Perspektif

Agama bagi Masyarakat Sekuler Eropa

3 Mins read

Eropa yang terdiri dari 44 negara yang tersebar di lima wilayah, yaitu Utara, Timur, Selatan, Tengah dan Barat adalah negara-negara maju yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi liberal. Terutama 11 negara di wilayah Eropa Barat seperti Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Swiss,  sangat dikenal dengan ekonominya yang kuat. Praktik demokrasi modern yang dinilai berhasil dan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kondisi negara bangsa yang sangat maju seperti di Eropa Barat, ada diskursus mengenai posisi agama di negara sekuler dan maju.

Sebagian sosiolog agama mengatakan, ketika dampak modernisasi semakin kuat dan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, maka segala persoalan hidup manusia bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Mereka berargumen bahwa hal-hal yang suci tidak lagi diperlukan oleh masyarakat industri. Institusi keagamaan seperti gereja, tidak lagi dibutuhkan. Selain itu, moralitas publik tidak lagi dibentuk oleh nilai-nilai spiritual. Mereka mengatakan bahwa peran agama sudah terpinggirkan dan agama akan hilang. Mereka menyebutnya sebagai the decline of religion. Sementara, teolog menyebutnya dengan the death of God

Pergeseran Pola Keagamaan Masyarakat Sekuler Eropa

Namun, beberapa sosiolog agama dan teolog yang lain seperti Harvey Cox, pengarang buku Religion in the Secular City, mengatakan bahwa agama tidak hilang dari masyarakat sekuler. Bahkan Jose Casanova dalam bukunya Publik Religion mengungkapkan keyakinannya bahwa agama bukan hanya masih ada, tetapi bahkan masih memainkan peran penting di ruang publik dalam kehidupan masyarakat di Eropa.

Mereka berpendapat bahwa yang terjadi adalah adanya pergeseran keagamaan di kalangan masyarakat Eropa yang mengarah pada menguatnya “private religion”, agama yang tidak sepenuhnya kelihatan di ruang publik. Ruang publik agama menjadi hilang dan bertransformasi menjadi private.

Lalu, di mana sebetulnya posisi agama? Agama ada dalam hati orang-orang Eropa. Sensus di Eropa Barat menunjukkan bahwa mayoritas orang Eropa masih percaya Tuhan (sekitar 70-80%), tetapi Tuhan yang berbeda dengan Tuhan yang dikonsepsi oleh Gereja.

Baca Juga  Buya Hamka dan Awka: Sedarah Namun tak Sejalan

Kisah Buya Hamka saat Berkunjung ke Inggris

Dalam konteks posisi agama di tengah masyarakat sekuler Eropa, Buya Hamka pernah bercerita tentang oleh-oleh hasil kunjungan pertamanya ke Inggris pada tahun 1976. Beliau menceritakan salah satu staf KBRI yang menjemputnya, tidak langsung mengantarnya ke KBRI (tempat Buya Hamka akan disambut dan diundang untuk mengikuti acara keagamaan), tetapi mengajaknya berjalan kaki melewati Hyde Park London menuju KBRI.

Beliau berhenti seketika melihat secara langsung sekitar 50-an Muslim sedang shalat berjamah di taman tersebut. Setelah mereka selesai shalat berjamaah & berdoa, Buya Hamka pun kemudian menghampiri mereka dan mengajak mereka berbincang-bincang. Buya Hamka pun kaget mengetahui bahwa 50-an orang ini seluruhnya adalah orang Eropa asli yang muallaf/converts menjadi Muslim. Mereka berpakaian dengan cara Muslim, berbicara dan bersikap dengan adab Islam dan rutin mempelajari dan mempraktikkan ajaran-ajaran Islam.

Selain itu, Buya Hamka juga menceritakan dalam salah satu ceramahnya di masjid Al-Azhar Kebayoran, bahwa sudah ada 20 Mesjid yang terdaftar sebagai tempat ibadah di Inggris saat itu. Itulah pengalaman Buya Hamka 44 tahun yang lalu. Saat ini, Jumlah muallaf semakin banyak, begitu juga jumlah masjid, tidak hanya di Inggris tetapi diberbagai negara di Eropa Barat. 

Tahun-tahun berikutnya sampai saat ini, jumlah populasi muslim yang converts/muallaf di Eropa terus bertambah menunjukkan bahwa agama masih hidup dan dibutuhkan dalam kehidupan orang modern dan sekuler. Ada yang sebelumnya tidak beragama/Atheis dan memutuskan menjadi Muslim, ada juga yang awalnya beragama selain Islam dan kemudian memeluk Islam.

Buya Hamka menyebutnya sebagai bentuk kebosanan orang modern dengan modernitasnya dan dengan sekularitasnya. Sementara Sosiolog agama seperti Cox menyebutnya religious return to the secular city/secular society yaitu kembalinya agama/nilai-nilai ke kota sekuler atau kepada masyarakat sekuler.

Baca Juga  Disrupsi Agama dalam Masyarakat Digital

Agama adalah Fitrah Setiap Manusia

Fenomena kembalinya seseorang kepada agama, sesuai dengan salah satu kandungan Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 30, yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yg hanif, (tetaplah atas) fitrah Allah yang Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah agama yg lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.

Fitrah menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar jilid 7, juz 21, halaman 5476 adalah; “Rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui kekuasaan tertinggi di alam ini, yang maha kuasa dan maha perkasa”.

Pengertian Fitrah ini oleh buya Hamka didasarkan pada ayat 172 surat Al-A’raf: “(Ketika Tuhan bertanya): Bukankah aku ini Tuhan kamu? Semua menjawab: pasti, kami berikan kesaksian”. Kandungan ayat 30 surat Ar-Ruum diatas sejalan dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah: “Setiap orang dilahirkan sesuai dengan fitrahnya”.Fitrah di sini adalah mengakui dan mempercayai adanya kekuatan maha pencipta atau fitrah beragama.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…