Di tengah beragamnya pemahaman akan dalil dalam beribadah di Indonesia, sikap moderat ini sangat diperlukan. Alih-alih paham ini mengombinasikan dua gagasan pemikir untuk keharmonisan umat. Di sisi lain persatuan umat bisa tetap terjaga dengan baik dan perdebatan sekaligus klaim-klaim merasa yang paling benar bisa dihindarkan. Teologi moderat ialah paham yang mengambil jalan tengah dari asam garam suatu ibadah maupun anjuran dalam islam, teologi ini mampu mengonfrontasikan dua gagasan yang saling berlawanan. Sikap moderat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan kecenderungan yang mengarah ke ukuran ataupun jalan tengah. Maksudnya jika perilaku moderat ialah suatu jalur tengah yang dipakai seseorang yang diyakini tidak radikal maupun liberal.
Mu’tazilah atau As’ariyyah
Dalam kacamata tertentu sikap moderat nyaris mirip dengan doktrin teologi Mu’tazilah sebelum Washil bin Atha’ I’tazalana (memisahkan diri dari kelompok Imam Hasan Al-Bashri). Ia mengeluarkan statemen bahwa tersangka dosa besar tidak kafir secara mutlak, tidak pula mukmin secara mutlak, Manzilah baina manzilatain (kedudukan di antara dua kedudukan) yang dimaksud sebagai jalan tengah (Al-Farqu Baina Al- Firaq, 2010:12).
Namun, validitas sejarah menegaskan bahwa peran As’ariyyah saat mendinginkan perseteruan antara dua kelompok ekstrem (Mu’tazilah dan ahli hadits). Hal ini menyebabkan banyak ahli pakar yang menilai bahwa A’asriyyah-lah aliran kalam yang Moderat (jalan tengah) antara paham mu’tazilah dengan ahli hadist dan antara Jabariyah dan Qadariyah di sisi yang lain (Tabyin kadhb al-Muftari, hal 34).
Bersikap ekstrem setiap kali ada perkelahian antara dua gagasan yang tidak searah layak untuk dikesampingkan. Keputusan dari Mushohih melalui jalan tengah bisa diterima oleh akal pikiran dan dapat menghindari adanya perselisihan berkelanjutan diantara keduanya. Akan tetapi, sangat lazim jika dalam perdebatan satu pihak tersulut api emosi dan sebagian lainnya mengakui kekuatan dalil dari pihak yang lain atau mengaku kalah karena keterbatasan ilmu.
Di dalam kitab Syaikh Az-Zarnuji karya fenomenal dan sangat fantastis yang pernah diciptakan dalam sejarah pendidikan Islam (Ta’lim Muta’allim) juga menjelaskan mengenai hal tersebut, “Jika niat dalam berdiskusi/berdebat hanya untuk mengalahkan lawan bicara dan memojokannya, maka hal itu tidak diperbolehkan, hal itu diperbolehkan jika tujuannya untuk menampakkan hal yang benar” ((شرح تعليم ص 50.
Ilmu Agama Berkembang Pesat karena Perdebatan
Singkatnya, ilmu pengetahuan bisa berkembang sedemikian pesatnya dalam agama Islam disebabkan adanya pertarungan-pertarungan argumentasi. Seperti yang dilantunkan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah pada acara Pascasarjana (Metode Studi Agama dan Studi Islam di era Kontemporer) 10/23, bahwa “Cita-cita atau inovasi itu ada ketika disiplin-disiplin ilmu berjumpa”.
Dalam hal ini Imam Syafi’i pun mengalami, ia berdebat semalaman suntuk dengan murid dari Imam Hanafi Asy-Syaibani. Beradu argumentasi dan analisis ilmiah berlinang dalam perdebatan. Bahkan, dikisahkan Imam Syafi’i wafat usai beberapa hari melangsungkan perdebatan yang meletihkan dengan seorang yang Faqih dari Mazhab Maliki.
Dan perlu diketahui bahwa pemimpin-pemimpin dinasti Abasiyah memiliki hobi yang unik, mereka gemar mengadu ilmuwan untuk berdebat. Bahkan, dikisahkan raja-raja dinasti Abasiyah memfalisitasi para pendebat dengan membuatkannya theater khusus yang dijadikan arena perdebatan bergengsi pada masa itu. (Tirto.com).
Jauh setelah perdebatan sengit antara para ulama’, tabi’, dan tabiin di masa kejayaan Islam. Nusantara kita tidak kalah pula akan tradisi-tradisi perdebatan yang demikian hidup. Salah satunya adalah perdebatan KH. Hasyiem Asy’ari ulama’ berwibawa dan memiliki daya tarik yang luar biasa, pendiri Nahdlatul Ulama’ ini pernah beranggar pena (berdiskusi) dengan beberapa ulama’.
Pertama, Kiai Hasyiem berdebat dengan Kiai Faqih Maskumambang, sumber polemik adalah terkait hukum penggunaan kentongan untuk menandakan masuknya waktu sholat. Selanjutnya adalah dengan Kiai Abdullah Pasuruan, beliau-beliau mendiskusikan tentang pandangan dan sikap Nahdlatul Ulama’ atas keputusan yang diambil pada masa itu. Hingga akhirnya Kiai Hasyiem As’ari merespon terkait kritikan tersebut dengan menulis buku Ziyadatut Ta’liqat. Buku dari pandangannya yang begitu bening nan jernih.
Mirisnya di Indonesia masih banyaknya dikotomi-dikotomi di tengah masyarakat akan orang baik. Didesain sebagai orang yang belajar agama saja, sedangkan orang yang bersaing tidak mendapat jaminan surga. Dikotomi yang mempunyai tendensi akan diksi-diksi yang membuat sebagian kalangan muslim enggan bersaing, menuntun eksistensi akan para intelektual muda muslim mengarah pada kemusnahan.
Fastabiqul Khairats Seperti Apa?
Kita harus memahami bahwa di dalam ajaran Islam dianjurkan untuk belomba-lomba dalam hal kebaikan. Termasuk di antaranya adalah bersaing di tengah dialog burhani, irfani dan bayani, Sehingga Islam sudah berhasil dalam menghasilkan peradaban yang progresif. Di dalam Al-Qur’an sendiri ayat-ayat yang mendesak umat Islam untuk berpikir tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang memerintahkan ketaatan buta (Irshad Manji, 2012:13).
Dengan demikian, kita dapat memahami etika perdebatan, bersaing, dan sikap dari moderat ini sebagai suatu arahan mengakomodir atau mengakomodasi pemikiran atau pandangan orang lain. Hal ini juga diyakini paham ini sangat memihak ke satu sisi yang cenderung netral. Bersifat kompromi, berlaku layaknya orang kompromis dan condong lebih dekat dengan sikap toleransi dan saat melangsungkan aksinya pun sangat kooperatif.
Editor: RF Wuland