Tafsir

Hermeneutika dan Relevansinya dengan Ulumul Qur’an

4 Mins read

Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih jauh, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam mitologi Yunani.

Memang tak bisa dipungkiri, penggunaan hermeneutika sebagai upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an dan upaya untuk mengembangkan Ulumul Qur’an masih menuai pro dan kontra dari para sarjana muslim. Sebagian menerima hermeneutika secara totalitas, sebagian lainnya menolak hermeneutika ‘mati-matian’, dan sebagiannya lagi berada di tengah-tengah keduanya.

Dalam bukunya, Ushul Fikih versus Hermeneutika, Yudian Wahyudi menuliskan alasan penolakan penggunaan hermeneutika;

Dalam tradisi Barat, Hermes berperan menafsirkan pikiran Tuhan. Di sini, banyak ulama yang berkeberatan hermeneutika dijadikan metode untuk menafsirkan Al-Qur’an. Mengapa? Karena peran Hermes ini berakibat bahwa pesan verbatim Tuhan hilang, bercampurbaur dengan pikiran Hermes. Dengan kata lain, penggunaan hermeneutika tanpa syarat sama dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak otentik.”

Dari uraian di atas, bisa kita ketahui bahwa penolakan ulama atas penggunaan hermeneutika terhadap Al-Qur’an adalah jika hermeneutika mempersoalkan hakikat Al-Qur’an sebagai wahyu verbatim Tuhan.

Lagipula, antara Ulumul Qur’an (ilmu tafsir) dan hermeneutik punya sisi kesamaan, yaitu keduanya sama-sama berfungsi untuk menafsirkan dan memahami teks secara cermat. Argumen yang lain, upaya mensintesiskan keilmuan Islam dengan ilmu-ilmu sekuler bukanlah hal yang baru dalam tradisi Islam. Dahulu, kaum Mu’tazilah menggabungkan teologi Islam dengan filsafat Yunani.

Empat Terma Hermeneutik

Matthias Jung membagi hermeneutik menjadi empat terma:

Pertama, hermeneuse. Istilah ini dapat didefinisikan dengan ‘aktivitas dan produk penafsiran’. Dalam tradisi Islam, karya-karya penafsiran (hermeneuse) sangat banyak jumlahnya. Sebut saja misalnya Jami’ Al-Bayan karya Ath-Thabari, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim karya Ibn Katsir, Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi, dan masih banyak lagi.

Baca Juga  Hubungan Fujur dan Taqwa dengan Kepercayaan Kita

Kedua, hermeneutika (dalam arti sempit). Jika seseorang berbicara tentang langkah-langkah atau metode, regulasi atau aturan penafsiran, maka berarti dia sedang berbicara tentang hermeneutika dalam arti sempit. Didalam tradisi Islam, Al-Burhan dan Al-Itqan bisa dikategorikan dalam terma ini.

Ketiga, hermeneutika filosofis. Hermeneutika filosofis tidak lagi membicarakan metode eksegetis tertentu sebagai objek pembahasan inti. Mlainkan hal-hal yang terkait dengan ‘kondisi-kondisi kemungkinan’, yang dengannya seseorang dapat memahami dan menafsirkan sebuah teks, simbol, atau perilaku. Dalam tradisi Islam, pembahasan mengenai terma ini sangat jarang ditemui.

Keempat, filsafat hermeneutis. Filsafat hermeneutis adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab ‘problem-problem’ kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi. Dalam tradisi Islam, pembahasan mengenai terma ini juga masih sangat jarang ditemui.

Atas dasar ini, maka tidak ada salahnya bagi sarjana-sarjana muslim untuk belajar kepada ‘Barat’, khususnya terkait aspek-aspek yang termasuk dalam bidang hermeneutika filosofis dan filsafat hermeneutis.

Hermeneutik dan Relevansinya dengan Pengembangan Ulumul Qur’an

Seperti dibahas di awal, bahwa hermeneutik bisa disintesiskan dengan Ulumul Qur’an dengan catatan tidak mempersoalkan hakikat Al-Qur’an sebagai wahyu verbatim Tuhan. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengelaborasi lebih jauh kaitan hermeneutika Schleiermacher dan Gadamer dengan pengembangan Ulumul Qur’an.

Pemikiran hermeneutika Schleiermacher digolongkan ke dalam aliran objektivis. Aliran ini juga disebut aliran romantisis. Dalam hal ini, Schleiermacher mengusulkan langkah-langkah metodis yang terangkum dalam hermeneutika gramatikal dan hermeneutika psikologis.

Terkait dengan hermeneutika psikologis tidak mungkin dipraktikkan untuk Al-Qur’an karena hermeneutika psikologis menuntut penafsir menyelami psikologi Allah sebagai pengarang Al-Qur’an. Hal semacam ini mustahil kita lakukan. Psikologi manusia saja sulit untuk kita pahami, apalagi psikologi Allah yang dalam Al-Qur’an disebut ‘tidak ada sesuatu pun seperti sepertinya (menggunakan dua tamtsil “ka, dan mitsl”.

Baca Juga  Martin Heidegger: Posisi Seseorang Turut Membentuk Suatu Pemahaman

Kendati demikian, hermeneutika gramatikalnya sangat relevan untuk kajian dan penafsiran Al-Qur’an. Berikut tiga prinsip hermeneutika gramatikal Schleiermacher:

Tiga Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher

Prinsip pertama: Penafsir harus mengerti bahasa pengarang teks atau audiens saat pertama kali teks dibuat atau diturunkan. Artinya, seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an harus mengerti bahasa Arab abad ke-7 (ketika Al-Qur’an diturunkan).

Setiap bahasa, termasuk bahasa Arab, memiliki apa yang disebut diakroni. Diakroni adalah aspek bahasa yang mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Kata sayyaroh di abad ke-7 maknanya bukan mobil. Begitu juga kata ikhlas. Di abad ke-7, maknanya bukan ‘melakukan ibadah (mahdhoh atau ghairu mahdhoh) semata-mata karena Allah’.

Prinsip kedua: Penafsir harus melakukan analisa sitagmatis; yakni suatu analisa di mana ketika ia mencoba mengartikan suatu kata tertentu dalam suatu kalimat, maka ia harus memperhatikan kata-kata yang ada di sekelilingnya. Ini sangat bermanfaat bagi penafsiran Al-Qur’an, karena di dalam Al-Qur’an terdapat banyak polisemi, yaitu kata yang memiliki lebih dari satu arti.

Prinsip ketiga: Dalam proses penafsiran, seorang penafsir harus memperhatikan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Prinsip ini pun sangat bermanfaat untuk Al-Qur’an, karena pesan ayat dapat dipahami apabila masing-masing kata dalam ayat itu dipahami dengan tepat. Demikian pula satu ayat sekumpulan ayat dipahami dengan baik apabila memperhatikan keseluruhan pesan Al-Qur’an.

Selain hermeneutika Schleiermacher, penulis juga akan mengelaborasi lebih jauh hermeneutika Gadamer dan relevansinya dengan pengembangan Ulumul Qur’an.

Relevansi Hermeneutika Gadamer dengan Pengembangan Ulumul Qur’an

Pertama, teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman sebagai rambu-rambu bagi penafsir agar berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an. Inti dari teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari pra-pemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah.

Baca Juga  Ummah Wasath, Doktrin Keterpilihan Umat Islam

Kedua, teori asimilasi horison-horison. Menurut Gadamer, dalam proses penafsiran terdapat dua horizon utama yang harus diperhatikan dan diasimilasi. Dua horison itu adalah horison teks dan horison penafsir.

Horison teks dapat diketahui dengan melakukan studi atas apa yang ada di dalam dan studi atas sesuatu yang melingkupi teks. Studi atas apa yang ada dalam teks bisa dilakukan dengan analisis kebahasaan dan studi atas sesuatu yang melingkupi teks bisa dilakukan dengan analisis aspek historis, baik mikro (asbab an-nuzul) maupun makro (kondisi bangsa arab dan sekitarnya saat Al-Qur’an turun). Pada gilirannya horison teks akan digabungkan dengan horison penafsir dalam bentuk reaktualisasi penafsiran.

Ketiga, teori aplikasi. Menurut Gadamer, setelah penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks tersebut muncul, dia lalu akan melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan makna baru ini dengan makna asal sebuah teks.

Jika teori ini diaplikasikan untuk menafsirkan Al-Qur’an, diharapkan produk-produk tafsir yang muncul adalah tafsir yang segar dan relevan dengan segala zaman. Maka tidaklah berlebihan jika penulis katakan, bahwa teori Gadamer ini adalah salah satu jawaban atas problem penafsiran Al-Qur’an yang semakin hari semakin tidak menemukan relevansinya dengan perkembangan zaman. Hermeneutika Gadamer bisa menjadi solusi untuk tafsir Al-Qur’an yang ‘kekinian dan kedisinian’.

Editor: Zahra

Avatar
7 posts

About author
Rizal Muhlisin, lahir di Cilacap, 15 Maret 2000. Umur 20 tahun. Saat ini sedang menempuh pendidikan di UMS semester 4. Selain menjadi mahasiswa UMS, juga menjadi mahasantri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds