Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read

Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini dihuni oleh masyarakat yang agamis. Tak ayal, jika politik Indonesia lekat akan nuansa religius sehingga sampai kapanpun isu agama akan tetap ada.

Sebagai sebuah identitas mulia pembawa pesan rahmatan lil alamin, agama semestinya mengilhami para pemeluknya untuk melembagakan nilai-nilai agama dalam ruang publik. Pelembagaan ini meniscayakan political will (kehendak politik) dari para pemangku kebijakan publik sehingga tujuan berdirinya negara ini dapat tercapai.

Akan tetapi, fakta lain menunjukkan bahwa antropologi Politik Indonesia adalah balas dendam. Sepintas kalimat tersebut sangat tendensius, akan tetapi fakta politik hari ini mengatakan demikian. Proses politik Indonesia tak lebih hanya derita bagi yang kalah dan euforia bagi yang menang, tanpa ada roadmap bagaimana memajukan negara ini karena masing-masing di antara mereka saling sibuk bagi-bagi kue kekuasaan.

Mirisnya lagi, hampir seluruh kontestan pemilu selalu melibatkan Muslim dan tentu saja pemilih Muslim di dalamnya. Semua pemilihan umum yang berlangsung selalu melibatkan kontestasi dan partisipasi pemilih Muslim sebagai faktor, bukan variabel penentu. Tentu karya Wasisto Raharjo Jati ini menyediakan berbagai data menarik untuk dielaborasi dan diselami bersama sejauh mana partisipasi dan preferensi politik pemilih Muslim ini.

Preferensi Politik Pemilih Muslim

Karya Jati ini terlahir dari tesis masternya di Australian National University (ANU) selama kurun waktu 2019-2020 yang berjudul “Faith, Gender and Politics: Religious Appearance and Candidate Support in Indonesia Elections”. Secara garis besar, buku ini berkisah mengenai relasi dan pengaruh gender dan agama dalam memengaruhi konsiderasi pemilih dalam memilih kandidat maupun preferensi partai politik.

Untuk membreakdown-nya, Jati menggunakan data dari hasil survei eksperimen empat kandidat yang terbagi atas pria dan wanita dengan tampilan religius dan biasa. Selain itu, ia memasukkan variabel modernisasi sebagai faktor. Faktor modernisasi yang dimaksud adalah faktor pekerjaan, urbanisasi, dan pendapatan. Lebih jauh, ia juga mengulas faktor persepsi gender, misalnya, kepemimpinan perempuan, keterikatan dan ketertarikan perempuan dalam dunia politik praktis, maupun peran ideal perempuan secara sosial menjadi bahan analisis buku ini dalam mengevaluasi perilaku pemilih.

Baca Juga  Yuval Noah: Kematian Adalah Kegagalan Manusia yang Dapat Dicegah

Simpelnya, temuan buku ini memperlihatkan bahwa hijab menjadi simbol religius yang secara politis dapat membantu kandidat perempuan dalam memenangkan pemilu. Adapun studi lain juga memperlihatkan keterpilihan kandidat perempuan lebih karena faktor organisasi maupun keluarga politik. Dalam konteks buku ini, faktor popularitas kandidat perempuan bukanlah menjadi indikator utama, melainkan bagaimana pemilih mempertimbangkan berbagai faktor sebelum menentukan preferensi politiknya terutama kandidat di level DPRD hingga DPR RI.

Tidak cukup itu, temuan menariknya adalah kandidat yang berpenampilan religius lebih mendapat dukungan terbesar dari kalangan menengah yang cenderung lebih terbuka pada pandangan egaliter. Tesis Jati ini menunjukkan bagaimana penampilan bisa menjadi isyarat bagi pemilih Muslim. Isyarat ini berdampak signifikan, terutama bagi caleg perempuan. Tak heran muncul adagium “Jika para elit sudah turun gunung ke pesantren dan berlagak agamis, berarti pemilu sudah dekat”.

Agama sebagai Pendulang Elektoral

Benar kata Gus Dur bahwa Indonesia adalah negara bukan-bukan. Parodi Gus Dur ini mengisyaratkan negara sebesar Indonesia ini tidak jelas ‘kelaminnya’. Negara yang tak jelas tolak ukurnya, tak jelas strategi yang digunakan, termasuk masyarakatnya. Dikategorikan negara agamis juga bukan, nyatanya separoh penghuni terbesar negara ini adalah nasionalis-agamis. Dikatakan negara nasionalis juga tidak, ternyata penghuni terbesar negara ini adalah Muslim. Diklasifikasikan sebagai negara sekuler juga salah, ternyata masyarakat kita sangat agamis. Dan dikatakan sebagai negara kapitalis-liberal juga tidak, ternyata menganut sistem ekonomi Pancasila, namun realitas hari ini berbanding terbalik.

Pada gilirannya, kondisi tersebut berdampak pada proses pemilu kita hari ini. Proses pemilu yang semestinya berlangsung luber dan jurdil, harus ternodai dengan intrik dan ekses-ekses politik yang kontraproduktif terhadap tujuan bangsa dan negara ini lahir; mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengentaskan fakir miskin. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, secara statistik bangsa ini dihuni sebagian besar oleh kalangan Muslim, maka otomatis isu agama (baca: Islam) menjadi sebuah isu yang sangat seksi untuk dipolitisir demi mendulang suara elektoral.

Baca Juga  Marriage Story, Curhatan Kelas Menengah yang Terlalu Dibesar-besarkan

Penggunaan simbol-simbol agama, sebagaimana diperlihatkan Jati, menunjukkan semakin banyak orang yang terpengaruh oleh identitas kolektif, semakin besar kemungkinan masyarakat tersegmentasi akan muncul. Hal ini mendorong masyarakat untuk ‘menyelaraskan’ dengan agenda sekuler atau agama, yang mengacu pada elit pemimpin. Dengan demikian, elit penguasa (juga kandidat) menjadi representasi dari latar belakang politik pemilih saat pemilu.

Konsekuensinya, pertarungan antar dua kubu nasionalis dan agamis, sosialis-kapitalis, sekuler-agamis menjadi tak terelakkan. Dan di sinilah pintu masuk para oligarki bermain.

Infrastruktur Demokrasi

Pada akhirnya, Indonesia mau tidak mau harus memperbaiki infrastruktur demokrasi agar mampu melahirkan pemimpin yang etikal-intelektual, tak sekadar elektoral. Memang keterbatasan demokrasi ada pada fasilitas konsensual yang ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus – untuk tidak mengatakan bersekongkol. Bahkan lebih sempit lagi, konsensus tersebut harus diwakilkan pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan politik; dan itu artinya terbuka peluang untuk praktik oligarki.

Keberatan inilah yang dieksploitasi oleh ‘politik kiri’ dan kalangan ‘posmodernis’ untuk mendekonstruksi demokrasi dengan mengujinya melalui rumpun teori hegemony dan prinsip anything goes. Memang dalam praktik demokrasi cenderung melahirkan oligarki karena prosedur teknis elektoral (electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo.

Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap bertumpu pada prinsip ‘keutamaan warga negara’, yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam electoral politics. Artinya, kewarganegaraan tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik Pemilu, yaitu dengan membagi habis seluruh warga negara menjadi anggota partai politik.

Amatan Rocky Gerung tersebut tidaklah salah jika kita bandingkan dengan realitas politik hari ini. Realitas yang dimaksud adalah tidak cukupnya pengaktifan akal sehat dalam politik hari ini. Tanpa akal sehat dan kebebasan berekspresi cum berpendapat, demokrasi hanyalah sebuah pajangan, ia tak ubahnya bak batu nisan belaka.

Baca Juga  Bagaimana Demokrasi Bisa Mati?

Di sinilah suara ‘bising’ status ontologi warga negara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa warga negara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidak boleh menghilangkan dan membumihanguskan prinsip primer demokrasi, yaitu ‘keutamaan warga negara’.

Wajah Bopeng Politik Kita

Sebagaimana dilukiskan para pengamat, harus diakui kondisi politik kita tengah mengalami keterbelahan (polarisasi) – untuk enggan mengatakan turbulensi. Kondisi ini semakin diperparah sejak pertarungan dua calon presiden pada pilpres 5 tahun silam yang akhirnya dimenangi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Pertarungan dua pemilih kubu ini ternyata berulang dan memantik dalam skala besar, terutama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang dimenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Ekses dari situasi tersebut adalah munculnya istilah politik identitas yang terus kita bahas sampai hari ini.

Masyarakat pun (terutama masyarakat Muslim kelas menengah) juga turut larut dan ambil bagian penting dalam faktor pembelahan tersebut bahkan menyentuh akar rumput (grassroot). Akal sehat, tampaknya tidak berfungsi lagi sebagai pemandu (guidance) dalam mengantisipasi pembelahan tersebut. Bahkan, normalisasi kondisi tersebut berulang pada pemilu lima tahunan, sebut saja Pilpres. Pertanyaan filosofisnya kemudian, sampai kapan hal ini akan berlanjut? Sampai kapan mereka para elit terus mempolitisir agama sebagai isu elektoral demi mendulang suara? Sampai kapan kualitas berdemokrasi kita akan terus begini? Tidak malukah kita kepada para founding fathers bangsa ini, apa yang akan kita katakan kepada mereka? Sebuah pertanyaan refleksi bersama.

Identitas Buku

Judul Buku: Preferensi Politik Pemilih Muslim Indonesia Kontemporer

Penulis: Wasisto Raharjo Jati

Penerbit: Buku Kompas

Tahun Terbit: 2024

Tebal: 180 hlm

ISBN: 978-623-160-299-2

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *