Dalam filsafat tata negara, Al-Farabi memulai pengkajiannya dari tentang asal mula tumbuhnya suatu negara, tujuan negara, negara yang utama, dan kriteria pemimpin negara. Seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’. Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, yang mana saling membutuhkan antara satu sama lain. Sebab manusia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Menurutnya, tujuan negara itu sama dengan tujuan bermasyarakat, yaitu tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup. Tujuan negara juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan manusia kebahagiaan, baik materiil maupun spiritual, tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat.
Anatomi Negara dalam Filsafat Tata Al-Farabi
Pemikiran Al-Farabi tentang negara yang utama (al-madinah al-fadhilah) banyak dipengaruhi oleh konsep plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lainya yang memiliki fungsi-fungsi tertentu dan saling menopang antara satu dan yang lain.
Menurutnya, yang paling penting dalam tubuh manusia adalah otak, di mana segala perbuatan manusia dikendalikan. Demikian juga dalam sebuah negara, Al-Farabi memandang negara sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdiri dari beberapa unsur yang satu sama lain saling terikat dan menopang.
Menurutnya negara yang utama (madinah al-fadhilah) ibarat tubuh manusia yang utuh dan sehat. Semua anggota badannya saling bekerja sama sesuai dengan kemampuannya masing-masing yang terkoodinasi dengan rapi demi kesempurnaan hidup tubuh itu.
Tubuh manusia memiliki sejumlah organ yang fungsinya tidak sama, dan dari organ yang banyak tersebut. Terdapat satu organ yang paling penting dan berbagai organ lain yang memiliki tingkat kepentingannya yang berbeda. Organ ini bekerja sesuai dengan kodratnya masing masing. Sehingga tidak boleh bagi suatu organ mengerjakan tugas yang difungsikan oleh organ yang lain. Karena hal ini menyebabkan ketidak teraturan fungsi yang dapat mengakibatkan kerusakan.
Begitu juga sebuah negara, negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya yang mendekati martabat kepala. Dengan ini, masing-masing komponen negara memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Dilarang bagi orang yang mempunyai suatu keahlian tertentu untuk menjalani keahlian yang bukan bidangnya.
Atas dasar pemikiran itu, jika dalam negara, anggota masing-masing kelas seperti yang diungkap dia atas menjalankan tugasnya tanpa mencampuri tugas-tugas yang lain, negara itu dapat dipandang sebagai negara yang utama (al-madinah al-fadhilah). Jika tujuan negara yang utama, kebahagiaan, bentuknya, dan keserasian terganggu, maka akan melahirkan empat macam kemungkinan negara korup, yaitu negara kebodohan (jahil), pembangkang (fasiq), kota pembelot (mutabaddilah), dan kota yang sesat.
Jenis Negara yang Tidak Baik dan Syarat Kepemimpinan
Al-Farabi dalam konsep filsafat tata negara miliknya menyatakan bahwa negara yang tidak baik itu ada beberapa macam,
“(1) negeri dharurat (dharuriah), yaitu negeri yang penduduknya hanya memperoleh makan, minum, pakaian dan tempat tinggal; (2) negeri kapitalis (baddalah), yaitu negeri yang penduduknya hanya mementingkan kekayaan harta dan benda; (3) negeri gila hormat (kurama’), yaitu negeri yang penduduknya mementingkan kehormatan saja; (4) negeri hawa nafsu (khayssah wa syahwah), yaitu negeri yang penduduknya mementingkan kekejian dan hidup glamor; (5) negeri anarkis (jami’ah), yaitu negeri yang setiap penduduknya ingin bertindak semaunya.”
(Lihat: Abu Nashr Al-Farabi, Mabadi’ Ara Ahl Al- Madinah Al-Fadhilah, [Oxford University Press, 1985] halaman 254-276)
Pemikiran Al-Farabi tentang tata negara tersebut terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi tata negara yang ditawarkan oleh Plato. Al-Farabi tidak pernah memangku jabatan pemerintahan. Ia lebih senang pergi menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan negara. Kemungkinan lain yang melatar belakangi pemikiran Al-Fa>ra>bi> adalah situasi pada waktunya itu, kekuasaan Abbasiyah diguncang berbagai gejolak.
Dalam urusan kepala negara, Al-Farabi menganggap kepala negara adalah unsur yang harus didahulukan, kemudian rakyat yang diperintahnya. Alasanya adalah sebuah analogi bahwa jantung adalah sebuah organ yang menjadi sebab kekuatan bagi organ-organ yang lain. Maka dari itu, kalau ada organ yang tidak bekerja dengan baik ataupun rusak, jantung memiliki peran untuk menghilangkan kerusakan itu. Jantung juga berperan untuk memperbaiki dan memulihkan kembali fungsi organ-organ tubuh yang telah rusak.
Demikian juga seorang pemimpin negara, ia memiliki peran sentral untuk membentuk wewenang, tugas dan kewajiban. Jika ada masalah dalam sebuah negara, seorang pemimpin harus menyelesaikan masalah tersebut dan mengembalikan stabilitas negara. Maka dari itu, seorang pemimpin yang diibaratkan organ yang paling utama dalam suatu tubuh harus memiliki keunggulan dibandingkan organ yang lainnya. Dalam suatu negara pemimpin harus memiliki keunggulan dalam bidang intelektual maupun moralnya.
Untuk menjadi yang terunggul, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang pemimpin. Al-Farabi telah mencantumkan dalam kitabnya Mabadi’ Araa’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah tentang kualitas-kualitas yang harus dipenuhi peimpin dalam mengatur negara.
Di antaranya adalah: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pegetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta kejujuran, murah hati, kesederhanaan, cinta keadilan, ketegaran dan keberanian, sehat jasmani, dan kefasihan bicara.
***
Demikianlah bangsa Indonesia, bangsa ini bagaikan satu tubuh yang terdiri dari berbagai macam tipe masyarakat. Kita sebagai masyarakat harus ikut berperan dalam menciptakan lingkungan negara yang kondusif dan teratur.
Seluruh komponen masyarakat dan lembaga pemerintahan harus berkontribusi dengan keahlian dan bidang yang dikuasai. Jangan sampai kita seenaknya saja ikut campur dalam suatu urusan yang bukan bidang kita, yang pada akhirnya menimbulkan kekacauan yang mana dapat menhancurkan suatu bangsa.