Salah satu noktah kritik Ernest Renan yang diajukan kepada Syeikh Muhammad Jamaluddin Al-Afghani dalam debat di Universitas Sorbonne pada 1883 adalah bahwa semenjak filsafat dan filosofnya dibenci dan dipersekusi, dunia Islam tenggelam dalam buritan peradaban. Afghani menerima kritik itu, sembari menyatakan juga bahwa dunia Kristen Barat pun pernah mengalami kegelapan akibat persekusi Gereja. Dalam balasannya, Renan yakin Islam dan peradabannya akan gemilang, jika tradisi berpikir ilmiah dan bebas di kalangan Muslim disemarakkan kembali. Afghani sependapat.
Seratus tahun kemudian, dunia Islam yang diimpikan oleh Afghani melalui gelora Pan-Islamisme, baru berhasil lepas dari kolonialisme-imperialisme militer. Namun, secara substantif, penyelenggaraan kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan tetaplah tak berubah: terjebak pada ambivalensi masa lalu dan masa kini. Agama-agama sekular yang tumbuh dari elan vital dan habitus Barat menyeruak berpuak-puak. Sedangkan, ideologi dan utopia agama Abad Pertengahan makin memperkuat tumbuhnya irasionalitas dan konservatisme.
Dunia Islam pun jatuh dalam paradoks hebat. Ia menekuri takdir peradaban “kaum pecundang”, terjebak romantisme. Ia mensakralkan dokumen, korpus, dan narasi yang kesahihan historisnya masih diperdebatkan. Sakralisasi pada manuskrip dan imajinasi lama itu, tampaknya, warisan dari persekusi dan kebencian pada filsafat. Islam hadir ke Indonesia, sayangnya, saat obor ilmu pengetahuan dan filsafat itu telah padam. Yang tersisa adalah residiu konflik teologi-politik dan mistisime. Di sisi lain, Eropa tobat mempersekusi para cerdik pandai, dan mulai mengapresiasi obor pengetahuan dan filsafat, termasuk berguru dan meneruskan tradisi filsafat Islam.
Pelajaran Filsafat di Perancis
Napoleon Bonaparte, paham betul bahwa kebebasan berpikir dan berpikir ilmiah bisa diraih melalui pendidikan dan pembelajaran filsafat sejak dini. Inilah kunci keberjayaan Andalusia Islam selama ratusan tahun. Karena itulah, setidaknya, sejak Revolusi Perancis 1789 dan masa Premier Empire, yakni masa Bonaparte memerintah Perancis 1804-1814, filsafat merupakan mata pelajaran wajib di pendidikan menengah atas dan universitas. Di Perancis, pelajaran Filsafat diajarkan di kelas satu (secondaire) dan kelas dua (première) SMA dengan mata pelajaran lain seperti Sains, Matematika, dan Ekonomi. Filsafat berfungsi menjelaskan perkembangan disiplin tersebut secara lintas disiplin. Ia diujikan di kelas terminale (kelas tiga) SMA dalam Ujian Nasional SMA (baccalauréat).
Jika dibandingkan dengan negara Eropa lain, di Perancis, pelajaran filsafat di SMA adalah sesuatu yang unik. Meskipun menjadi mata pelajaran di SMA, filsafat tidak dijadikan bahan ujian akhir di Italia, Spanyol, dan Portugal. Di negara-negara ini, kecuali Portugal yang hampir mirip dengan Perancis, pelajaran filsafat diajarkan dalam konteks pelajaran Sejarah Pemikiran, Sejarah Filsafat, atau Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan di Jerman, Swiss, Swedia, dan Polandia, filsafat hanya diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan di mana peserta didik yang telah berusia 14 tahun wajib memilih antara Filsafat atau Agama. Di Inggris dan Amerika Serikat serta negara Anglo-saxon lainnya, filsafat tidak diajarkan di sekolah menengah atas.
Di Timur Tengah dan Afrika Utara, pelajaran filsafat juga tidak diajarkan di sekolah menengah atas, kecuali di negara bekas jajahan Perancis seperti Aljazair dan Maroko. Di kedua negara Arabo-francophone tersebut, pelajaran filsafat telah diajarkan di sekolah menengah atas dalam bahasa Arab sejak tahun 1960. Di Indonesia, filsafat masih menjadi disiplin yang belum diminati, apalagi dikaji secara sistematis dalam satuan pendidikan menengah. Filsafat baru diajarkan secara khusus di fakultas filsafat atau jurusan ilmu sosial humaniora terkait di perguruan tinggi negeri maupun agama. Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh anggapan bahwa kontribusi filsafat bagi kemajuan peradaban dan kemajuan suatu bangsa masih minim, bahkan sebaliknya.
Belajar Mandiri dan Berpikir Kritis
Pendidikan dan pengajaran Filsafat di SMA ditujukan untuk mengasah kemampuan siswa dalam menyampaikan pendapat secara bebas. Prinsip ini diwarisi dari semangat pencerahan yang ditandai dengan kebebasan pendapat (liberté d’expression). Pelajaran ini tidak dimaksudkan untuk mendidik siswa menguasai pernak pernik sejarah, deretan daftar para filosof dan pemikirannya secara historis dan ensiklopedis. Tetapi, Filsafat memberikan cara yang tepat dan terarah kepada siswa didik untuk memiliki kemampuan mengeskpresikan pendapatnya secara bebas dan kritis, memiliki kematangan diri dan kemandirian serta tanggung jawab intelektual.
Pendidikan dan pengajaran Filsafat di SMA memiliki tujuan untuk, pertama, membentuk kemampuan diri siswa dalam menyampaikan pendapat secara bebas dan menjadi warga negara yang tercerahkan dan manusia merdeka. Kedua, tidak menjadikan siswa mempunyai pengetahuan ensiklopedis tentang filsafat dan menjadi pakar filsafat. Ketiga, memberikan pendidikan dasar kepada siswa untuk memiliki kemampuan menalar dan refleksi yang matang. Keempat, mendorong siswa dapat menyampaikan pendapat dan gagasannya secara bebas.
Untuk itu, mata pelajaran filsafat diajarkan untuk mengenal bagaimana proses pemikiran filsafat dan karya-karya para filosof itu lahir dan terbentuk. Bagaimana masalah-masalah filosofis dapat dipecahkan oleh para filosof. Dalam hal ini, filsafat mengajak guru dan murid sama-sama belajar metodologi berpikir dan menyampaikan pendapat secara bebas. Bukan mempelajari pemikiran filsafat secara ensiklopedis dan menguasai sejarah dan tahapan perkembangan setiap pemikiran filsafat dan para filosof seperti di mata kuliah filsafat di perguruan tinggi negeri.
***
Filsafat diajarkan melalui serangkaian program yang telah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Pemuda Perancis. Siswa belajar filsafat melalui tiga perspektif filsafat (manusia dan budaya, moral dan politik, dan ilmu pengetahuan), kemudian siswa diwajibkan untuk mempelajari daftar gagasan atau pemikiran filsafat, daftar karya-karya filosof, dan juga kata kunci filsafat. Guru bebas memilih dan menentukan subyek atau tema pemikiran apa yang diajarkan kepada siswa, selama tetap merujuk pada daftar pemikiran dan karya yang telah ditetapkan. Karena itu, guru filsafat memiliki kebebasan pedagogis dalam memilih metode dan materi pembelajarannya, disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa.
Guru Filsafat memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengawal proses dan perkembangan siswa dalam belajar dan tercapainya tujuan pendidikan Filsafat. Karena itu, guru dituntut untuk aktif mendampingi siswa, memberi tugas mereka, mengevaluasi dan memberikan catatan atau koreksi dan penilaian yang membuat siswa termotivasi untuk mengembangkan kemampuan refleksi personal dan mengutarakan pendapat dan pemikirannya. Dengan demikian, guru mempersiapkan siswa untuk mengikuti ujian akhir dan mempersiapkan mental mereka untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Akhirnya, menimbang fungsi filsafat itu penting untuk membekali siswa didik cara berpikir konseptual, kritis, dan mendalam terhadap fenomena alam dan sekitarnya, perlukah pelajaran filsafat ala Indonesia diajarkan di sekolah publik dan swasta, madrasah, pesantren, dan sekolah Islam? Sekali lagi, pelajaran filsafat ini dimaksudkan untuk membekali siswa didik metode berpikir kritis dan rasional dalam mencapai kematangan intelektual dan kemandirian diri. Tentu saja, materi pelajarannya dapat disesuaikan dengan sejarah filsafat dan pemikiran yang berkembang secara khas di Indonesia.
***
Harapan mulianya, dengan filsafat, generasi muda Indonesia dapat menghadapi dan memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan sangkil dan mangkus. Lebih dari itu, mereka tak akan mudah dikotakkan dalam sekat-sekat dehumanisasi sosial dan politik. Misalnya ujaran “cebong dan kampret” atau sebutan tak manusiawi lainnya. Ia juga diyakini dapat membebaskan mereka dari jebakan kabar palsu yang menjual irasionalitas dan baju besi konservatisme dalam berpolitik dan beragama.
Wallahu a’lam – Allah Mahatahu
Editor: Yahya FR