Falsafah

Filosofi tentang Manusia dan Kebebasan

5 Mins read

Manusia adalah makhluk istimewa. Ia diberikan kebebasan untuk hidup di dunia sama dengan makhluk lain. Tapi yang membedakannya, ia memiliki akal budi atau rasio. Akal budi inilah yang dipakai manusia untuk memaksimalkan kebebasannya, berbeda dengan makhluk lain.

Begitu hebatnya rasio, hingga kebebasan yang dimiliki manusia dapat membuat kehidupan di alam semesta menjadi sangat maju selama jutaan tahun lalu hingga sekarang, dan juga sekaligus hancur karena ulah manusia sendiri. Rasio dan kebebasan tidak selalu menjadi kombinasi yang membawa kebaikan. Apa masalahnya?

Kehendak Manusia akan Kebebasan

Menurut Louis Leahy, sebagian besar manusia percaya bahwa mereka dilengkapi dengan kehendak bebas. Keyakinan itu sangat penting bagi hidup manusia. Jika diasumsikan bahwa dunia ini koheren dan konsisten makan pandangan sebagian besar umat manusia itu tidak mungkin keliru. Jadi, manusia memiliki kehendak bebas.

Menjadi manusia bebas bukan seperti burung yang dapat terbang ke manapun ia inginkan. Manusia bebas diartikan ia tidak terikat seperti seekor kuda terikat di kandang. Manusia bukan burung namun juga bukan kuda. Ia tidak selamanya bebas terbang mengikuti insting lapar atau untuk melampiaskan seks. Namun, ia juga tidak selamanya terikat di dalam kandang. Tidak mampu mengungkapkan kehendak, berdasarkan kebutuhan dan keinginannya, baik jasmani maupun rohani.

Saat manusia lahir, ia belum sadar bahwa ternyata ia memiliki kebebasan. Pemahamannya tentang kebebasan juga belum ada. Semakin manusia tumbuh inteleknya, ia sadar bahwa ada suatu tindakan dalam dirinya yang dijalankan oleh suatu dorongan, terutama jika sudah terkait dengan kebutuhan dengan keinginan. Saat ia lapar atau haus, manusia yang mulai berangkat dewasa tersebut tahu bahwa ia bebas untuk makan dan minum, seberapa banyak, selama makanan atau minumannya tersedia.

Kesadaran tersebut semakin mewujud seiring berjalannya pengalaman dalam hidupnya bertambah. Pengaruh budaya dan tempatnya besar juga berperan dalam kesadarannya tentang kebebasan. Kebebasan mulai dapat dipahami oleh akal budi.

Alasan Manusia Diciptakan Bebas

Manusia terlahir memang dalam keadaan bebas. Ia diberikan Sang Pencipta secuil atribut-Nya. Sang Pencipta tentunya memiliki kebebasan absolut terhadap apapun dalam dunia ini. Ia bebas mencipta, ia bebas berada ataupun tidak berada di mana Ia berkehendak, ia bebas memberi hidup seluruh makhluk, ia pun bebas mengambil kembali apa yang Ia sudah berikan, termasuk nyawa makhluk hidup.

Baca Juga  Poin Kebahagiaan Stoikisme dan Imam Ghozali

Manusia diciptakan-Nya. Tidak sekadar diciptakan, namun saat hidup di dunia, manusia diberikan kebebasan untuk mengelola dunia tempat hidupnya. Pengelolaan dunia membutuhkan suatu kebebasan. Jika manusia terikat, tidak bebas, tidak mungkin ia dapat leluasa mengelola dunia ini. Kepercayaan-Nya pada manusia begitu besar. Salah satu kemampuan-Nya rela diberikan pada manusia.

Mengapa? Tentunya bukan demi kepentingan Sang Pencipta. Ia tak punya kepentingan tapi justru demi kebaikan alam semesta, termasuk manusia itu sendiri.

Dalam tingkatan yang paling dasar, kebebasan bagi manusia hanyalah berupa kodrat untuk memenuhi hawa nafsu dan kebutuhannya saja. Tidak berbeda jauh dengan binatang yang bebas untuk terbang, berjalan, berlari, berburu demi kepentingan jasmaninya. Dalam tingkatan ini, manusia bergerak berdasarkan nafsu kodrati.

Dalam tingkatan berikutnya, manusia mulai menggunakan akal budinya, tidak hanya mengandalkan nafsu kodrati tadi. Manusia sadar sepenuhnya bahwa ia bebas dan juga punya kebutuhan dan keinginan. Manusia di tingkatan ini juga sadar bahwa ia bebas karena adanya pilihan. Ia bebas memilih apa yang mampu menjawab keinginan dan kebutuhannya dan juga memilih bagaimana caranya.

Dalam tingkatan ini, kebebasan masih menjadi panglima. Artinya, manusia secara sadar terus memaksimalkan kebebasan yang sudah dimiliki dari lahir. Dengan adanya banyak pilihan, baik yang disiapkan oleh alam semesta maupun bentukan manusia, manusia akan merasa sangat bebas.

Tahap Berikut Kebebasan Manusia

Baru pada tingkatan berikut, manusia tidak hanya sadar akan kebebasannya, namun ia pun mulai menyadari bahwa adanya suatu tanggung jawab yang lahir bersama kebebasan. Bahwa kebebasan tidak lahir sendiri, ia ditemani oleh saudaranya, yaitu tanggung jawab. Mereka berdua adalah saudara yang kompak. Mereka selalu hadir dan hinggap di tiap tindakan manusia bersama-sama.

Mereka bukan seperti malaikat baik dan malaikat jahat dalam diri manusia yang selalu bertempur dalam diri manusia dalam menentukan tindakan baik atau buruk. Mereka memiliki koherensi, yang tak terpisahkan. Jika ingin kebebasan, otomatis bersiaplah untuk bertanggung jawab. Jika tidak siap akan tanggung jawabnya, kendalikanlah kebebasan dan pilihan yang sudah dimiliki dan tersedia tersebut.

Di tingkatan puncak, manusia sudah tidak butuh kebebasan untuk menjalankan kehendaknya. Manusia sudah terbebas dari dirinya sendiri, namun ia semakin terikat dengan Pencipta-nya.

Baca Juga  Hijrah yang Islami: Hijrah dari Keburukan Menuju Kebaikan

Kebebasan pada manusia yang sudah terberi dari lahir juga memiliki tanggung jawab dalam menjalankannya secara praktis. Tanggung jawab pada siapa dan untuk apa. Kepada siapa yang secara rasional kita perlu bertanggung jawab?

Tentunya kepada yang memberikan kebebasan. Yang sudah meminjamkan manusia suatu kebebasan dari lahir, Yang Maha Membebaskan. Bertanggung jawab karena manusia sudah diberikan suatu alat imaterial untuk merawat kehidupan antar sesama makhluk. “Alat” yang juga menjadi bagian dari ciri atribut-Nya.

Hubungan Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan yang diberikan pada manusia bukan sesuatu yang gratis. Dalam istilah ilmu ekonomi, adalah barang publik (public goods) seperti air, tanah, udara, dan bahkan dalam paradigma bisnis, termasuk hutan, sehingga sesuka hati dieksploitasi. Kebebasan di dalam diri manusia merupakan ‘jalur’ untuk mencapai suatu kebaikan bagi seluruh alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.

Kebaikanlah yang dituju dengan menggunakan ‘jalur’ kebebasan. Sekali lagi, bukan kebaikan untuk masing-masing individu atau bahkan bukan hanya untuk manusia namun semua makhluk di alam semesta. Manusia bertanggung jawab untuk dapat memanfaatkan kebebasan yang sudah diberikan dalam mencapai kebaikan bersama.

Jika kebebasan dan tanggung jawab memiliki koherensi, berarti kebebasan dan tanggung jawab berada pada ‘jalur’ yang sama. Meski kebebasan dan tanggung jawab berada pada jalur yang sama dan lahir bersamaan, namun siapa lahir lebih dulu? Kebebasan dan tanggung jawab sebagai suatu ‘ada’, ia lahir bersamaan dengan manusia ke dunia karena mereka adalah ‘kanan’ dan ‘kiri’.

Meski begitu, manusia belum langsung sadar bahwa ia memiliki kebebasan, sebuah “alat” imaterial yang dipinjamkan Tuhan untuk dimanfaatkan demi kebaikan alam beserta isinya saat lahir hingga waktu tertentu. Baru pada saat manusia sadar akan adanya kebebasan, barulah tanggung jawab mewujud. Kesadaran manusia akan kebebasan mewujud terlebih dahulu, meski sebenarnya ia membawa tanggung jawab bersamanya.

Manusia secara sadar lebih memanfaatkan kebebasan dibanding menyadari akan adanya tanggung jawab. Kebutuhan dan keinginan jasmaniah dan rohaniah secara alami membuat manusia menikmati kebebasan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Sayangnya, sering kali manusia tak sadar bahwa tanggung jawab juga selalu berdampingan sebagai ‘ada’ dengan kebebasan.

Baca Juga  Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

Kesalahan Manusia dalam Berperilaku Bebas

Yang mencemaskan, mengapa ternyata manusia seringkali tidak tepat dalam menempatkan kebebasan? Problematika yang sering terjadi, tidak selalu tentunya, adalah pertama, pemanfaatan kebebasan tanpa ingat akan tanggung jawab oleh manusia.

Kedua, manusia sering lupa, atau mungkin saja tidak sadar, bahwa kebebasan yang ia miliki adalah alat imaterial yang dipinjamkan Tuhan untuk dipakai dalam rangka menciptakan kebaikan bagi sesama manusia dan alam keseluruhan.

Kebebasan berekspresi’ akan dicoba untuk dijadikan contoh menjelaskan problem di atas. Suatu pikiran atau ide yang ingin diekspresikan melalui berbagai cara dan media tentu tidak menjadi masalah. Itu adalah salah satu bentuk kebebasan. Tidak jadi masalah jika kebebasan ekspresi itu memang digunakan untuk kebaikan bersama.

Yang menjadi masalah, dan ini sering terjadi, adalah bentuk ekspresi tersebut merupakan ungkapan subjektif dari subjek. Subjek mengekspresikan pikiran atau idenya semata-mata berdasarkan pada apa yang ia rasakan atau dirasa perlu untuk diekspresikan dengan dilatarbelakangi suatu nilai.

Nilai yang ia percayai tersebut sering kali bertabrakan dengan nilai eksternal, di luar dirinya. Dengan dalih kebebasan, subjektivitas ekspresi ini, yang dapat mencederai nilai-nilai eksternal tadi, terabaikan atau bahkan diabaikan.

Ekspresi, yang keluar dari diri subjek, lahir dari kebebasan. Sehingga, otomatis ekspresi itu juga akan terdampak oleh tanggung jawab. Tanggung jawab dari buah ekspresi haruslah mengikat dengan syarat kebaikan bersama. Bukan lahir dari kebebasan tanpa tanggung jawab dan bebas nilai.

Karena nyaris tidak mungkin suatu ekspresi lahir tanpa nilai dari subjek pembuatnya. Jika nilai yang imanen dari buah ekspresi tadi bertabrakan dengan nilai-nilai eksternal di masyarakat, maka konflik pasti terjadi.

Menjadi Makhluk Bebas

Menyadari bahwa kebebasan selalu hidup berdampingan dengan tanggung jawab perlu untuk selalu diingat dan dijalankan. Manusia memiliki intelek atau akal sehat yang dapat digunakan dalam menjalankan kebebasan bersamaan dengan tanggung jawabnya.

Hingga suatu saat nanti dalam kehidupannya, manusia mampu sampai pada suatu kebebasan yang membebaskannya dari dirinya sendiri. Dirinya yang tidak lagi menginginkan apapun, yang hanya membutuhkan sekadarnya untuk bertahan hidup. Kecuali bebas dari Yang Maha Membebaskan. Sehingga sempurna menjadi makhluk bebas.

Editor: Zahra

Arindra Karamoy
3 posts

About author
Alumnus Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Dosen Universitas Multimedia Nusantara.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds