Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read

Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia sudah mulai berusaha merumuskan dan mendefinisikan hakikat Tuhan, yang dianggap sebagai entitas tertinggi.

Salah satu karya yang mengabadikan wacana ketuhanan oleh manusia di zaman klasik tersebut adalah Hakikat Tuhan, yang ditulis oleh Cicero. Karya fenomenal ini, yang berjudul De Natura Deorum dalam bahasa Latin, memuat dua pandangan yang berbeda mengenai apa dan siapa Tuhan itu.

Kedua pandangan tersebut berasal dari aliran Epikureanisme dan Stoikisme, dua aliran filsafat yang berkembang pada periode Hellenistik. Aliran pertama dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Epikuros, sekitar abad ke-4 SM, dan aliran yang disebut terakhir didirikan oleh Zeno pada abad ke-3 SM.

Buku Hakikat Tuhan berisi tentang pengalaman Cicero saat berdiskusi tentang Tuhan, yang diceritakannya kepada Brutus. Ia mengatakan bahwa terdapat tiga orang yang menjadi peserta dalam diskusi tersebut. Ketiga orang tersebut yakni Gaius Cotta, kawan Cicero, Caiuls Vellius, seorang penganut Epikurean, dan Quintus Lucillius Balbus, seorang penganut Stoik.

Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama memuat pandangan kaum Epikurean mengenai hakikat Tuhan dan kritik terhadapnya, bagian kedua berisi pandangan kaum Stoik mengenai hakikat Tuhan, dan pada bagian terakhir berisi sanggahan terhadap pandangan kaum Stoik.

Tuhan Menurut Kaum Epikurean

Buku ini diawali oleh argumen tentang hakikat Tuhan dari pandangan Epikurean, yang dipaparkan oleh Velleius. Ia mengatakan bahwa menurut pandangan Epikurean, Tuhan memiliki wujud yang sangat indah dan benar-benar bahagia. Karena Tuhan harus benar-benar bahagia, ia tidak boleh mengerjakan sesuatu, termasuk ikut campur dalam urusan manusia ataupun alam semesta.

Baca Juga  Mulat Sarira: Muhasabah Diri ala Islam Jawa

Sosok Tuhan, dalam pandangan Epikurean, tidak memiliki andil dalam menggerakkan matahari dari timur ke barat, melakukan perubahan musim, hingga memberikan manfaat dan memenuhi kebutuhan makhluk hidup. Jika Tuhan harus mempersulit dirinya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, Ia tidak bisa disebut bahagia.

Meskipun Tuhan tidak memberikan kontribusi apapun, Velleius menilai bahwa ia tetap harus mendapatkan penyembahan dari manusia. Hal ini perlu dilakukan karena Tuhan memiliki keabadian dan kebahagiaan yang paling agung, sehingga menurutnya, apa pun yang agung berhak untuk disembah.

Mengenai wujud Tuhan dalam pandangan Epikurean, Velleius mengatakan bahwa wujud Tuhan sama seperti manusia. Namun, wujud tersebut bukanlah tubuh, melainkan hanya menyerupai tubuh. Ia tidak memiliki darah, tetapi dikatakan melalui sesuatu seperti darah.

Jika diamati, pandangan Epikurean mengenai wujud Tuhan yang sama dengan manusia, mirip dengan pandangan aliran Mu’tazilah dalam Islam. Aliran ini, yang sering mengklaim dirinya sebagai golongan rasionalis Islam, juga berpendapat bahwa Tuhan memiliki tubuh. Mereka mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, tetapi tidak sama seperti tangan manusia, dan memiliki mata, yang tidak sama dengan mata manusia.

Argumen kedua aliran juga sama-sama rancu. Di satu sisi, mereka menyatakan bahwa wujud Tuhan sama seperti manusia. Namun, di sisi lain, mereka menyatakan bahwa wujudnya tidak sama dengan wujud manusia. Ketika berbicara tentang “tangan Tuhan”, sebagai contoh, bagaimana kita bisa membayangkan sebuah tangan tanpa merujuk kepada tangan manusia?

Secara singkat, Tuhan dalam pandangan Epikurean bersifat pasif. Seakan-akan, kehadiran Tuhan hanya menjadi sekadar dekorasi bagi alam semesta. Sebetulnya, sulit untuk mengatakan bahwa entitas yang dimaksud kaum Epikurean tersebut merupakan sosok Tuhan, sebab mereka sama sekali tidak peduli dan tidak bertanggungjawab atas apa pun.

Baca Juga  Francis Fukuyama Bicara Masalah Politik Identitas

Tuhan Menurut Kaum Stoik

Berbeda dengan kaum Epikurean, kaum Stoik, diwakili Quintus Lucillius Balbus, berpandangan bahwa Tuhan dan alam tidaklah berbeda. Pandangan ini lebih dikenal dengan istilah panteisme, yang di kemudian hari juga dianut oleh seorang filsuf pada zaman modern, Baruch Spinoza.

Pertama-tama, Balbus mengatakan bahwa tidak ada yang lebih indah, lebih baik dan lebih agung, dari alam semesta. Sulit untuk membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih agung dari-Nya.

Mengutip pendapat Zeno, Balbus menyatakan bahwa tidak ada satu pun zat yang tidak memiliki kehidupan dan berakal dapat menghasilkan sesuatu yang memiliki kehidupan dan berakal. Alam semesta menghasilkan manusia, yang memiliki kehidupan dan berakal. Oleh sebab itu, alam semesta adalah makhluk yang hidup dan berakal.

Balbus mengatakan bahwa alam semesta memiliki semacam kebijaksanaan, sehingga terdapat sifat menguasai dan lebih unggul daripada yang lain. Ia mengambil kesimpulan bahwa alam semesta adalah Tuhan, dan seluruh kekuatan alam semesta terkandung dalam unsur ketuhanan tersebut.

Pandangan kaum Stoik tentang Tuhan ini mirip dengan konsep Wahdatul Wujud dalam Islam, konsep yang kontroversial dengan ajaran Islam. Konsep ini mengatakan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu kesatuan. Konsep Wahdatul Wujud menempatkan Tuhan itu sebagai sosok yang bersifat personal.

Secara singkat, kaum Stoik beranggapan bahwa alam semesta memiliki akal dan kekuatan untuk mengatur apa yang ada di dalamnya. Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan sebagian besar orang, yang menganggap bahwa alam semesta bergerak secara mekanis dan sama sekali bukanlah makhluk, apalagi memiliki rasionalitas.

Karya Terbaik Zaman Klasik

Secara keseluruhan, buku Hakikat Tuhan dapat dikatakan sebagai salah satu karya terbaik dari zaman klasik. Buku ini merupakan sebuah karya yang mengabadikan perdebatan mengesankan antara dua aliran pemikiran yang masih menancapkan pengaruhnya sampai saat ini.

Baca Juga  Melihat Rasulullah sebagai Manusia Biasa: Review Buku Rasulullah Saw. The Untold Story

Meskipun termasuk kategori buku filsafat dan terjemahan, buku ini memiliki bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Namun, pembaca perlu menanamkan sikap ketelitian ketika membacanya, karena sering terjadi pergantian dialog antar tokoh secara tiba-tiba.

Buku Hakikat Tuhan merupakan buku yang wajib dibaca masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang meminati kajian mengenai ketuhanan. Meski pandangan kaum Epikurean dan Stoik mungkin tidak akan mendapatkan persetujuan dari mayoritas orang, keduanya telah menambah kekayaan pandangan terkait entitas Tuhan, yang masih menjadi teka-teki hingga hari ini.

Judul Buku: Hakikat Tuhan

Penulis: Cicero

Penerbit: BasaBasi

Tahun Terbit: 2017

Halaman: 236 hlm

ISBN: 978-602-6651-59-4

Editor: Soleh

Indra Nanda Awalludin
7 posts

About author
Penulis lepas dan peminat kajian sejarah dan filsafat
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *