Review

Sisi Kontroversial dari The History of The Qur’an karya Theodor Noldeke

3 Mins read

Karya Theodor Noldeke dengan nama asli Geschichte des Qorans adalah tesis doktoral yang dibuat pada tahun 1860 di Universitas Gottingen. Pada buku tersebut dilimpahi begitu banyak sumber catatan kaki, berjumlah kurang lebih 3.110. Beliau merupakan sarjanawan paling sukses yang berhasil merampungkan kronologi al-Qur’an. The History of the Qur’an yang kini dicetak, dipublikasikan, dan dibaca banyak kalangan akademisi merupakan edisi kedua dari Geschichte de Qorans yang ditranslasikan oleh Ignaz Goldziher, Christiaan Snouck Hurgronje, dan Frau Marga Bergstaber.

Pada tahun 1909, kondisi kesehatan mata Noldeke semakin memburuk hingga sampai pada puncak dimana beliau tidak bisa berkutat lagi di bidang akademis. Oleh karena itu, Friedrich Schwally (murid utama dan sahabat) secara moral merasa berkewajiban melanjutkan menyelesaikan karya Noldeke. Hal itu juga didasari karena harapan dari pihak penerbit.

Keberlanjutan karya tersebut (edisi kedua) dikerjakan tiga sarjanawan. Dua diantaranya meninggal. Schwally meninggal karena proses pemboikotan bahan pangan pada kejadian Anglo-American yang berakhir pada tanggal 5 Februari 1919. Sedangkan Bergstaber meninggal pada kecelakaan pendakian gunung Watzmann pada tanggal 16 Agustus 1933.

Kematian kedua sarjanawan itu otomatis membuat Pretzl menjadi pewaris kelanjutan karya tersebut. Itulah sejarah singkat dibalik pembuatan buku karya Theodor Noldeke.

Isi Buku The History the Qur’an

Bab pertama yang berjudul The Origin of the Koran menjabarkan tentang hal-ihwal bagaimana kenabian biasanya diperoleh. Disini Noldeke menyampaikan bahwa sejarah kenubuwatan selama ini selalu di tangan Israel, teramat banyaknya itulah hingga pada saat dimana banyak mesiah palsu muncul dan bertebaran.

Maka aneh jika muncul nabi dari Mekkah, pusat agama pagan berada. Tapi tentu beliau tidak bisa dibilang nabi palsu, karena koran dari beliau begitu mengena dan membuat pengikut beliau bertambah. Hal ini tidak bisa terjadi jika Muhammad adalah seorang penipu. Sebagai contoh saja, Abu Bakar dan Umar bin Khattab merupakan orang yang disegani karena kepintaran dan keberanian mereka. Mereka berdua menemani Muhammad di waktu baik dan buruk, tentu mereka berdua tidak akan melakukan hal ini demi seorang penipu.

Baca Juga  Bagaimana Al-Qur'an dan Filsafat Merespon Fenomena Bunuh Diri?

Lebih lanjut Noldeke menganggap bahwa Muhammad merupakan seseorang yang tidak bisa menggunakan nalar logika abstrak. Dampaknya, apapun yang Muhammad lakukan (berdasarkan Muhammad sendiri) merupakan berdasarkan gerakan luar, alias kehendak langit. Muhammad tidak pernah menanyakan keyakinannya, Muhammad bersandar penuh pada instingnya yang dipandang merupakan suara Tuhan, berkehendak secara unik kepadanya.

Berdasarkan pada hal inilah Muhammad mempresentasikan surah al-Qur’an dalam keadaan kehendak penuh diri sendiri. Ia menggunakan cerita asing, sebagai buah pemikirannya yang menarik, yaitu pesan keilahian. Pendekatan seperti ini bisa disandingkan dengan kebaian dari kalangan Israel yang menghadirkan produk mereka merupakan kata-kata ilahi dari Yahweh Sabaoth.

Pada bab pertama Theodor Noldeke juga memaparkan pengaruh ajaran Kristen dan Yahudi dalam ajaran Nabi Muhammad. Setelah itu Noldeke menunjukkan bukti-bukti literatur-literatur pra-islam arab atau zaman jahiliyah, hal ini untuk mendukung bahwa al-Qur’an selain disampaikan secara oral, juga ada yang dalam bentuk tulisan, sebagai contoh nyata yang bisa dilihat hingga kini tentunya Mushaf Utsmani dan surat-surat Nabi Muhammad kepada kerajaan tetangga.

Pada bab kedua Noldeke membahas bagaimana wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dari situ Noldeke memaparkan beberapa pendapat beberapa ahli tentang alasan logis mengapa Nabi Muhammad berperilaku demikian (lebih jelasnya, pada suatu waktu Nabi Muhammad menerima wahyu dengan nafas ternegah-engah, mulut berbusa, terkadang sampai pingsan), ada yang berpendapat bahwa Muhammad mengalami epilepsi (Weil), atau rangsangan kegembiraan yang teramat sangat (Rob. Summer).

Selanjutnya, Noldeke menjelaskan berapa panjang ayat al-Qur’an diturunkan dalam sekali turun, yang mana tentu ada berbagai pendapat yang berbeda dan itu semua diutarakan Noldeke. Setelah itu Noldeke membahas bagaimana kata قرأن berasal, lebih istimewanya beliau juga mengutip kesamaannya dengan bahasa hebrew.

Baca Juga  Karikatur Sang Nabi di Bulan Kelahirannya

Pada bab dua terdapat sub-bab khusus yang membahas tentang qira’at utamanya sab’ah al-ahruf. Tidak ada yang istimewa di dalamnya, disini Noldeke hanya membahas perbedaan kalangan ahli dalam menafsirkan sab’ah al-ahruf dan tentunya ditekankan apa saja yang berbeda. Pada sub-bab ini Noldeke malah menjelaskan penjabarannya ke arah nasikh-mansukh dan tradisi perjumpaan Muhammad dengan Jibril dalam rangka re-memorize hafalan Nabi Muhammad.

Pada sub-bab selanjutnya, Noldeke membahas hubungan wahyu al-Qur’an dan kenabian Maslamah (Noldeke mengutip dari al-Tabari, nama asli Musaylamah adalah Maslamah, namun lebih dikenal Musaylamah sebagai bukti pengkerdilan, sama halnya kasus seseorang yang mengaku nabi, dia bernama Thalhah, namun selanjutnya lebih dikenal dengan nama Thulayhah). 

Pada paragraf pertama, Noldeke menunjukkan tantangan Nabi Muhammad kepada orang-orang untuk membuat sepuluh surah yang sepadan dengan al-Qur’an, yang dinilai bukan hanya keindahan atau puitisnya kata-kata yang disusun, namun juga isi yang bisa bertahan dan lolos tempaan zaman.

Kemudian berlanjut kepada kesamaan ajaran Musaylamah dengan Muhammad. Misalnya larangan khamr, shalat, penyebutan tuhan dengan ar-Rahman, dan puasa. Meskipun begitu, ada juga perbedaan. Perbedaan disini memiliki persamaan dengan ajaran Kristen. Misalnya, Musaylamah menjelaskan konsep ekatologi mirip dengan kerajaan surganya Kristen. Masalah kebahasaan yang digunakan oleh Musaylamah tentu memiliki kemiripan dengan bahasa al-Quran, karena bahasa al-Qur’an dengan bahasa Musaylamah memiliki akar yang sama yakni bahasa Arab.

Editor: Soleh

Roma Wijaya
9 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *