Falsafah

Filsafat Kejahatan, Asal Muasal Korupsi

3 Mins read

Banyak teolog mengira bahwa asal muasal kejahatan berasal dari dorongan seksual. Argumentasi ini dibangun dari kisah mengenai Adam, Hawa, dan buah keabadian (khuldi).

Adam yang tergoda oleh rayuan Hawa—Hawa yang sebelumnya memahami rasionalisasi keabadian (hikmah khalidah), yang secara persuasif disampaikan oleh setan—pada akhirnya mengambil resiko untuk memakan buah khuldi, dengan konsekuensi bahwa ia akan bertransformasi menjadi makhluk yang kekal abadi.

Hubungan Peristiwa Buah Khuldi dengan Hawa Nafsu Manusia

Ketika bentuk kekekalan abadi seperti manusia super mustahil diraih, maka hal yang paling memungkinkan untuk memastikan hal itu adalah regenerasi. Sementara itu, regenerasi, hanya bisa berjalan dengan baik jika melalui proses reproduksi. Reproduksi alamiah, tentu saja bermula dari dorongan libidinalitas sosok lelaki dan perempuan.

Jadi, simbol buah khuldi dan pengingkaran Adam dan Hawa atas hukum surgawi—larangan untuk menyentuhnya—merupakan peribaratan estetis untuk menunjukkan ketidakmampuan manusia menahan hawa nafsu birahinya.

Akibatnya, degradasi terjadi oleh karena “hubungan seksual” yang selalu mengedepankan aspek biologis manusia. Eksistensi manusia yang sebelumnya hadir dalam wujud entitas rohani, kemudian menjelma menjadi makhluk yang memiliki fisik material. Di saat momen ini terjadi, keduanya (Adam dan Hawa) dikeluarkan dari taman firdaus dan turun ke dunia.

Di dunia yang serba material, segala dorongan alamiah manusia, mendapatkan tempatnya. Tidak heran jika kemudian, ras manusia terpelihara. Hingga pada akhirnya, kita mengenal istilah yang menunjuk manusia secara jamak: kaum, masyarakat, rakyat, dan bahkan populasi.

Keabadian manusia, pada akhirnya, mendapatkan wadahnya yang sesuai. Bumi ini, semakin penuh sesak dengan manusia-manusia yang terus-menerus silih berganti. Namun, tetap mereka adalah bagian dari ras manusia.

Kehendak untuk Berkuasa, Awal dari Kejahatan?

Ada episode yang terlewatkan dari Adam, Hawa dan buah khuldi. Karena itu, hal ini perlu secara detil diungkap. Misalnya, “bisikan” yang mendorong adanya pengingkaran atas hukum surga kepada Hawa, justru datang dari sosok rohani yang serupa, walaupun memiliki orientasi yang berbeda.

Baca Juga  Metode Ibnu Rusyd dalam Mencari Kebenaran

Setan berbisik mengenai superioritas makhluk yang abadi, yang bagi Hawa merupakan hal yang begitu penting. Keabadian adalah kekekalan; tiada mengalami kemusnahan. Dengan begitu, maka kesempatan untuk hadir secara eksistensial akan senantiasa ada. Jika Tuhan dianggap Dzat yang kekal abadi, setidaknya dengan “keabadian” yang dianggap secara potensial bisa diraih oleh manusia, ia bisa menikmati kondisi yang sama.

Ketertarikan akan keabadian adalah bagian dari kehendak untuk berkuasa. Ternyata bagian yang lebih subtil ketimbang dorongan libidinalitas adalah will to power. Ia adalah penyebab sebelum adanya buta hati lantaran selimut birahi. Manusia juga tidak bisa melepaskan cengkraman kehendak untuk berkuasa tatkala mengejawantahkan perkara ini. Dengan kata lain, dorongan seksual ternyata sekaligus merupakan operasi penguasaan terhadap entitas di luar dirinya.

Namun, apakah operasi penguasaan hanya menyelinap pada dorongan seksual? Tentu tidak. Bahkan hal itulah yang—disadari atau tidak—memberikan warna pada seluruh aspek kehidupan manusia. Bahkan, segala kreativitas nalar rasional manusia, memproduksi pengetahuan (termasuk di antaranya filsafat, teologi, kebudayaan, moralitas dan seterusnya)—dengan sengaja atau tidak—berorientasi kepada kepentingan untuk menguasai.

Manipulasi Manusia Demi Mengejar Kekuasaan

Manusia secara cukup detil bahkan mampu menyembunyikan “motif-motif” terselubung di balik adanya seruan moral tertentu. Padahal, ujung perkara yang ada, yang sesungguhnya ingin digenapi adalah kehendak untuk berkuasa. Kehendak inilah yang menjadikan sebuah subjek ingin melampaui segala-gala yang ada; segala makhluk dan bahkan semesta. Ambisi tersembunyi, barangkali bisa menjadi kata kunci yang cocok digunakan untuk menggambarkan modus operandi kehendak jenis ini.

Memang apa yang menjadi tujuan manusia berkuasa? Apakah sekedar berkedudukan lebih tinggi dari sesamanya, atau bahkan semesta? Apakah keabadian cukup untuk menggenapkan hal itu? Atau sebenarnya, adakah hal yang lebih tinggi dari keabadian? Apakah keabadian merupakan puncak dari segala keinginan?

Baca Juga  Akal dan Kegaibannya

Mengenai pertanyaan yang diajukan terakhir, tampaknya keabadian bukanlah puncak paripurna kehendak manusia. Demikian pula mengenai hal yang paralel dengannya: kehendak untuk berkuasa. Adam dan Hawa di surga menikmati segala kenyamanan, keterpenuhan, dan pada akhirnya kebahagiaan.

Ingat bahwa akumulasi kekayaan yang direpresentasikan oleh kepemilikan harta benda, properti. dan pada saat ini adalah uang, merupakan instrumen untuk memenuhi panggilan kenyamanan, keterpenuhan, dan kebahagiaan. Dalam konteks kehidupan surgawi, segala-gala yang dibutuhkan sudah terpenuhi. Namun segala-gala yang diinginkan, ternyata ada batasnya; pohon yang terlarang.

Kepuasan-Kepuasan yang Tidak Terpenuhi

Memang benar bahwa baik itu kebutuhan maupun keinginan, sama-sama berpotensi mengantarkan kepada kebahagiaan (entah itu sementara, ataukah paripurna). Melalui pemenuhan akan kedua hal itu, maka keterpenuhan akan diraih (puas, namun bukan berarti menggapai the sense of fullness).

Hal ini sama seperti, baik orang yang bersikap sederhana-bersahaja, dengan yang royal-hedonistik, sama-sama mampu menggapai kepuasan (sekali lagi, meskipun bukan selalu the sense of fullness). The sense of fullness, dalam bahasa sederhana adalah syukur (walaupun penghayatan dan praktiknya tidaklah sederhana). Namun, ada keterpenuhan yang didapatkan dari pengekangan diri (berpuasa, tirakat, atau bersemedi), ada pula yang melalui ekstravaganza keserakahan.

Pemenuhan kebutuhan secara bersahaja, itulah yang sebenarnya menjamin eksistensi manusia untuk hidup di alam rohani. Sementara pemenuhan keinginan tanpa batas (yang berani menerobos tata aturan pohon larangan) adalah manifestasi pemujaan terhadap keserakahan.

Mengenai yang terakhir ini, akan membuat manusia selamanya berhadapan dengan haus dahaga dan penasaran. Keterpenuhan akan menjelma keinginan yang berlipat ganda. Sementara kebahagiaan menjadi hal ideal yang tak bisa digenggam, karena terus bergerak dan berkembang menuju jalan panjang ketidakpuasan yang abadi.

Baca Juga  Belajar Filsafat itu Tidak Akan Pernah Selesai!

Asal Muasal Kejahatan: Keserakahan atau Dorongan Nafsu?

Inilah pengembaraan filosofis yang menentang argumentasi bahwa sumber kejahatan adalah dorongan libidinalitas. Ternyata, kehendak manusia bergerak lebih liar daripada itu. Keserakahan adalah kata kunci yang bisa menjelaskan adanya segala dorongan untuk menerobos segala bentuk tata aturan, termasuk untuk berani korupsi.

Dengan demikian, barangkali itulah asal muasal kejahatan ditinjau menurut sudut pandang filosofis. []

Editor: Zahra

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *