Mu’tazilah mulai muncul kembali lagi pada zaman modern tepatnya pada abad 19. Beberapa tokohnya adalah Muhammad Abduh, al-Afghani dan Ahmad Khan. Namun, pernyataan itu ditolak oleh Rasjidi, ia berpendapat bahwa ketiga tokoh tersebut adalah penganut Ahlusunnah wal jamaah bukan Mu’tazilah ataupun Syi’ah. Mereka adalah para tokoh modernis yang berusaha mencari jalan keluar dari ketertinggalan umat Islam saat itu. Kedua pernyataan tersebut tidak ada yang salah, karena dari ketiga tokoh tersebut memang tidak pernah secara gamblang mengatakan paham apa yang mereka anut. (Harun Nasution, 1997:94)
Menurut Harun kondisi sosial-politik itu mempengaruhi banyaknya perbedaan pandangan dan proses penyebaran pada permasalahan teologi. Alasan hilangnya Mu’tazilah dalam sejarah tidak terlalu dipermasalahkannya, karena Harun lebih fokus pada permasalahan yang timbul di zaman modern. Sedangkan Rasjidi berpendapat bahwa hilangnya Mu’tazilah dari sejarah itu disebabkan oleh pemikiran mereka yang membahayakan keteguhan iman dan menjadi dalih bahwa rasionalismenya tidak cocok di zaman modern terlebih di Indonesia. Harun Nasution, 1986:64)
Satu hal yang harus diperhatikan ialah jangan mudah mengatakan bahwa Harun adalah pengikut Mu’tazilah, karena kita belum menemukan dalih kuat terhadap pernyataan itu. Walaupun memang benar adanya bahwa Harun tertarik pada doktrin mereka, lebih khususnya pada penghormatan mereka yang sangat besar terhadap peran akal.
Editor: RF Wuland