Perspektif

Adzan Jihad: Waspada Penunggang Gelap Agama

3 Mins read

Agama dapat dipahami sebagai suatu hubungan manusia dengan segala hal. Hal tersebut mencakup aspek spiritual maupun sosial yang mana suatu “Realitas Mutlak” atau biasa disebut Tuhan. Hal ini menjadi pusat tujuan dan ketergantungan. Sebab, jika kita melihat sejarah spiritualitas manusia.  Kita dapat membuktikan bahwa kehadiran agama pasti dimotori oleh pengalaman atau dibarengi religiusitas yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Keterkaitan agama dengan spiritulitas-religius dapat dihubungkan oleh adanya sesuatu yang dianggap “suci“ yaitu Tuhan kemudian yang di dalamnya penuh dengan unsur kepercayaan (Gazali et.al, 2019:06). Maka, sangat wajar hadir dan mucul animisme, dinamisme, politheisme, dan lain sebagianya. Sebab itu semua adalah hasil penafsiran manusia atas realitas suci yang dialaminya.

Para Penunggang Gelap

Dalam praktik beragama, manusia yang disebut sholeh ialah mereka yang menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganya. Serta senantiasa berbuat baik kepada makhluk lain meskipun makhluk tersebut belum tentu atau bahkan berbuat jahat kepada kita. Penafsiran atas Tuhan serta perintah maupun larangan-Nya, banyak ditumpangi oleh para penunggang gelap.Para penunggang gelap ini akan mengandalkan kharisma, kemampuan berorasi, serta berwacana yang mampu memukau kelas menengah maupun kaum akar rumput.Disebabkan kepentingan syahwat politik, ekonomi, maupun kekuasaan.

Mereka akan secara terang-terangan mengklaim kebenaran yang ia sampaikan dengan memanfaatkan para orang-orang awam yang ada di kelas bawah. Bahkan, truth claim yang mereka bawa dapat berdampak pada penumpahan darah. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana peristiwa di Sigi, maupun adzan hayya ala al-jihad dengan membawa perang maupun pedang yang sempat viral di jagat maya.

Sebenarnya, dengan adanya fiqh jihad KH Hasyim Asy’ari dapat merumuskan resolusi jihad sehingga umat Islam waktu itu punya landasan dalam berjihad senjata melawan penjajah. Namun, hari ini di mana kondisi damai dalam keberagaman. Tiba-tiba ada yang mengumandangkan adzan hayya ala al-jihad. Kalau bukan karena syahwat kepentingan para “penunggang gelap agama”, tidak mungkin itu dilontarkan.

Baca Juga  Mengunggah Foto Jenazah di Media Sosial: Patutkah?

Maka, sangat relevan kritik Karl Marx. Hemat penulis sebenarnya ia tujukan pada realitas para penunggang gelap agama waktu itu. Ia menyatakan bahwa agama menunjukkan ketidakberesan keadaan dalam masyarakat. Bukankah seringkali agama bersekutu dengan penguasa maupun pemodal. Secara tidak langsung membiarkan “rakyat” hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya. Bukankah ia menjadi sekutu bagi para penghisap dan penindas (Franz Magnis Suseno, 2006:73).

Membangun Sikap Waspada

Sebagaimana pernyataan Muhammad Nursamad Kamba, bahwa argumentasi yang muncul dari pikiran yang dikuasai oleh syahwat adalah kepalsuan. Hal ini berakibat pada keragu-raguan dalam keyakinan kita. Bisa jadi inilah yang terjadi dalam diri orang yang terjebak dalam kekerasan beragama.  Yakni pikiran mereka (penunggang gelap agama) dikuasai oleh syahwat kekuasaan, syahwat ingin dihormati, syahwat ingin dipuji, dan sebagainya.

Lantas berargumentasi bahwa ia menggunakan ajaran-ajaran Nabi-yang dirasanya relevan dengan egonya (M.N.Kamba, 2020:157). Oleh sebab itu, para penunggang gelap agama tidak akan sungkan-sungkan dalam menjual ayat-ayat Tuhan serta hadis-hadis Nabi demi kepentingannya. Tindakan lisan melalui persekusi dan provokasi, serta tindakan fisik melalui aksi-aksi teror akan terus terjadi.

Maka sikap waspada perlu dilakukan agar tidak larut dalam kondisi yang orang tua terdahulu menyebutnya sebagai kondisi edane jaman.

Dalam tradisi jawa ada sebuah sikap dan perilaku hidup yang diajarkan. Yaitu eling lan waspada. Waspada terhadap segala sesuatu, agar manusia tidak mudah tergelincir pada hal-hal yang tidak perlu. Jika dalam ajaran Buddhisme zen maka dikenal istilah  mindfulness, yaitu suatu sikap kondisi yang selalu sadar, awas, dan tidak lengah. Sebab manusia adalah makhluk berkesadaran. Yakni, sadar akan segala sesuatu yang ada dilingkungannya (Ulil Abshar Abdalla, 2019:30).

Baca Juga  Kapitalisasi Penghasil Hoax di Era Post-truth

Maka, dengan kita membangun sikap yang senantiasa waspada, kita akan mengerti dan mengetahui baik-buruk, benar-salah, serta terhindar dari keterpelesetan maupun pengaruh dari para penunggang gelap agama.

Apa yang Perlu Disadari?

Hal pokok yang menjadi bahan utama penunggang gelap agama ialah menjual klaim kebenaran. Maka kita harus sadari bahwa kebenaran sejatinya milik Allah SWT sebagaimana dalam firmanya; Al-ḥaqqu min rabbika fa lā takụnanna minal-mumtarīn. “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.

Dari ayat inilah kita dapat pahami bahwa sebenarnya kebenaran (wahyu) itu Mutlak dari Tuhan. Namun, ketika ia diinterpretasikan, ditafsirkan, lalu disampaikan oleh manusia ia menjadi kebenaran yang relatif. Sebab Tuhan sebagai Zat Maha hakiki, multak, dan absolute. Berbeda dengan realitas makhluk (manusia) yang ia relatif.

Maka, mana mungkin kebenaran mutlak dicakup oleh sesuatu yang relatif (Sachiko Murata, 1996:80). Oleh sebab itu, pengetahuan manusia senantiasa berkembang ataupun bisa berubah sesuai dengan konteks kondisi, maupun situasi historis yang melingkupi waktu itu. Maka, pengetahuan yang hari ini kita anggap benar bisa jadi salah dikemudian hari. Kesadaran akan kerelatifan manusia ini akan membuat kita menjadi pribadi yang enjoy dan relax dalam beragama.

Lantas, kita sebagai manusia bergerak dalam ranah apa? Sebagaimana firman Allah SWT bahwa kita diperintahkan senantiasa berlomba dalam kebaikan. Ber-fastabiqul khairat bukan fastabiqul haq. Dari sinilah agama dapat dimanifestasikan dalam ranah sosial (pembangunan rumah sakit, sekolah, universitas, panti asuhan). Sebagaimana Muhammadiyah yang tidak lelah berkhidmat dalam masalah-masalah tersebut.

Serta terinternalisasi dalam praktek spritual yang jelas dan bersanad. Sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Nahdhatul Ulama (NU) dalam mengaji kitab-kitab klasik serta direlevansikan dengan kondisi saat ini. Bukan malah mengubah adzan dengan hayya ala al-jihad dan membawa parang.

Baca Juga  Membuka Sekolah Saat Pandemi: Kepastian dalam Ketidakpastian

Editor: Wulan

Rizaldy Muhaimin
5 posts

About author
Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds