Review

Buya Hamka & Siti Raham Vol II: Perjuangan Penuh Cinta dan Kedamaian

4 Mins read

Berbeda dengan film Buya Hamka Volume I yang banyak mengisahkan perjalanan intelektual seorang Buya Hamka, pada Volume II ini menyajikan perjuangan yang dibalut dengan kisah romansanya dengan Siti Raham. Kesetiaan seorang Raham yang menjadi penguat spiritual suaminya, berhasil menguatkan Hamka di saat Hamka nyaris bunuh diri di dalam penjara.

“Saya tidak jago pidato, sebab saya biasanya hanya mengurus tukang pidato. Mempersiapkan makanannya, menjaga kesehatannya, dan yang tidak kalah penting adalah menjaga kehormatannya,” kurang lebih begitu pidato Siti Raham pada momen Buya Hamka setelah keluar dari penjara.

Dakwah Buya Hamka sangat disokong penuh dengan penjagaan Siti Raham. Jika kita memiliki teladan kisah Khadijah yang secara penuh membantu dakwah Rasulullah, maka Siti Raham adalah teladan perempuan yang juga sama memiliki peran besar dalam perjuangan dakwah Buya Hamka.

Di saat Buya Hamka berjuang, Siti Raham merawat kehidupan. Kisah ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa antara lelaki dan perempuan saling membutuhkan. Keduanya sama-sama memiliki peran untuk berdakwah dengan pilihan masing-masing.

Buya Hamka seorang ulama yang terkenal dengan tafsir Al-Azharnya, menyelesaikan karyanya atas dasar dorongan dan semangat yang diberikan oleh Siti Raham. Bahkan di saat Buya Hamka mengalami fase titik terendah dalam hidupnya, bayangan dan nasehat Siti Raham lah yang menghujam meyakinkan tauhidnya untuk tetap bertahan apapun kondisi yang dihadapi.

Romansa Cinta Buya Hamka dan Siti Raham

Kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham adalah kisah yang mengajarkan bahwa fungsi pernikahan salah satunya adalah untuk membangun peradaban. Dari Siti Raham, perempuan akan belajar mengenai peran sebagai seorang istri yang tidak melulu ‘tunduk’, melainkan memiliki kesempatan dan kebebasan untuk memaksimalkan peran dakwahnya.

Beberapa kali Siti Raham justru berperan menyuntik nasihat untuk Buya Hamka. Saat Buya Hamka bimbang di tengah mundur atau tetap menjadi pegawai negeri, Siti Raham menjadi perempuan yang juga memiliki andil memberikan pendapat.

Baca Juga  Kemurahan Hati Buya Hamka terhadap Pramoedya Ananta Toer

Hubungan keduanya mengajarkan bahwa suami istri tidak lagi terkurung pada paradigma patriarki yang menyudutkan perempuan untuk senantiasa tunduk pada lelaki, justru peran perempuan juga bisa menyeimbangkan keputusan yang dipilih oleh laki-laki.

Sebagaimana dalam Alquran surah Ali-Imran ayat 195, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan.”

Korelasi ayat ini dengan kisah Buya Hamka terletak pada peran keduanya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang setara, peran di masyarakat maupun di dalam rumah tangga.

Hamka dalam tafsir Al-Azhar menyebutkan perihal ayat ini, bahwa segala permohonan yang timbul dari hati yang khusyuk dan segenap kerendahan itu telah didengar oleh Tuhan. Tuhan itu bukanlah pekak dan bukan lalai ketika hambanya menadahkan tangannya ke langit memohon karunia atau sujud ke bumi, karena insyaf akan kekecilan diri setelah memikirkan alam atau mengingat Allah.

Beramal itu tidaklah dibebankan kepada laki-laki saja. Perempuan juga memiliki hak dan kewajiban, seperti laki-laki yang memiliki hak dan juga kewajiban. Yang setengah adalah dari yang setengah. Artinya, segala amal besar masyarakat adalah persatu-paduan kerja kasar laki-laki dan kerja halus perempuan.

Di dalam rumah tangga pun demikian. Si suami bekerja keluar mencari nafkah, si istri bekerja di rumah menjaga ketentraman dalam rumah tangga. Kita ibaratkan pula dengan kerja sama membangun masjid bergotong royong.

Laki-laki bertukang dan perempuan memberi makanan. Suatu rapat umum, meskipun kursi-kursi telah diatur rapi, namun alas mejanya dan bunga-bunga penghias majelis mesti dibantu oleh perempuan. Di dalam peperangan, laki-laki berjuang berhadapan dengan musuh, tangan perempuan membalut yang luka dan menyediakan makanan.

Itulah maksud kata Tuhan bahwa yang setengah ialah dari yang setengah. Kerja dan usaha laki-laki memerlukan tangan lembut perempuan. Masyarakat adalah laksana paru-paru yang bekerja hanya sebelah. Jika ada kesadaran pada kedua pihak, tumbuh masyarakat yang kuat dan kokoh. Selanjutnya berfirmanlah Allah.

Baca Juga  Buya Hamka, Bukan Pembuat Fatwa Larangan Ucapan Selamat Natal

Meski tidak begitu menggali peran Siti Raham terhadap kehidupan Buya Hamka. Namun perhatian-perhatian yang diberikan oleh Siti Raham begitu besar. Ini menunjukkan bahwa di balik tokoh ulama Buya Hamka, ada sosok perempuan di baliknya yang menjadi tempat bersandar.

Kisah keduanya mengajarkan penonton bahwa kisah romantis Siti Raham dan Buya Hamka senantiasa terpaut kepada Allah, terlihat pada dialog-dialog manis mereka.

Selain menjadi pendukung yang setia menemani perjuangan dakwah Hamka, Siti Raham juga merupakan sosok pasangan yang sabar menghadapi segala bentuk cobaan yang datang dalam kehidupannya bersama Hamka.

Siti Raham adalah perempuan yang mampu menciptakan suasana teduh di rumah. Jika di era sekarang kita mengenal istilah bahasa cinta, Raham nyaris memborong lima bahasa cinta.

Siti Raham dalam dialog-dialognya senantiasa memberikan words of afirmation, tidak hanya itu, secara acts of service tidak perlu diragukan. Raham benar-benar memberikan pelayanan terbaik untuk Hamka.

Physical touch dan quality time Raham juga memberikan itu pada Hamka. Terlihat saat beberapa adegan Siti Raham senantiasa memberikan kekuatan melalui sentuhan dan mengambil waktu berdua untuk ‘ngobrol’ dengan Hamka berdua.

Ini juga memberi pelajaran pada kita bahwa menikah itu adalah menerima dan membersamai. Menyoal receiving gifts, Raham juga melakukan hal tersebut. Di saat Hamka dinyatakan bisa bebas dari penjara, Raham sengaja mencetak tafsir yang sudah ditulis Hamka. Meski belum selesai, tetapi Raham tetap ingin mencetaknya sebagai bentuk support dan hadiah untuk Hamka. Sungguh, perpaduan dua insan yang memang saling mendukung dan selesai satu sama lain, sehingga keduanya memang siap untuk membangun peradaban.

Dinamika Politik Buya Hamka dan Soekarno

Film Buya Hamka volume II tidak hanya menyoroti kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham, melainkan juga terselip pesan penting untuk para politisi tanah air. Dimana mengangkat kisah persahabatan Buya Hamka dan Soekarno di masa tua yang sempat berselisih soal perbedaan pandangan mengenai politik. Yang akhirnya Buya Hamka dipenjarakan saat itu.

Baca Juga  Buya Hamka, Berdakwah dengan Sejuk dan Damai

Meski sempat diasingkan di penjara karena tuduhan melakukan subversif kepada pemerintahan, hal itu tak membuat Buya Hamka marah sedikitpun kepada Soekarno. Bahkan saat Soekarno meninggal, Buya Hamka tetap bersedia menjadi imam shalat jenazah sang proklamator.

Buya Hamka berpesan dalam salah satu dialognya, “Dalam politik, kadang kawan bisa menjadi lawan dan lawan bisa menjadi kawan.” Artinya, biasa-biasa saja dalam membaca dinamika politik.

Kisah persahabatan Buya Hamka dan Soekarno patut menjadi teladan bagi politik tanah air, tidak saling membenci dan selalu damai. Kemanusiaan mengatasi politik. Keteladanan kedua tokoh ini; Bung Karno dan Hamka layak menjadi contoh kaum politisi negeri ini. Utamakan perdamaian. Tidak perlu ada perpecahan.

Anjasmara selaku tokoh yang memerankan Soekarno menyampaikan bahwa, melalui adegan ini jika kita dihadapkan pada tahun politik, kita harus mampu mengambil pelajaran penting. Kita sebaiknya jangan sampai karena perbedaan pendapat, lantas membuat kita saling membenci dan menjatuhkan.

Melalui film ini, kita bisa belajar untuk menerapkan hubungan persahabatan seperti Buya Hamka dan Soekarno. Perseteruan, konflik, atau gesekan politik pasti ada. Tetapi bisa dilihat endingnya, Buya Hamka dan Soekarno tetap satu untuk Indonesia dan persahabatan.

Editor: Daib/Rivan

Renci
1 posts

About author
S1 Universitas Muhammadiyah Metro S2 IAIN Metro, Lampung Pendidik
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *