Inspiring

Buya Hamka, Berdakwah dengan Sejuk dan Damai

4 Mins read

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka, lahir pada 16 Februari 1908 di tanah Minangkabau, Sumatera Barat. Abdul Malik adalah nama semasa kecil, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya yakni Haji Abdul Karim dan Amrullah merupakan nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.

Genealogi pendakwah dari Ayahnya Abdul Malik dan Kakeknya Amrullah, membentuk Hamka menjadi seorang da’i yang tangguh. Buya Hamka sosok pribadi yang sejuk, santun dan selalu menebarkan kedamaian dalam dakwahnya. Dalam berdakwah, ia tidak pernah menggunakan cara-cara yang tidak etis seperti memprovokasi atau menebar kebencian.

Buya Hamka melarang berdakwah dengan cara memaksa. Beliau juga tidak menghendaki berdakwah dengan cara propaganda karena dakwah bukanlah kampanye, yang lihai berkata-kata untuk sekedar menumpuk suara. Melainkan dalam berdakwah, Buya Hamka selalu menghadirkan keteladanan.

Dalam sebuah buku Mengenang 100 Tahun Hamka, disebutkan Buya Hamka dalam berdakwah memegang pendapat Ibnu Khaldun yang menjelaskan bahwa, dasar terpenting dalam berdakwah adalah contoh dan keteladanan. Seperti halnya seorang penguasa memberi contoh dan teladan kepada rakyatnya, seorang yang lemah mengambil contoh dari yang kuat, yang di belakang mengikuti di depannya. Maka bagi seorang pemimpin harus memberikan teladan yang baik kepada yang dipimpin (rakyat), dan seorang pemimpin tidak sekedar pandai berbicara.

Keluwesan dalam Dakwah

Buya Hamka juga merupakan seorang pendakwah yang luwes serta memahami lingkungan dan budaya setempat. Keluwesan beliau dalam berdakwah sebagaimana dijelaskan dalam buku Mengenang 100 Tahun  Hamka, bahwa beliau mau menerima para pelajar perempuan yang ingin belajar tentang Islam. Padahal kondisi mereka masih terpengaruh model-model Barat, yakni dengan mengenakan pakaian minim dan penggunaan make up yang berlebihan.

Tidak ada rasa keberatan bagi Buya Hamka walaupun pakaian mereka belum sesuai dengan akhlak Islam. Dalam menyampaikan dakwah kepada mereka, Buya Hamka tidak juga merasa risih padahal mereka berpakaian terbuka dan sebagian auratnya terlihat. Beliau tetap berdakwah dengan memberikan pemahaman yang baik tentang akhlak dalam Islam, sehingga berkat keistiqomahan Buya Hamka dalam berdakwah membuahkan hasil secara bertahap. Secara perlahan-lahan para perempuan yang tadinya belum menutup auratnya itu datang dalam kajian Buya Hamka dengan menutup auratnya.

Baca Juga  Ummu Sulaim, Perempuan Muslimah dalam Kisah Anas bin Malik

Masih tentang keluwesan beliau dalam berdakwah. Sebagaimana dijelaskan juga pada saat awal-awal berdirinya pendidikan formal Al-Azhar, Buya Hamka tidak mewajibkan siswa-siswinya untuk mengenakan busana Muslimah. Kemudian beliau juga pernah mengizinkan Aula Masjid Agung Al-Azhar dijadikan tempat untuk peraga busana pakaian haji oleh Iibu-ibu Pertiwi DKI. Hal semacam itu merupakan bagian dari cara Buya Hamka dalam menyampaikan nilai-nilai Islam kepada orang lain. Beliau berdakwah dengan memberikan teladan yang baik karena Buya Hamka sangat memahami latar belakang masyarakat.  

Dakwah Bil hal  jauh lebih efektif ketimbang hanya sekedar berceramah di atas podium. Apalagi jika ceramah itu dibumbui dengan celaan, sindiran, dan mengharam-haramkan. Sehingga bukannya mendapatkan pemahaman yang baik tentang Islam, melainkan perasaan yang kesal dan rasa sakit hati yang didapatkan lantaran perkataan yang tidak pantas oleh dai mubaligh.

Kiat Sukses Berdakwah ala Buya Hamka

Dalam buku mengenang 100 tahun Hamka, dijelaskan kiat-kiat dalam berdakwah menurut Buya Hamka. Di antaranya sebagai berikut;

Niat yang Benar

Bahwa tujuan dalam berdakwah haruslah karena menjalankan perintah Allah, mengharapkan ridha-nya serta untuk menegakkan agama Allah. Bukan untuk kepentingan pribadi, mencari popularitas, atau ingin mendapatkan pujian dari orang lain.

Jika niat berdakwah benar maka segala ujian dan derita dalam berdakwah akan terus diperjuangkannya karena untuk membela Agama Allah, keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dakwah tumbuh dari dalam hati, dan dakwah dari hati akan diterima oleh hati.

Memahami Apa yang Sampaikan

Seorang da’i harus memahami materi yang akan disampaikan, tidak hanya pandai soal retorika saja, melainkan mengerti apa yang harus dikatakan dan yang tidak. Pentingnya penguasaan materi sebagaimana dicontohkan Nabi Musa, walaupun ia kurang dalam retorika namun dakwahnya berhasil karena penguasaan dan penghayatan materi yang akan ia sampaikan.

Baca Juga  Agama bagi Masyarakat Sekuler Eropa

Memiliki Kepribadian yang Kuat dan Teguh

Dijelaskan sebagai da’i harus kuat tidak boleh terpengaruh karena sebuah pujian dan tidak mudah tersinggung karena kebencian seseorang. Fisik boleh cacat, tapi perangai tidak boleh. Buya Hamka mencontohkan seorang ulama Tabi’in yang masyhur di al-Haramain bernama Imam Atha’, dijelaskan bahwa ia seorang yang berkebangsaan Habasyah berkulit hitam dan tidak tampan mukanya, namun orang-orang tetap mendengarkan ceramahnya hal itu karena kepribadiannya yang baik.

Tentang sebuah pujian Buya Hamka menjelaskan, bahwa seseorang pasti senang dengan pujian. Kemudian Buya menerima pujian itu, namun ia kembalikan kepada Allah Swt. Jadi pujian diterima bukan atas dasar kesombongan melainkan karena kebesaran Allah Swt.

***

Mempunyai Pribadi yang Menarik, Lembut tetapi Bukan Lemah, Tawadhu’, Merendahkan Diri tetapi Bukan Rendah Diri, Pemaaf tapi Disegani.

Perihal ini beliau sampaikan berdasarkan surah Ali Imran ayat 159 “Maka disebabkan Rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka itu akan menjauhkan diri dari keliling-mu. Oleh karena itu maafkanlah mereka, mohonkanla ampun bagi mereka, Dan bermusyawarahlah dengan mereka dengan urusan itu. Dan apabila kamu sudah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”.

Tidak Menghadirkan Sikap yang bertentangan.

Seorang da’i yang memiliki budi pekerti luhur, tidak menyinggung sesuatu yang mengakibatkan perpecahan melainkan berusaha kepada persatuan. Seorang da’i tidak boleh memperdebatkan hal-halnya sifatnya khilafiyah, menjauhkan dari gejolak perdebatan maka itu lebih baik.

Keteladanan

Keteladanan akan menjadikan dakwah lebih berhasil. Dijelaskan sebuh keteladanan merupakan dakwah yang jauh lebih efektif dari sebuah ucapan yang keluar dari mulut atau sekedar bertutur kata. Untuk itu, seorang da’i dituntut agar senantiasa belajar serta mendidik dirinya sendiri dalam menunaikan perintah agama, taat beribadah, serta fasih mengungkapkan ulumuddin.

Menjaga Diri dari hal-hal yang Kurang Baik.

Baca Juga  Di Tangan Orang yang Terluka, Agama Bisa jadi Alat untuk Balas Dendam!

Seorang da’i harus bertaqwa kepada Allah.   Ia tidak hanya tampak sholeh ketika diatas mimbar saja, melainkan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak berfaidah, kemaksiatan, juga tempat-tempat yang akan mengurangi penghargaan orang kepadanya, sehingga tidak disebut sebagai da’i karbitan.

Menghidupkan Dakwah

Keteladanan dan keluwesan Buya dalam berdakwah bertujuan agar dakwah terus hidup dan tidak mati, bila dakwah hidup maka kaum muslimin akan maju, terus berkembang, lain halnya jika dakwah mati maka akan menjadikan kaum muslimin terpuruk, statis, dan akhirnya mati.

Ditegaskan dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, maka peran sebagai da’i sangatlah dibutuhkan agar dakwah senantiasa hidup kemudian dakwah yang hidup tidak dilakukan tanpa perjuangan dan susah payah namun dilakukan dengan mengorbankan harta, tenaga, pikiran, dan juga Jiwa. Dakwah juga diiringi linangan air mata serta bercucur darah penuh tantangan dan rintangan. Itulah dakwah para Anbiya’ Wal Mursalin.  

Akhirnya kita dapat melihat dan merasakan keteladanan dalam dakwah yang diajarkan oleh Buya Hamka, yakni dakwah yang hidup, dakwah yang tumbuh dan berkembang, serta dakwah yang sejuk menebar kedamaian.

Editor: Soleh

Ikhwan Saifudin
2 posts

About author
Mengajar di Sekolah Muhammadiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *