FeaturePerspektif

Delusi Kolektif Pasca Pilpres

3 Mins read

Oleh: Hasnan Bachtiar

 

Sekarang ini, saya jadi semakin was-was, karena Pilpres membuat orang-orang terdekat saya menjadi delusif. Mereka kesulitan membedakan mana kenyataan dan mana keinginannya.

Repot sekali mengatasi hal ini. Mirip berhadapan dengan balita yang sedang rewel. Kalau dimarahi teriakannya akan semakin keras. Kalau didiamkan marahnya tak kunjung selesai. Kalau diajak bicara secara halus dan rasional, maunya yang selangit harus dipenuhi. Sepertinya, mustahil membuat deal yang menguntungkan.

Orang-orang di kantor tampaknya biasa-biasa saja. Mondar-mandir dan sibuk pada pekerjaannya. Tetapi begitu memainkan ponselnya, maka watak aslinya keluar. Antara pendukung paslon 01 dan 02, persis seperti “Tom & Jerry”. Mereka sangat erat. Sayangnya dalam tensi dan konflik.

Di toko-toko, di warung-warung makan, warung kopi, pusat perbelanjaan, alun-alun, trotoar, parkiran dan bahkan di sudut tempat pembuangan akhir (TPA) yang pesing, orang-orang seperti kesetanan membicarakan siapa yang paling benar dan harus menang setelah coblosan selesai. Bualannya berbau busuk, tak kalah dengan kencing kuda yang paling pesing sekalipun.

Di rumah, untung saya hanya berhadapan dengan isteri yang sangat lemah lembut dan anak yang “gak respek” dengan urusan politik. Isteri saya lebih suka berlama-lama bereksperimentasi di dapur dan menghabiskan waktunya membaca buku, sementara anak lelaki saya berusia 3 tahun, gemar bermain lego. Kalau isteri saya menyinggung masalah pilpres, saya segera pergi ke kamar dan pura-pura tidur. Atau, saya segera ke toilet pura-pura mules, padahal saya di sana membaca buku.

Bapak, ibu dan saudara-saudara saya pecah kongsi. Tentu akan tegang jika ada yang menyulut api dengan menyinggung masalah kemenangan, quick count, real count, KPU, kecurangan dan people power. Lucunya, pembicaraan mereka mengenai kedua belah kontestan politik (01 vs 02), seperti hoax melawan hoax. Apa yang mereka yakini, bahkan haqqul yakin adalah benar, sebenarnya sekedar hoax murahan. Maklum, mereka memang tidak berpendidikan, tak punya bekal literasi politik, apalagi literasi kritis.

Baca Juga  Adzan Jihad: Waspada Penunggang Gelap Agama

Bapak saya adalah seorang Muslim yang taat, tapi mudah termakan hoax yang disebarkan kawan-kawannya di masjid. Ekspektasinya agar Prabowo Subianto menjadi presiden begitu tinggi. Merasuk sampai ke ubun-ubun.

Di televisi, menurut hasil quick count, Jokowi yang menang. Tetapi karena hasil quick count itulah, Prabowo sudah tiga kali mengumumkan kemenangannya sendiri dengan antusiasme yang tinggi. Mungkin kalau mengumumkannya lima kali, akan dapat piring cantik dari perusahaan detergen. Namun, bapak saya yakin, Prabowo adalah pejuang Muslim, jihadis yang paling nyata dan merupakan juru selamat keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Jadi, baginya, Prabowolah pemenangnya. Itulah narasi super hoax yang ia dapatkan di dunia permasjidan.

Sementara ibu saya, tidak suka jika suaminya seperti kehilangan akal sehat ketika mendukung salah seorang pemain politik tertentu. Baginya pemimpin itu bukan pemarah seperti bapak saya, dan tentu saja, seperti Prabowo. Karena Jokowi tampak sabar, tenang, santai dan bukan tentara, maka Jokowi adalah satu-satunya orang yang paling pantas menjadi pemimpin negeri ini. Ia, ibu saya, tidak berani mengatakan hal ini, kecuali sembunyi-sembunyi kepada saya atau kawannya di dapur yang sehari-hari membantunya memasak.

Sayangnya keinginannya agar Jokowi menjadi pemenang pilpres, berlatar tekanan psikologis yang bertahun-tahun dijumpainya ketika berkeluarga. Jadi ketika memilih Jokowi, ibu saya hanya mengedepankan perasaannya, bukan rasionalitas politiknya.

Sementara itu saudara-saudara saya, pemilih Jokowi yang fanatik. Jika bukan kelompok 01, maka akan dianggap sebagai pembela Islam garis keras, penghasut, pengafir, sengkuni, fasis dan sederet istilah yang didapatkannya dari kampanye negatif, kampanye hitam dan kampanye jahat lainnya. Jika mereka sudah bertemu dengan ibu saya, yang mereka bicarakan sebagai rasan-rasan adalah bapak saya, Prabowo dan Jokowi. Jadi dalam perbincangan mereka, bapak saya sudah selevel para capres negeri ini.

Baca Juga  Tidak Ada Alasan bagi Kita untuk Menyalahkan Agama Orang Lain!

Suatu ketika mereka menonton tv bersama-sama yang menayangkan acara perdebatan di antara para pendukung 01 dan 02. Ternyata perdebatan ini berlanjut di ruang tamu rumah saya. Akibatnya, perang dunia ketiga tak bisa dihindari lagi. Ketegangan berimplikasi pada pemotongan uang belanja, persenan lebaran, dan bahkan subsidi cicilan bank. Yah, beginilah, akibat Prabowo tak jadi menang, bapak saya jadi sering murung dan emosional. Sebaliknya, ibu dan saudara-saudara saya menjadi orang-orang yang bahagia melihat orang lain susah.

Ketika saya sendiri membuka hp, khususnya aplikasi WhatsApp, grup-grup “terpelajar” yang kuikuti cenderung membuat suasana semakin keruh. Mungkin, itulah sebenarnya sumber kekeruhan yang paling utama. Isinya, tidak jauh beda dengan apa yang diperdebatkan bapak, ibu dan saudara-saudara saya.

Saya pikir, para sarjana dan intelektual akan berbeda dengan para tukang dagang sapi di gedung parlemen. Tapi ternyata, penyakit delusi yang menjangkiti para politisi juga menular ke mereka, orang-orang pintar. Gara-gara delusi inilah, orang bisa menjadi bodoh kuadrat seketika, ketika memainkan ponsel pintarnya.

Yah, inilah keluh kesah saya mengenai pilpres kali ini. Ketika asik membaca buku di toilet, saya merenung: “Kapan kita ini tersadar dari delusi kolektif ini? Yang namanya politik, hanyalah sekedar permainan belaka. Tidak lebih. Permainan ini hanya dimainkan oleh para elit politik, bukan rakyat biasa. Jelas, bukan bapak, ibu, dan saudara-saudara saya. Mereka hanyalah ‘yang dipermainkan’ untuk urusan orang-orang yang haus kekuasaan.”

Baik Prabowo atau Jokowi sebagai pemenang pilpres, bukanlah itu yang penting buat saya kali ini. Tapi tetap sehat, waras dan tidak mengidap delusi kolektif. Demokrasi bagi saya bukan sekedar soal mewujudkan kemerdekaan sosial yang berkeadaban (civil liberty), tapi juga kebahagiaan perorangan.

Baca Juga  Nikon Just Released Some Terrible Financial Results

Demikianlah, akhirnya, bagaimana dengan keluarga para pembaca di rumah? Apakah senasib dan sepenanggungan seperti yang saya alami? Kalau iya, marilah kita bersabar sampai KPU mengumumkan hasil penghitungan resminya pada 22 Mei mendatang. Semoga tetap waras dan tidak ikut menjadi gila (delusif).

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *