Review

Kerbau, Saksi Bisu Kisah Cinta Saidjah-Adinda dalam Max Havelaar

4 Mins read

Suatu hal yang menarik perhatian ketika penulis hendak mengkaji Novel Max Havelaar, tiba-tiba muncul sosok Kerbau yang dikisahkan menjadi saksi bisu bagi nasib Saidjah dan Adinda. Sosok hewan yang diluar ekspektasi ini ternyata dapat berpengaruh besar bagi Saidjah dan Adinda. Di mana kala itu, mereka hidup pada Masa Kolonialisme dengan Sistem Cultur Stelsel oleh Kolonialis Belanda di Karesidenan Lebak. Terlebih, Multatuli pun sebagai seorang tokoh pergerakan anti-kolonialisme itu, telah membuka mata dunia tentang kegamangan hidup seorang pribumi, termasuk yang dialami oleh Saidjah dan Adinda di Lebak.

Dalam beberapa bab terakhir di Novel Max Havelaar, Multatuli coba menampilkan suatu yang unik dengan representasi Kerbau sebagai saksi bisu kisah kasih Saidjah dan Adinda. Mengejutkannya Kerbau justru tampil sebagai wasilah penting bagi Saidjah dan Adinda. Dari Kerbau juga penulis paham bahwa ia menyiratkan pesan moril pada zaman itu, terutama tentang bagaimana Kerbau mampu merajut cinta Saidjah dan Adinda, namun ironisnya berujung pada tragisnya kisah cinta mereka di ujung bayonet tentara kolonial kala itu.

Menurut hemat penulis, maka relasi antara Saidjah dan Adinda dengan Kerbau tersebut, kenyataannya itu sebagai bentuk politik kekuasaan sebagai propaganda kolonialis di Lebak, sehingga para kolonialis tersebut mampu mendominasi pribumi disana. Propaganda para kolonialis tersebut selama menjajah di Lebak pun dimanfaatkan lebih jauh oleh mereka, karena melihat kondisi pribumi di Lebak yang berada dibawah garis kemiskinan dengan berladang. Semula cerita Multatuli dalam Max Havelaar ini sebagian besar soal bisnis rempah-rempah kopi antara Batavus Droogstopel dengan Sjaalman, kemudian bergeser kepada cerita Kerbau yang menjadi akhir daripada kisah tragis Saidjah dan Adinda.

Baca Juga  Islam Berkemajuan untuk Generasi Milenial: Seruan Sang Muazin Bangsa

Bermula dari Kerbau yang ayah Saidjah beli baru sebesar dua pound dalam mata uang Inggris tersebut, Saidjah pun akhirnya dapat memiliki Kerbau lagi untuk dapat membajak sawah di ladang.  Suatu ketika saat Saidjah mulai beranjak usia pada usia sembilan tahun, ia pun sedang berada di sawah bersama Kerbaunya itu. Saidjah berteriak sumbang pada Kerbaunya tersebut, agar ia dapat bergerak sampai-sampai Saidjah pun jengkel dibuatnya. Sayangnya, Kerbau itu pun masih tidak mau bergerak. Hingga suatu ketika tiba-tiba muncul seekor Macan ingin menerkam Saidjah. “Lari, lari!” saudara lelaki Adinda pun sontak berteriak. “Saidjah, lari! Ada Macan!” Saidjah pun langsung melepaskan bajak Kerbaunya itu untuk menyelamatkan dirinya dari terkaman Macan itu. Alhasil, Saidjah dan Kerbaunya masih untung, karena mereka selamat dari terkaman Macan.

Kemudian Saidjah pun meninggal akibat patah hati. Tidak berselang lama, ayah Saidjah pun angkat kaki dari Lebak menuju Bogor untuk mencari pekerjaan yang layak, seraya dalam hati ayahnya tersebut ada rasa takut dihukum oleh Pemimpin Distrik Parangkujang, karena ia tidak bisa membayar pajak tanah dan ia pun tidak punya pusaka lagi untuk membeli kerbau baru. Akhirnya, Saidjah menyusun rencana besar yang akan coba direalisasikannya. Terlebih, usia Saidjah juga sudah relatif dewasa lima belas tahun. Saidjah berencana dapat mengembara di Batavia, karena menurutnya tempat itu sebagai tempat yang dapat menghasilkan banyak uang, sehingga ia dapat menabung dengan uang tersebut selama tiga tahun. Rasanya prospek ini pun menjanjikan bagi Saidjah dan Adinda kedepannya. Ia pun kemudian mendatangi rumah Adinda untuk dapat menceritakan rencana ini.

Terjadi percakapan serius antara Saidjah dengan Adinda pada saat itu. Saidjah pun berikrar di hadapan Adinda akan kembali setelah mengembara ke Batavia kemudian akhirnya menikahi Adinda. “Coba pikir,” katanya, “ketika aku kembali, kita pasti sudah cukup umur untuk menikah, dan kita bisa memiliki dua kerbau!” yakin Saidjah. “Itu sangat bagus Saidjah! Aku akan dengan senang hati menikah denganmu ketika kau kembali. Aku akan memintal, dan menenun sarung serta selendang, dan baju batik, dan sangat sibuk sepanjang itu.”

Baca Juga  Dalam Konflik Israel-Palestina, Sikap Dolkun Isa dan WUC Begitu Ambigu

Singkat cerita, Saidjah pun berpikir sesaat terkait rencananya tersebut, sehingga ia mengikat ucapannya itu dengan ikrar kepada Adinda. “Hitunglah bulan. Aku akan pergi selama tiga kali dua belas bulan, tidak termasuk yang sekarang. Lihat, Adinda torehlah sebuah tanda di lesungmu setiap kali bulan baru datang. Jika kau sudah menoreh tiga kali dua belas tanda, aku akan hadir di bawah ketapang keesokan harinya. Maukah kau berjanji akan berada di sana?” yakin Saidjah. “Ya Saidjah! Aku akan berada di bawah ketapang dekat hutan jati ketika kau kembali!” Saidjah pun coba merobek kain daripada sorban birunya yang lusuh itu, kemudian ia berikan pada Adinda sebagai ikrar padanya, langsung Saidjah pergi meninggalkan Adinda.

Hari demi hari Saidjah lewati. Banyak tempat Saidjah lalui dalam perjalanannya tersebut. Rangkasbitung, Warunggunung, Pandeglang, hingga Tangerang. Semua hal ia nikmati selama perjalanan jauhnya itu. Sesekali ia menepi di suatu tempat di Tangerang untuk mandi kemudian menginap di rumah seorang kerabat ayahnya itu. Sampai suatu ketika ia sempat terpikir untuk kembali pulang. Sesekali rasa rindu itu pun datang mengenang kedekatan dirinya dengan Adinda.

Saidjah sesekali teringat oleh bayangan Adinda yang begitu indah. Bahkan, awan-awan pun tampak seperti pohon ketapang yang ada di Badur. Pikiran itu terlintas dalam benak Saidjah hingga ia dianggap orang sekitar sebagai orang kebingungan. Dari situ muncul suatu ilham dari Tuhan, di mana ia diajak oleh wanita tua ke dalam pondoknya itu, untuk menenangkan Saidjah yang tampak seperti orang gila bernasib malang. Wanita tua itu pun mengarahkan Saidjah untuk menuruti arah mercusuar dan cahaya bulan. Saidjah pun menemukan suatu desa di mana telah terjadi pemberontakan hebat antara pribumi dengan tentara Belanda, ia pun mengetahui jika disana terdapat mayoritas orang Banten yang dibasmi. Seketika, ia pun menemukan jasad ayah Adinda dengan kelewang menghujam dadanya. Tiga saudara laki-laki Adinda juga terbunuh. Nun jauh disana, ia pun melihat Adinda telah mati terbunuh tanpa busana akibat dianiaya secara brutal.

Baca Juga  Film Buya Hamka Vol. I: Sosok yang Romantis, Pejuang yang Tulus

Sekiranya penulis dapat merangkum rangkaian perjalanan kisah kasih Saidjah dan Adinda bersama Kerbau yang berperan sebagai saksi bisu, maka politik kekuasaan dengan propaganda yang disampaikan Adrew Heywood di atas terbukti kejadiannya. Perjuangan Saidjah dan Adinda pun selalu dibayang-bayangi oleh propaganda Culturstelsel yang menyengsarakan, bahkan Kerbaunya pun jadi korban atas propaganda itu. Kisah kasih yang manis berujung tragis, dirasakan oleh mereka. Ini lebih nestapa daripada kisah Romeo Juliet atau Layla Majnun. Kerbau itu pun betul-betul jadi wasilah nasib Saidjah dan Adinda yang berujung tragis, mereka pun harus mati dalam dekapan cinta, kemudian abadi dikenang sejarah sebagai pejuang yang berani mengorbankan segalanya demi melawan penjajahan.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Penulis Buku Mahakarya Untuk Indonesia
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *