Perkembangan teologi keislaman terbilang sangat pesat, banyak bermunculan tokoh-tokoh teolog muslim yang berlomba mengasah keilmuannya dengan mengembangkan pola berpikir kritis dan rasional. Salah satu dari mereka yakni Al Juwaini atau juga dikenal dengan sebutan Imam Al Haramain. Beliau adalah seorang figur ulama besar yang ahli dalam segi keislaman. Nama panjangnya adalah ‘Abd Al -Malik bin ‘Abd Allah bin Yusuf bin Muhammad bin ‘Abd Allah bin Hayyuwiyah Al-Juwaini Al-Nisaburi Imam Al-Haramain Abu Al-Ma ’ali.
Ada perbedaan pendapat pada tempat dan tanggal kelahirannya, namun kebanyakan memilih lahir di Khurasan pada 18 Muharram 419 H – Wafat 478 H (Tsuroya t.thn.).
Latar Belakang Al Juwaini
Ringkas kisah kehidupannya, Al-Juwaini dibesarkan dari lingkungan keluarga dengan bernuansa islami. Ayahnya adalah seorang ulama muslim pada masanya dan ibundanya seorang khadam sholehah dan berhati lembut dibeli oleh ayahnya dengan uang yang halal. Bertempat tinggal di Juwain, berlokasi di Bustam berdekatan dengan Jajaram dan Baihaq. Suatu ketika Ayah Al Juwaini meninggal Dunia pada tahun 438H. Al Juwaini dipasrahkan mengajar untuk menggantikan Ayahnya di majelis tersebut. Kurang lebih berumur 20 tahunan.
Walaupun sudah menjadi guru ia haus akan wawasan pengetahuan. Meskipun, sempat berhenti dikarenakan ingin terus belajar dan mendalami ilmu lainya seperti; ilmu fiqih, teologi, ilmu hadis, ilmu Al-Qur’an, ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan masih banyak lagi.
Kadar intelektual Al Juwaini terkadang membahas permasalahan teologis yang meresap hingga mendasar, sehingga menimbulkan permasalahan dari berbagai pihak tertentu. Seperti; kegunaan akal pikiran manusia, Tuhan Sebagai wujudnya dan lain-lain. Beliau tenar menganut ajaran sunni. Namun secara spesifik dari anggapan-anggapan yang dilontarkan kebanyakan paham ajaran ahlusunnah wal jamaah atau bermazhab asy’ariyah. Tetapi ada beberapa ulama berpendapat paham ajaran mu’tazilah.
Hal yang menonjol dalam pembahasan perilaku manusia dengan paham aliran jabariyah dan qadariyah, sebab inilah menjadi perdebatan para jauhari dalam teologisnya.
Pemikiran Imam Al Juwaini terkenal sangat memikat akademikus muslim untuk dibahas lebih jauh yang ada kaitannya dengan pembahasan teologi yang lebih mengarah ke akal dalam memutuskan suatu permasalahan. Meskipun, pemikiran Al-Juwaini meletakkan akal sepadan dengan naql, tetapi pandangannya sebagai fungsi akal sekedar untuk menjelaskan naql tidak sepadan dengan-Nya.
Perdebatan terkait Al Juwaini
Masih menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah benar beliau buah pikir dari asy’ariyah, ataukah ajaran mu’tazilah dan ajaran lainnya. Dari sini kita akan telusuri dan sebab apa yang masih menjadi perdebatan di kalangan akademikus muslim mengenai pembahasan tersebut;
Pertama, mengenai masalah antropomorfisme. Kerap sekali dipermasalahkan ialah suatu kepribadian Tuhan disangkut-pautkan dengan wujud kepribadian manusia. Padahal jauh sangat berbeda. Pendapat Imam Al Juwaini memiliki pendirian bahwasanya Tuhan sebagai wujudnya. Seperti; sebuah “Kekuasaan” Tuhan diibaratkan Yad-Nya.
Penglihatannya diibaratkan Ain-Nya. Dan rupa Tuhan diibaratkan Wajh-Nya. Serta yakin di hari akhir kelak memandang Tuhan adalah sebuah keajaiban yang melebihi nikmat dari segala wujudnya. Dari segi perbedaannya dengan aliran asy’ariyah (Nunu 2016).
Kedua, mengenai masalah perilaku manusia. Pendapat Imam Al-Juwaini ia berkeyakinan bahwa dasar perilaku manusia mempunyai kebebasan untuk berkiblat pada daya yang diperoleh dari Tuhan kepada-Nya suatu kekuasaan bertindak semau-Nya. Serta kembali pada hakikat manusia sendiri tidak bisa apa-apa, menurut perintah atas apa yang Tuhan kehendaki. Mungkin, dari sebab ini Imam Al Juwaini menjadi diperdebatkan pada paham menganut ajaran mu’tazilah (Ahmad 1965).
Gelar seorang Al-Juwaini ini, sangat banyak sekali tidak heran jika seorang ulama guru besar berpengetahuan yang tinggi, namun juga berbobot unggul kerap dijuluki Abul Ma ‘ali. Serta sepanjang hidupnya mengajar keilmuan di dua tanah suci yakni Mekkah dan Madinah kurang lebih sekitar 4 tahun. Dari sinilah asal muasal dijuluki Imam Al-Haramain (Ri’an 2015).
Gurunya Guru Besar
Beliau juga ulama yang disenangi banyak orang terutama bagi umat Islam sendiri yang mencetak kader ulama terkenal bermazhab asy’ariyah seperti; Imam Al-Ghazali (Muhammad 2002). Karena itu ia bergelar Fakhrul Islam. Mengenai permasalahan tentang Tuhan atau teologi Al-Juwaini juga pandai beradu argumen ia juga bergelar dengan julukan al-Ma’ali dan lain-lain.
Kiprah beliau pada masa hidupnya, sebagai orang yang menghormati waktu, hampir setiap waktu baginya sangatlah berharga. Sheikh Abdul Ghafir Al-farisi, seorang ulama terkenal dan juga santri yang taat kepada beliau berbicara; “Imam Al-Juwaini sosok tokoh panutan sekaligus pemimpinnya para pemimpin yang sangat hebat diakui oleh dunia” (Husein 2020). Bahkan terkadang lupa untuk makan kecuali dipaksa makan, tidur jika tidak mengantuk ia tidak akan beranjak tidur. Dan ia tidak gengsi untuk belajar ilmu kepada siapapun. Baik orang lebih muda dari padanya. Nikmat baginya adalah belajar, murojaah, menelaah, dan mengaji. Sungguh luar biasa sosok Al Juwaini yang patut kita teladani.