Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read

Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang kita amati hari-hari ini. Tidaklah perlu dijelaskan panjang lebar banalitas yang ada, akan tetapi cukup menjadi hikmah penting untuk direnungi bersama; sampai kapan banalitas itu kita biarkan membabi buta menggerogoti sendi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pengalaman sejarah yang getir sebagaimana yang sudah-sudah selama periode Orde lama, Orde Baru, Reformasi, hingga demokrasi yang tengah kita nikmati hari ini hendaknya menyadarkan kepada kita bahwa apapun definisi yang dilekatkan pada corak demokrasi yang tengah dikembangkan, bahwa kehidupan politik hanya mungkin menjadi sehat dan kreatif, bila kita bersedia memperlakukan konstitusi secara jujur dan bertanggung jawab.

Bila ada kecenderungan otoriter, masyarakat secara luas harus diberi hak dan kebebasan berekspresi salah satunya mengemukakan pendapat dan aspirasinya tanpa rasa takut diintimidasi dan dikriminalisasi. Tanpa kejujuran politik, yang ditunjukkan secara riil dalam kehidupan bernegara, maka bangsa ini mungkin masih harus bergumul cukup lama dengan benturan-benturan sejarah yang meletihkan di masa mendatang.

Selayang Pandang

Keresahan semacam inilah yang melatari sejarawan terkemuka sekaligus guru bangsa, Ahmad Syafi’i Maarif, untuk menelurkan sebuah karya yang monumental dalam sejarah bangsa ini. Karya ini pada mulanya berasal dari tesisnya di bidang kajian sejarah pada Ohio State University, Amerika Serikat. Di bawah bimbingan Prof. William H. Frederic, tesis ini terselesaikan dengan baik. Dalam gradasi tertentu, karya ini menggambarkan secara tajam dan kritis terkait situasi dan latar sosial yang melingkupi periode Demokrasi Terpimpin terutama latar sosio-religius partai-partai Islam. Ungkapan ‘belah bambu’ mengisyaratkan perlakuan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Soekarno terhadap partai-partai Islam: Masyumi, NU, PSII dan Perti.

Sekalipun karya ini memusatkan perhatian pada sifat dan corak hubungan sistem politik yang tengah beroperasi dengan perilaku partai-partai Islam dalam menghadapinya, budaya politik bangsa secara keseluruhan telah pula tergambar. Tentu saja gambaran itu tidaklah sempurna, sebab masih banyak aspek dan dimensi yang tak tercakup di dalamnya.

Tujuan pokok buku ini, melihat secara kritis realitas politik yang tercermin dalam tingkah laku politik praktis partai-partai Islam pada periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), suatu periode singkat dalam sejarah modern Indonesia, tetapi cukup penting dan genting bila ditempatkan dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai-partai Islam di Indonesia.

Baca Juga  Pertama dalam Sejarah, PBNU Libatkan Perempuan dalam Struktur Kepengurusan

***

Ada dua alasan penting mengapa studi ini dilakukan. Pertama, sekalipun mayoritas rakyat Indonesia memeluk Islam, secara serius atau tidak, posisi politik Islam selama periode yang dikaji ini relatif lemah. Partai-partai Islam pada waktu itu merupakan kelompok politik minoritas dalam lembaga kenegaraan. Sebagai minoritas, mereka hanya berperan secara sentrifugal dalam mewarnai corak Islam pada perkembangan politik Indonesia.

Peranan politik sentral selama periode tersebut berada di tangan Presiden Soekarno dengan bantuan pihak komunis, dan di tangan tentara, khususnya Angkatan Darat (baca: Jenderal A.H. Nasution dan kawan-kawannya sebagai tokoh utama). Konsekuensi logisnya, partai-partai Islam tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan sistem dan tata politik yang baru diciptakan. Menurut rezim ini, politik harus berada di bawah satu komando.

Kedua, alasan mengkaji persoalan ini ialah karena sepanjang pengetahuan Buya Syafi’i, tentu saja, belum adanya kajian khusus terkait politik Islam di masa Demokrasi Terpimpin kala itu. Kajian-kajian yang ada lebih ditekankan pada interelasi hubungan antara Soekarno dan militer atau komunis, bukan pada kebijakan politiknya.

***

Di antara partai-partai Islam yang turut serta dalam sistem politik yang baru diciptakan Soekarno, NU harus dicatat sebagai yang terpenting untuk dibicarakan, karena partai inilah muncul sebagai partai Islam terbesar setelah Masyumi menghilang. Sementara dua partai Islam lainnya, sekalipun berarti, pengaruh politiknya relatif terbatas karena wakil mereka dalam parlemen hanyalah seperempat jumlah wakil NU. Maka, berdasarkan pertimbangan ini, kajian dalam buku ini akan lebih banyak menyoroti perilaku politik NU ketimbang dua partai Islam lainnya.

Sekadar menempatkan kajian ini dalam kerangka teori dan pemikiran sejarah, Syafi’i mengutip pandangan dua sejarawan terkemuka; Ibn Khaldun (1332-1406) dan Benedetto Croce (1866-1952). Pandangan kedua sejarawan terkemuka ini, sampai batas tertentu, telah mempengaruhi dan membantu Syafi’i Maarif dalam analisisnya. Betapapun unsur subjektif tak dapat dimusnahkan dalam kajian sejarah, di samping memang tidak perlu, setiap analisis sejarah haruslah bertujuan mencari kebenaran berdasarkan fakta. Kebenaran barulah mungkin ditemukan bila didasarkan atas penelitian yang kredibel. Ini adalah etika ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti, tak terkecuali sejarawan peneliti.

Strategi Politik NU

Dalam amatan Buya Syafi’i, strategi politik NU tidaklah terlepas dari doktrin pesantren. Artinya, segala laku pemikiran dan gerak praksisnya bersandar pada sekurang-kurangnya kultur pesantren. Memang, NU sering dilukiskan – meminjam istilah Kenneth E. Ward – sebagai pesantren dalam politik. Hal ini menandai peran sentral kiai yang terakumulatif sedemikian besar dalam partai ini, hingga hampir-hampir unlimited. Saifuddin Zuhri, misalnya, melukiskan Kiai Wahab Hasbullah sebagai tokoh yang berperan sangat dominan dalam perjalanan NU.

Baca Juga  Buya Hamka & Siti Raham Vol II: Perjuangan Penuh Cinta dan Kedamaian

Posisi kiai, sebagaimana ditelisik Zamakhsyari Dhofier, menjadi penghubung (bridging) antara Islam tradisional dengan dunia empirik, suatu posisi spiritual yang hampir-hampir tidak memberi kebebasan kepada santrinya untuk berpikir mandiri. Kesan itu didapatkan bukanlah tanpa alasan, meskipun lambat laun terkikis di era modern ini.

Maka pertanyaan kritisnya – seperti yang diajukan Buya Syafi’i – ialah apakah budaya semacam ini mampu bertahan dalam menghadapi perubahan dan gejolak sosial, di mana akibat arus pendidikan, orang semakin kritis dan mandiri dalam berpikir? Buya Syafi’i menjawab, bahwa dominasi spiritual seorang kiai makin lama makin berkurang, dan dengan demikian peranannya sebagai ‘penyambung lidah antara Islam tradisional dan dunia nyata’ akan semakin mengecil. Namun, tesis semacam ini memaksa Buya Syafi’i mengatakan bahwa umat Islam memerlukan tipe pemimpin baru yang lebih demokratis, berwawasan keagamaan yang luas dan lebih mumpuni.

***

Sungguhpun demikian, Buya Syafi’i menyoroti eksklusivitas pesantren yang cukup solid. Dengan latar belakang Islam modernis, ia mengatakan di masa mendatang perlu dikembangkan budaya inklusivitas dengan tetap membumikan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan umat. Proses modernisasi yang lepas dari akar budaya keimanan akan melahirkan situasi alienasi yang akut bagi peradaban manusia. Maka, menurut Syafi’i, di antara tugas pesantren di masa depan ialah bagaimana mengarahkan masyarakat (baca: santri dan lingkungan sekitarnya) agar tidak tercerabut dari budaya spiritual dan sosial yang kokoh sebagai akibat arus modernisasi yang tak mengenal belas kasihan.

Dalam konteks politik praktis, uniknya pandangan di antara ulama NU cukup diversifikasi. Diversifikasi yang dimaksud adalah tidak ada konsep tunggal mengenai politik itu sendiri. Perbedaan pemahaman ini setidaknya – sebagaimana amatan Buya – terlihat dari beberapa dinamika di dalam memahami dan melembagakan nilai-nilai NU dalam ruang politik praktis, sebut saja di antaranya Kiai Wahab Hasbullah.

Kondisi ini semakin menemukan momentumnya tatkala dorongan agar NU masuk ke DPRGR sekalipun terjadi gesekan-gesekan dan menentang yang ditunjukkan oleh beberapa pimpinan wilayah NU terhadap move politik NU terhadap DPRGR. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah kita pun harus memahami langkah politik praktis NU yang direpresentasikan oleh Kiai dalam hal ini, tidak terlepas lagi-lagi pada doktrin pesantren tentang tidak perlunya orang berpegang pada prinsip harus berhasil 100%. Bila tidak 100%, lebih baik tidak ikut serta.

Baca Juga  Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

Dengan doktrin ini, betapapun kecilnya hasil yang mungkin diraih selama NU berada dalam DPRGR, toh semuanya sudah sesuai dengan doktrin pesantren sebagaimana dipahami oleh NU. Adanya ulama di luar kubu NU yang memahami doktrin pesantren tersebut – dihadapkan pada politik praktis – dengan cara yang berbeda sama sekali, merupakan realitas yang terlihat pada periode tersebut. Bila demikian soalnya, menurut Buya, maka dapat dikatakan, betapa sukarnya menyatukan persepsi ulama tentang politik, sebagaimana sulitnya menyatukan pandangan mereka tentang masalah-masalah fikih.

Sebuah Refleksi

Dalam karyanya, Ahmad Syafi’i Maarif menuturkan bahwa untuk merealisasikan tujuan mulia didirikan negara ini, umat Islam perlu tampil ke panggung atau gelanggang politik sebagai manusia berkualitas tinggi, baik moral/ etikal, teknikal maupun intelektual. Pertanyaan kita adalah dapatkah umat Islam Indonesia, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, menampilkan diri sebagai manusia andal yang memenuhi kualitas tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidaklah mudah karena ia meniscayakan idealitas di dalamnya.

Namun, menurut Maarif, dari pengalaman historis kolektif umat Islam, termasuk di Indonesia, kita tidak perlu pesimis untuk menjawab positif dari pertanyaan semacam itu. Syarat-syaratnya tentu harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat tersebut ialah agar kita, siapapun dan apapun kedudukannya, harus secara berencana menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap generasi mendatang yang akan meneruskan perjuangan Islam di Indonesia.

Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan, dalam hemat Maarif, perlu mendapatkan prioritas utama, di samping pendidikan agama dengan orientasi wawasan yang luas dan cerdas. Dengan pendidikan agama yang efektif, bukan tidak mungkin anak-anak umat yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini akan mampu muncul ke gelanggang sebagai generasi tangguh yang bermoral dan mumpuni, baik secara etikal, spiritual, intelektual maupun elektoral. Semoga!

Biodata Buku

Judul Buku: Percaturan Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Depan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Penulis: Ahmad Syafi’i Maarif

Penerbit: IRCiSoD

Tahun Terbit: 2021

Tebal: 290 hlm

ISBN: 978-623-6699-46-1

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *