Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read

Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada Februari 2003. Buku 137 halaman ini diterbitkan oleh Nun Pustaka Yogyakarta. Kata Pengantar buku ini yaitu Prof. M. Amin Abdullah.

Melihat dari judul buku dan pengantarnya, buku ini menawarkan alternatif baru dalam meneliti madzhab tafsir. Beranjak dari kurangnya buku-buku yang membahas madzhab tafsir, terlebih yang menggunakan Bahasa Indonesia. Melalui buku ini, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga tersebut ingin melengkapi penelitian terkait madzhab tafsir, baik era klasik, pertengahan, hingga kontemporer.

Terma madzhab tafsir sebelumnya sudah dipopulerkan oleh Ignaz Goldziher dengan buku yang berjudul “Madzahib at-Tafsir al-Islami”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Ali Hasan Abdul Qadir. Namun, dengan melihat terma-terma yang dibahas belum mendefinisikan secara eksplisit apa itu madzahib at-tafsir.

Di dalam bukunya, Prof. Abdul Mustaqim mencoba memetakan perkembangan madzahibut tafsir mulai dari periode klasik hingga kontemporer. Penjelasan sederhana didalamnya dengan bentuk pengkategorian berdasarkan kurun waktu dan ciri-ciri yang nampak dari masing-masing periode. Prof. Abdul Mustaqim membagi sejarah periodesasi madzhibut tafsir menjadi tiga yaitu, klasik, pertengahan dan kontemporer.

Dalam merumuskan kategori periode-periode madzahibut tafsir, Prof Abdul Mustaqim menganologikan dalam pengantarnya dengan istilah teori Kuntowijoyo, yaitu tahap perkembangan dan pemikiran manusia. Pertama, periode mistis, yakni penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan pada masa klasik dari masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Kedua, periode idealis, yaitu penafsiran Al-Qur’an yang melahirkan produk penafsiran yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik. Ketiga, periode ilmiah, yakni penafsiran Al-Qur’an yang menyesuaikan keadaan, dimulai dari masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Baca Juga  Humanisme Religius: Paradigma Masa Depan Pendidikan Islam

Kepustakaan Buku Madzahibut Tafsir

Banyak sekali rujukan yang menjadi sampel pada kajian madzahibut tafsir ini, di antaranya; Dari Mesir, terdapat; Muhammad Abduh dengan kitabnya Fatihah al-Kitab (1382 H), Hassan Hanafi dengan bukunya Islam in the Modern World: TraditionRevolution and Culture (1995 M), Qissah at-Tafsir karya Ahmad Syirbasi (1962 M), al-Zarkasyi dengan karyanya  Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (1957 M), Nasr Hamid Abu Zayd dengan karyanya Mahfum al-Nass: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (1993 M) dan Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Musytahir bi Tafsir al-Manar (1954).

Dari Suriah terdapat; Muhammad Husain Adz-Dzahabi dengan at-Tafsir wal Mufassirun (1976 M), As-Suyuthi dengan karyanya al-Itqan fi’ulum al-Qur’an (1979 M) dan Subhi ash-Shalih dengan Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (1988 M).

Sementara dari Indonesia terdapat; M. Amin Abdullah dengan karyanya Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (1994 M), Asghar Ali Engineer dengan karyanya Hak-hak Perempuan dalam Islam (1994), dan Moenawar Khalil dengan karyanya al-Qur’an dari Masa ke Masa (1985 M).

Terakhir, dari Sarjana barat terdapat; Ignaz Goldziher dengan karyanya Madzhab at-Tafsir al-Islami (1955 M) dan Farid Esack yaitu, Qur’an and Liberation and Pluralism (1998 M). Masih banyak lagi rujukan dari yang lain.

Periodesasi Madzahibut Tafsir

Kemudian, Prof. Abdul Mustaqim menguraikan tiga garis besar dalam periode madzahibut tafsir, di antaranya;

Pertama, periode klasik. Yaitu penafsiran al-Qur’an yang berkembang pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga munculnya embrio pembukuan karya tafsir, yakni abad 1 H sampai abad 11 H. Yakni karakter tafsirnya belum menjadi karya tafsir yang utuh. Penafsiran bersifat global (ijmali), Membatasi penafsiran berdasar pemaknaan bahasa yang pokok saja.

Baca Juga  Syafi’i Ma’arif dan Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan

Pada periode ini belum muncul corak penafsiran secara ilmi, fiqhi, dan madzhabi. Sahabat yang terkenal intens banyak menafsirkan Al-Qur’an yaitu, Ali bin Abi Thalib, Abdullan bin Abbas, Abdullan bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.

Pada masa Tabi’in, penafsiran Al-Qur’an sudah mulai bersifat sektarian dan mulai terpengaruh oleh kepentingan aliran teologi tertentu, sehingga menjadi kurang objektif dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Kedua, Periode pertengahan. Yaitu masa penafsiran Al-Quran yang mulai terpengaruh dengan kecenderungan yang berkembang saat itu. Periode ini dimulai dengan munculnya karya tafsir yang utuh dan sampai ke tangan generasi sekarang.

Periode ini adalah masa-masa yang panjang dipenuhi pergulatan pemikiran dan parcaturan intelektual diwarnai dengan tarik menarik antara kepentingan tertentu dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Karakteristik yang baru pada periode ini, yaitu pemaksaan gagasan luar Al-Qur’an ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Para mufassir juga banyak mentakwil ayat-ayat, tentunya penafsiran pada masa ini lebih banyak menciptakan corak-corak penafsiran sesuai perkembangan keilmuan saat itu. Seperti corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi dan ilmi.

Ketiga, periode kontemporer. Yaitu dicirikan dengan usaha penafsiran Al-Qur’an dengan situasi sekarang atau dunia kontemporer. Berbeda dengan penafsiran sebelumnya yang sifatnya melangit. Periode kontemporer berusaha mengembalikan fungsi Al-Qur’an, yaitu petunjuk bagi manusia.

Al-Qur’an tidak lagi dipahami sebagai wahyu yang “mati” seperti pemaknaan ulama klasik, melainkan sesuatu yang “hidup”. Oleh karenanya, muncullah metode pendekatan hermeneutik yang dianggap menjadi menu alternatif sebagai pengganti perangkat keilmuan klasik yang dianggap pula tidak memadai bahkan tidak sesuai terhadap tantangan zaman.

Maka pada periode ini, penafsiran Al-Qur’an menggunakan dengan pendekatan-pendekatan modern seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutik dan berbagai disiplin keilmuan yang lain.

Baca Juga  Socrates: Manusia Tidak Boleh Takut Akan Kematian!

Dari berbagai metode yang berkembang saat ini, nampaknya metode maudhu’i (tematik) yang paling banyak diminati oleh mufasir Al-Qur’an. Yaitu memahami pemaknaan Al-Qur’an dengan memfokuskan pada tema tertentu. Topik inilah yang menjadi ciri khas dari metode maudhu’i. Selain itu juga, metode ini bersifat lebih praktis bisa langsung membumi ke masyarakat, karena bisa memilih tema-tema tertentu yang ingin dikaji.

Meminjam istilah dari Muhammad Mansur yaitu “Penafsiran Realis” sebab yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah realitas itu sendiri. Atau memahami dari Mohammad Arkoun disebut juga dengan pemaknaan aktual terhadap Al-Qur’an.

Objek Kajian Madzahibut Tafsir

Dari ketiga kategori periodisasi ini, kita dapat menelusuri terkait kajian madzahibut tafsir, yaitu terdapat dua peta objek kajian madzahibut tafsir, yaitu objek material dan objek formal.

Objek material dari kajian madzahibut tafsir yaitu data-data sejarah berupa produk-produk tafsir dan sejarah penulisnya sejak zaman Nabi hingga sekarang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya at-Tafsir wal Mufassirun.

Objek formalnya adalah kajian berdasarkan sudut pandang dari mana disiplin keilmuan memandang objek material. Objek formal dari kajian madzahibut tafsir yang menjadi titik tekannya yaitu kecenderungan, corak, aliran-aliran dan pendekatan-pendekatan penafsiran Al-Qur’an.

Dengan uraian tersebut, Prof. Abdul Mustaqim dengan madzahibut tafsirnya, memberikan pemahaman baru serta analisis yang segar dalam studi disiplin keilmuan mengenai tafsir. Menambah wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran. Menyadarkan adanya pluralitas penafsiran Al-Qur’an, menghindari pensakralan produk hasil pemikiran keagamaan.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UMS
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *