Review

Komentar Ibnu Rusyd Atas Republik Plato

3 Mins read

Di kalangan masyarakat Muslim, sosok Ibnu Rusyd tampaknya sudah biasa terdengar sebagai jawara yang mencitrakan tradisi pemikiran Islam rasional, kritis, dan demonstratif. Pada level individual Ibnu Rusyd sebagai tokoh filosof bukan sesuatu yang asing, baik oleh kalangan umat Islam maupun non-Islam terutama di dunia Barat. Tetapi membicarakan sosok Ibnu Rusyd sebagai seorang politikus tidak cukup terkenal, sebagaimana ia adalah seorang filosof.

Sejarah sangat jarang membicarakan Ibnu Rusyd atas jasanya di bidang politik. Padahal pemilik nama lengkap Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad itu sesungguhnya tidak hanya menekuni kajian filsafat. Apalagi hanya berkutat pada perdebatannya dengan imam al-Ghazali melalui karyanya berjudul “Tahafutut Tahafut”. Beberapa buku karyanya tidak hanya membicarakan perihal disiplin tersebut, tetapi juga beragam ilmu termasuk politik.

Salah satu karyanya yang berbicara mengenai perpolitikan adalah “Al- Dharuri fi al-Siyasah Mukhtashar Kitab al-Siyasah li Aflathun”. Buku ini kemudian diterjemahkan oleh penerbit Sadra Press tahun 2016 dengan judul, “Republik Plato ala Ibnu Rusyd (Komentar Atas Diktum-Diktum Inti Politik Plato)”. Buku ini sendiri terdiri dari 485 halaman yang terdiri dari tiga bagian. Masing-masing bagian membicarakan manusia, masyarakat, kota, penguasa, sistem pemerintahan, dan pemikiran Plato.

Di dalam kata pengantar buku ini disampaikan pentingnya membaca karya ini, setidaknya ada dua hal, yakni: pertama, kebutuhan dalam membangun praktik politik berdasarkan pengetahuan ilmiah. Kedua, kebutuhan membaca dan mengetahui karya politik Plato, yang dikenal dengan “Republik” merupakan buku klasik yang selalu dibaca orang sepanjang masa, karena kuatnya buku tersebut menyuarakan kerinduan manusia akan keadilan.

Oleh karena itu, disini penulis ingin mereview buku ini dalam tiga kaitan pemikiran Ibnu Rusyd terkait politik berdasarkan beberapa hal, yakni: mawas diri, keadilan, kebijaksanaan, dan sistem pemerintahan.

Baca Juga  Kerbau, Saksi Bisu Kisah Cinta Saidjah-Adinda dalam Max Havelaar

Manusia Adalah Makhluk Politik

Dalam konteks hidup bermasyarakat, tidak mungkin bagi seorang individu manusia mencapai jenis keutamaan tanpa melibatkan bantuan individu-individu manusia lain. Artinya, untuk mencapai suatu jenis keutamaan, seorang individu manusia membutuhkan individu-individu manusia yang lain. Oleh karena itu, benar bila dikatakan bahwa manusia secara natural adalah makhluk politik/madani (al-insan madani bi al-thab).

Keutamaan-Keutamaan yang Membentuk Kota Menjadi Utama

Di dalam buku ini, keutamaan dicirikan dengan empat hal, yakni:

  1. Kota menjadi utama dengan kebijaksanaan. Kota yang baik adalah yang di dalamnya terdapat pengetahuan dan sarat dengan berbagai kebijaksanaan. Dan kota ini bisa dikatakan bijaksana (hikmah) karena mencapai pengetahuan tentang tujuan kemanusiaan.
  2. Kota menjadi utama dengan keberanian (sikap teguh pendirian). Teguh pendirian harus menjadi karakter bagi semua pelindung dalam menghadapi pelbagai keadaan, baik dalam keadaan kuat maupun lemah. Kuat yang dimaksud disini adalah kuat menghadapi situasi yang menakutkan dan lemah menghadapi segala keinginan. Teguh pendirian merupakan jiwa keberanian yang mampu memberi kenyamanan bagi warga.
  3. Kemawas-dirian harus menjadi moral bagi semua warga. Kemawas-dirian adalah keseimbangan dan kesederhanaan dalam soal makan, minum, dan seks. Orang mawas diri adalah orang yang memperlakukan segala hal dengan sederhana dan seimbang. Dalam diri manusia tertanam bagian jiwa yang paling mulia, yakni akal. Dan bagian yang terburuk, yakni kebinatangan. Sifat-sifat mulai yang bertumpu pada akal, dan kesederhanaan serta seimbang harus mengakar kuat pada semua pemimpin dan masyarakat.
  4. Keadilan dan penghormatan. Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan yang terkait dengan komitmen, yakni individu yang bersikap komitmen terhadap pekerjaannya, yaitu pekerjaan yang sesuai dengan karakternya. Ini merupakan keadilan yang memberikan keselamatan. Sepanjang para penguasa dan warga sepakat untuk menjunjung tinggi apa yang diwajibkan dalam undang-undang, dan kesepakatan itu dijalankan dengan penuh kesadaran oleh tiap-tiap warga negara dimana masing-masing mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan karakter jiwanya maka ini disebut dengan keadilan madani (al-adl al-madani).

Maksud perkataan ini sesuai dengan hadits Nabi Saw yang berbunyi, “jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi. Ada seorang sahabat bertanya bagaimana maksud amanat yang disia-siakan? Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”.

Sistem Pemerintahan yang Tirani

Buku Republik Plato ala Ibnu Rusyd ini juga merupakan karya yang akan memberikan suatu kesaksian bagi para pembacanya bahwa dalam tradisi intelektual Islam terdapat inspirasi yang siap membontot perhatian dalam menyikapi persoalan politik hari ini, seperti tentang kesewenang-wenangan, otoriter, dan tiran. Sebagaimana Ibnu Rusyd sering mengungkapkannya dengan ungkapan “dalam pemerintahan kota kita yang terjadi saat ini”, suatu ungkapan yang menggambarkan pemerintahan diktator pada masanya, dan Ibnu Rusyd membuat istilah orisinil untuk menggambarkannya.

Baca Juga  Tujuh Langkah Mengintegrasikan Sains Modern dan Agama di Sekolah

Istilah itu adalah “wahdaniyyah al-Tasalluth” atau “kekuasaan egoistis”, sebagai aplikasi dari padanan kata “tirani” yang berasal dari Yunani. Siapakah dan bagaimana “kekuasaan egoistik” itu ditujukan? Menurut Ibnu Rusyd, yakni ketika seorang menjadi pemimpin, ia hanyalah untuk memihak pada orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki kelebihan. Selain itu, kekuasan yang egois tidak lain adalah seseorang yang berambisi pada pengkultusan. Ia tidak mampu mengekang nafsu syahwatnya.

Sekalipun dalam lubuk hatinya untuk selamanya ia menjerit sedih dan gundah gulana bermuram durja. Orang dengan karakter seperti ini jiwanya lemah, penuh dengki, dan iri hati, suka berbuat zalim, dan tidak bisa menebar cinta kepada sesama manusia.

Editor: Soleh

Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *