Inspiring

Ignaz Goldziher: Orientalis Yahudi anti-Zionisme dan Pakar Bahasa Arab

6 Mins read

Ignaz Goldziher (22 Juni 1850 – 13 November 1921) cukup dikenal di kalangan akademisi Indonesia karena tawaran metode kritisnya terhadap hadis. Menurut Goldziher, studi hadis yang dilakukan oleh ulama klasik lebih terfokus pada aspek sanadnya saja dan kurang memperhatikan pada sisi matan atau konten hadis. Bagi Goldziher, kritik matan/konten hadis ini menjadi sangat penting karena bisa saja terdapat hadis yang kemunculannya disebabkan oleh motivasi atau respons terhadap kondisi social politik tertentu. Artinya, boleh jadi terdapat hadis pesanan dari penguasa pada waktu tertentu demi melanggengkan jabatan politisnya dan hadis tersebut sejatinya tidak bersumber dari Rasulullah. Pendekatan kritis terhadap matan hadis yang ditawarkan oleh Ignaz Goldziher atau yang lebih dikenal “teori evolusi hadis” telah memicu beragam tanggapan dari akademisi Indonesia dalam berbagai bentuk karya ilmiah yang dengan mudah dapat dijumpai secara online.  

Goldziher merupakan seorang Orientalis Barat keturunan Yahudi yang mampu membuka wacana baru disiplin studi Islam modern di Dunia Barat. Ia merupakan tokoh Orientalis yang telah berhasil memberikan warna baru dalam kajian Orientalisme, alih-alih menghubungkan studi Islam dalam konteks kolonialisme, Goldziher berhasil menempatkan disiplin studi Islam sebagai cabang disiplin ilmu independen dalam wacana akademik Barat.

Sejak kecil ia merupakan anak yang rajin, selalu belajar sampai larut malam dan bangun di pukul 5 paginya. Kemudian pada usia dua belas tahun sudah mampu menulis buku pertamanya tentang sejarah asal-usul do’a dalam agama Yahudi. Ia selanjutnya masuk universitas dan mempelajari beberapa disiplin ilmu seperti filsafat, linguistic, dan filologi. Ia belajar di kota-kota penting Eropa seperti Berlin, Leipzig, Leiden dan Vienna. Selanjutnya pada September 1873 ia melakukan perjalanan ke kota-kota di Timur Tengah yaitu Istanbul, Beirut, Damascus, Jerusalem, Kairo dan kembali ke Budapest tahun 1874. Perjalan tersebut disebutnya sebagai “Muhammadian Year,” tahun kunjungan yang sangat berkesan bagi kehidupan personal dan juga karir akademiknya.

Saat kunjungannya ke Kairo ia sangat kagum dengan tradisi keilmuan al-Azhar dan beberapa kali mengikuti ceramah dari pendiri Pan-Islamisme sekaligus tokoh reformisme Islam yaitu Jamal al-Din al-Afghani. Goldziher menggambarkan Afghani sebagai pemikir “free thinker.”  Dengan kelompok Muslim reformis ini lah ia merasa menyatu dengan visi rekonsiliasi keimanan dan budaya modern yang dicita-citakan. Visi reformisme yang digagas oleh Afghani dan tokoh reformisme Islam lainnya bagi Goldziher sangat relevan dengan misi yang ia inginkan yaitu mereformasi doktrin Yahudi di Hungaria yang ia pandang berada dalam kondisi stagnan.

Baca Juga  Siapakah Mereka yang Berhak atas Tanah Palestina?

Karir akademiknya di Hungaria tidak semulus seperti yang kita bayangkan. Meskipun ia dijanjikan untuk mendapatkan posisi penting di Hungarian Academia yaitu sebuah tempat perkumpulan penting dan prestisius yang terdiri dari kalangan terpelajar Hungaria, maka baru pada tahun 1905 atau tiga puluh tahun setelah tawaran tersebut, pada usianya ke 54 tahun ia baru mendapatkan posisi penting sebagai ketua untuk bidang bahasa-bahasa Semit. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa jalan terjal Goldziher untuk masuk jajaran penting orang-orang terpelajar di Hungarian Academia disebabkan oleh penolakannya untuk konversi dari agama Yahudi ke Kristiani.

Masa-masa sulit Goldziher sebelum masuk Hungarian Academia ia mejabat sebagai sekretaris komunitas Yahudi Neolog [Yahudi aliran liberal], sebuah tempat kerja yang tidak dia sukai sama sekali namun memberikan anugerah dari sisi waktu luang utamanya pada malam hari yang ia gunakan semaksimal mungkin untuk mendalami studi Islam. Gagasan pokok Goldziher terhadap Islam utamanya terletak pada dua pokok utama yaitu pandangannya bahwa Islam sejak awal kemunculannya bersifat reseptif terhadap gagasan-gagasan keagamaan dan kondisi di sekitarnya, utamanya keterbukaan terhadap Kristen dan juga Yahudi. Kondisi elektif ini terus mengikuti perkembangan sejarah Islam dan lambat laun dikalahkan oleh dominasi nalar agama yang bersifat dogmatis, fiqh mainstream.

Selain karya-karya Ignaz dalam bentuk buku yang popular seperti Muslim Studies, Introduction to Islamic Theology and Law, Mohammed and Islam, dan The Zahiris: Their Doctrine and Their History, a Contribution to the History of Islamic Theology, Ia juga meninggalkan legasi intelektualnya dalam bentuk dokumen korespondensi. Pasca wafatnya Ignaz tahun 1921, terdapat 40 kotak berisi korespondensi yang dimilikinya tersimpan di Perpustakaan the Hungarian Academy of Sciences, sebuah perpustakaan tua yang berdiri sejak 1826. Empat puluh kotak tersebut berisi 13.700 surat dari 1.650 orang dalam 10 bahasa! Surat korespondensi tersebut berisi seputar diskusi tentang bahasa Arab, Yahudi, dan studi Islam.

Sikapnya terhadap Zionisme

Tumbuh besar dalam polarisasi social politik di Hungaria utamanya pada perseteruan antara Yahudi Ortodoks yang tidak mau berintegrasi dengan nasionalisme Hungaria dan Yahudi Reformis yang mengasimilasikan diri mereka berintegrasi dengan gerakan nasionalisme Hungaria. Selama kunjungannya ke Timur Tengah di tahun 1873, ia menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai kelompok berwajah buangan dan tidak terhormat, dan menyebut orang Kristen sebagai kelompok agama pemberontak. Stereotipe ini didasarkan pada pandangannya bahwa orang-orang Yahudi terkerangkeng dengan dogmatisme ortodoksi mereka sehingga tidak dapat berbaur dengan masyarakat Muslim di Timur Tengah.

Baca Juga  Sisi Kontroversial dari The History of The Qur'an karya Theodor Noldeke

Pada salah satu korespondensi yang ditulisnya tahun 1889, Goldziher menegaskan penolakannya untuk pindah ke Yerusalem. Baginya, ada perbedaan antara Zionisme dengan ke-Yahudian. Ia menegaskan dalam suratnya bahwa: “…ke-Yahudi-an adalah istilah agama dan bukan istilah etnografis. Mengenai kewarganegaraan saya, saya seorang Transdanubian, dan berdasarkan agama saya adalah seorang Yahudi. Ketika saya berangkat ke Hongaria dari Yerusalem, saya merasa seperti sedang pulang ke rumah…” Oleh karena itu, bagi Goldziher sebagai seorang Yahudi dia tidak harus bermigrasi kembali ke Yerusalem karena baginya Yahudi adalah murni istilah agama dan tidak harus terikat pada tanah sacral tertentu. Di mana pun seorang Yahudi berada, menurutnya mestinya dapat berintegrasi menjadi bagian dari negara di mana mereka tinggal.

Kepakaran Goldziher pada Bidang Bahasa Arab

Saya secara pribadi pernah menulis sebuah artikel dengan judul Historiography of the Arabic Grammar in Europe, di dalamnya mengkaji sejumlah karya tentang gramatika bahasa Arab yang ditulis oleh sarjana Barat era awal semisal Heinrich Leberecht Fleischer (1801–1888) dari Leipzig University Jerman, dan Silvestre de-Sacy (1758–1838) dari Perancis. Kedua tokoh ini ternyata merupakan guru bagi Goldziher untuk disiplin ilmu bahasa Arab dan filologi meskipun ia tidak mendalami secara khusus pada aspek linguistic Arab. Menurutnya, disiplin bahasa dan filologi bermanfaat sebagai alat untuk mengkaji aspek sejarah kultural Islam yang ia dalami. Pada masanya, Ignaz merupakan pioneer bagi sarjana Barat yang memiliki kemampuan mumpumi pada bidang bahasa Arab selain studi Islam yang ia tekuni.

Salah satu karya Goldziher yang sangat penting yaitu “On the History of Grammar among the Arabs,” merupakan karya terjamahan dari bahasa Hungaria yang diterbitkan tahun 1877 dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1994. Karya tersebut merupakan karya agung Goldziher tentang historisitas gramatika Arab ditinjau dari aspek asal-usul kaidah, tokoh Nahwu, aliran madzhab Nahwu, variasi bahasa, dan pengaruh filsafat Yunani dan teologi terhadap konsep linguistic Arab.

Karya ini merupakan serangkaian dari proyek besar Goldziher tentang studi Islam. Ia berupaya untuk melihat aspek historis Islam dari sisi kebahasaan khususnya pada aspek gramatika Arab yang ia percayai berimplikasi besar terhadap konsep teologi dan metode fiqh dalam hukum Islam. Secara khusus, Goldziher sangat mengagumi kitab Muzhir karangan al-Suyuti. Melalui karya al-Suyuti inilah yang telah mendorongnya untuk menulis tentang gramatika Arab dari aspek historisitasnya. Disebutkan bahwa Ignaz hampir tiap siang dan malam tidak pernah luput dari membaca kitab Muzhir!  

Baca Juga  Hanum Salsabiela Rais: Kampanye Islam Damai Lewat Buku

Sebagai refleksi atas kiprah akademik dan karya-karya intelektual dari Goldziher, pesan yang dapat kita petik bahwa legasi seorang intelektual hanya akan didapatkan melalui kerja keras dan juga keterbukaan diri untuk menjalin komunikasi dan dialog dengan orang lain agar mendapatkan insight baru. Ignaz menujukkan kepada kita pada sikap keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan yang ia buktikan dengan dimilikinya jumlah korespondensi yang begitu massive. Selain itu, melalui profiling akademiknya, kita juga mempelajari bahwa tidak selalu system atau brirokrasi yang rumit akan menghambat keberhasilan seorang ilmuan, tetapi sekali lagi kesungguhan dan niat kuat itulah yang akan menghantarkan pada keberhasilan dan prestasi akademik di kemudian hari.

Ignaz Goldziher merupakan representasi dari tokoh Orientalis Yahudi yang tidak setuju dengan gagasan Zionisme dengan terbentuknya negara Israel yang kita lihat sekarang. Baginya, bangsa Yahudi bisa hidup negara mana saja di mana mereka tinggal. Jika pandangan ini terus disebarkan maka mestinya konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel dapat diurai secara perlahan melalui dialog dan negosiasi untuk tercipatanya dua negara yang damai yaitu dengan terciptanya Palestina yang merdeka dan terlindunginya hak-hak sipil mereka.

Selanjutnya, masih dalam momentum peringatan hari bahasa Arab se-Dunia yang diperingati setiap tanggal 18 Desember. Maka semangat dan kegigihan Ignaz Goldziher dalam mengkaji bahasa Arab patut kita ambil pelajaran dan menjadi panutan bagi kita bersama. Ignaz Goldziher meskipun seorang Orientalis Yahudi sangat mencintai bahasa Arab dan mengkaji tokoh-tokoh penting pendiri Nahwu Arab secara serius. Jika kita sebagai umat Islam saja tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab karena kitab pedoman kita adalah al-Qu’ran yang berbahasa Arab, maka semestinya kita merasa termotivasi untuk memelajari bahasa Arab setidaknya agar kita mampu membaca al-Qur’an dan memahami maknanya.

Terlebih lagi kita berhadap akan lahir dari kalangan akademisi Indonesia pengkaji bahasa Arab yang mampu melahirkan karya-karya monumental dan sejajar seperti yang sudah ditulis oleh Goldziher. Harapan besar ini memang harus melibatkan berbagai elemen seperti tersedianya funding bagi peneliti untuk research ke luar negeri dan juga sabbatical leave bagi para peneliti untuk terlibat langsung dalam penelitian-penelitian yang bersifat etnografis sehingga melahirkan karya-karya ilmiah yang handal dan dapat dijadikan rujukan baik pada skala nasional maupun internasional. Amiin   

Semoga kita mendapatkan ibrah dari mempelajari perjalan intelektual Ignaz Goldziher dan merasa termotivasi untuk terus belajar!

Editor: Yusuf

Avatar
1 posts

About author
Pemerhati Dunia Arab dan Dosen pada Prodi Bahasa Arab dan Sastra Arab, FAI Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *