Review

Peran Penting Civil Islam Atasi Carut Marut Perpolitikan

3 Mins read

Tesis yang diajukan Profesor Achmad Jainuri dalam bukunya Islam dan Agenda Indonesia Berkemajuan (Hikmah Press, 2020) sederhana, yakni proses radikalisasi dan intoleransi yang terjadi di tanah air, yang dipicu oleh adanya ketidakadilan sosial.

Intelektual muslim ini berargumentasi bahwa sebenarnya pengerasan sikap keberagamaan yang terjadi pada sebagian kelompok, merupakan bentuk ekspresi kemarahan. Mereka marah lantaran keadilan sosial yang sejatinya menjadi landasan bernegara kita (sila kelima Pancasila), tidak dapat terpenuhi.

Para pihak yang sejatinya bertanggung jawab atas terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tampaknya belum memprioritaskan perkara ini.

Dengan kata lain, negara menyisakan pekerjaan rumah yang serius, yakni belum memenuhi keadilan sosial warga negaranya. Secara lebih jauh, sarjana alumni McGill University, Kanada ini, menganggap bahwa “agenda ini belum terselesaikan”, untuk menghindari menyebut “tak perlu” diselesaikan (hal. 79-91).

Keadilan Hanya Berlaku Bagi Mereka yang Kaya dan Berkuasa

Sebagai bukti yang mendukung argumentasi ini adalah merebaknya fenomena “keadilan hanya berlaku bagi mereka yang kaya dan berkuasa.”

Sementara, kelompok termarginalkan tetap tak mampu mengakses cita-cita suci yang diimpikannya. Atas sekian banyak korupsi kelas kakap yang terjadi, tak ada satu pun yang tertangkap jaring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Malah belakangan, pelemahan atas lembaga anti rasuah ini dilakukan oleh para elite tertentu, melalui persekongkolan yang rapi, tak berbekas dan sistematis.

Kejahatan kerah putih, mendapatkan tempatnya yang strategis. Apa yang menjadi kegelisahan Jainuri ini, berjalan beriringan dengan analisis seorang ilmuwan politik terkemuka, Vedi Hadiz.

Selama empat tahun terakhir, Profesor yang duduk di The University of Melbourne ini mengamati adanya kecenderungan bahwa segerombolan elite (oligarki) telah bertindak tidak adil, sehingga memicu kemarahan kelompok populis. Bukan hanya itu, dalam Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Illiberalism? (2017) ia menyatakan bahwa ketika kontestasi terjadi antara oligarki dengan kekuatan massa ekstra parlementer, maka penguasa tampil dengan wajahnya yang mengeras.

Baca Juga  Spirit Profetik Novel Muhammad (1): Lelaki Penggenggam Hujan

Demikian pula dengan massa (populisme Islamis) tersebut. Meneriakkan takbir dengan rasa psikologi sosial yang sangat emosional (seperti menyimpan dendam), menurut Jainuri, memang dalam pemerintahan yang demokratis, berbagai bentuk koalisi dan oposisi politik merupakan hal biasa (hal. 92-102).

Masa Depan Demokrasi Substansial di Indonesia

Namun, menurut refleksi Hadiz dalam Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing Politics in Indonesia (2018), jika hal itu justru mendorong adanya fragmentasi warga negara secara diametral (kanan-kiri) dan agama menjadi instrumen politik keduanya, maka bagaimana dengan masa depan demokrasi substansial di Indonesia?

Para pembaca mungkin bisa menebaknya. Kita tidak menjadi anak bangsa yang semakin kaya akan keberbedaan, keragaman, dan kebinekaan, sebagaimana yang diimpikan Jainuri dalam bab pertama bukunya “Membangun sikap toleran berdasar nilai pluralitas” (hal. 7-42).

Kita tidak sedang memanen rahmat, karena dulu menanam benih pluralisme. Kita terpecah, dan karena instrumentalisasi yang dimainkan para agensi politik adalah simbol-simbol keagamaan, maka masing-masing pihak secara lebih liar mengklaim kebenaran menurut versinya sendiri-sendiri.

Implikasinya adalah fenomena pengkafiran “takfir” terhadap mereka yang “berbeda”, dianggap sebagai senjata ampuh untuk memenangkan kursi kekuasaan tertentu. Ketika kelompok massa tertentu yang cenderung teradikalkan (oposisi) menyerang kelompok politik penguasa–dan hal ini berhasil menumbangkan representasi minoritas dalam kontes politik elektoral DKI Jakarta–, maka penguasa membentuk benteng pertahanan yang tidak bisa dianggap remeh.

Apa yang disebutkan terakhir ini, akhirnya semakin sensitif dengan segala instrumen yang dimainkan populisme Islamis. Penguasa menjadi lebih garang dan mewaspadai “konservatisme keagamaan” sebagai hal yang senada dengan radikalisme, atau bahkan terorisme.

Ada proyek “sekuritisasi” kepada kelompok Islamis yang dimainkan sebagai manuver rasional. Sehingga “penangkapan” demi “penangkapan” dilakukan untuk meredam resonansi oposisi yang menguat. Kalau sudah demikian, bukankah kita justru menikmati buah “otoritarianisme” yang mirip dengan gaya politik ala Soeharto?

Baca Juga  Bahaya Krisis Iklim Bagi Kehidupan Manusia

Orde Indonesia Maju Serasa Orde Otoriter

Sebagaimana halnya Jainuri, yang secara kritis melihat bahwa sesungguhnya “Orde Indonesia Maju serasa Orde Otoriter” (hal. 165-168). Atau menurut hemat Hadiz dalam Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn (2019), demokrasi Indonesia pada dekade kedua pasca-perubahan politik 1998 justru berbalik arah menuju otoritarianisme.

Kita masih memperhatikan dengan saksama dalam beberapa minggu ini. Pasca-kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia (dari tanah Arab Saudi), membawa sentimen anti pemerintah yang kuat. Teriakan massa populis Islamis masih sama, yakni rezim telah zalim karena melakukan ketidakadilan. Lalu gerombolan massa ini, dipukul mundur oleh penguasa melalui tertembaknya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) (salah satu organisasi sebagai agensi populisme Islamis).

Saya tidak ingin membahas apakah yang terjadi merupakan pelanggaran HAM (human rights violation by commission) ataukah tindak pidana biasa yang ditangani sesuai dengan KUHAP. Yang terbaca jelas di permukaan, sebagaimana menurut Hadiz dalam Indonesia’s missing Left and the Islamisation of dissent (2020), apa yang dilakukan penguasa adalah menyalakan detonator dendam, yang suatu saat bisa meledak menjadi massa besar yang tak terkendali.

Menurut Jainuri, oleh karena penguasa melakukan “Politik pelemahan terhadap Islam” (hal. 153-155), jika tidak ada tindakan peredaman yang berarti, maka badai revolusi akan menggulung republik ini. Ini tandanya sudah bahaya. Genting. Tidak ada kata lain kecuali masalah ini diatasi.

Ketika pemerintah mustahil melakukannya, demikian pula dengan massa populis Islamis, maka tugas penengah kontestasi politik yang tidak sehat ini hanya ada di pundak masyarakat sipil. Mengapa? Karena merekalah yang masih memiliki nilai-nilai keadaban dan mampu menggerakkan peradaban. Merekalah yang mampu meyakinkan para pihak yang berseteru.

Baca Juga  "Ber-Tuhan" Melawan Tuhan: Menggugat Paham dan Praktek Keberagamaan Kita

Siapa mereka? Secara konkret, mereka adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di tangan merekalah masa depan demokratisasi Indonesia berada.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana harapan mewujudkan toleransi, demokrasi, dan keadilan di Indonesia ini, kita bisa membaca buku Bapak Achmad Jainuri yang sangat mencerahkan. Analisisnya kritis dan sekaligus mampu menyelipkan harapan-harapan kebajikan yang melegakan. Beliau merevitalisasi tesis “civil Islam” yang dulu pernah diperkenalkan Robert Hefner beberapa dekade silam. Sehingga mendapatkan tempatnya pada konteks yang sesuai di masa kini. Selamat membaca!

Editor: Lely N

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds