Falsafah

Akal Membedakan Manusia dengan Makhluk Lain

2 Mins read

Oleh: KH Mas Mansur

Sebuah perumpamaan: di sana, di dalam suatu lapangan aku sedang melihat dua makhluk yang berlainan. Yang satunya manusia dan yang satunya lagi binatang. Keduanya sama-sama sedang makan. Kulayangkan pandanganku yang sepintas lalu kepada kedua makhluk tadi.

Ah, seakan-akan keduanya tak berbeda. Yang satunya makan rumput dengan mengunyah-ngunyah makanan itu. Setelah kenyang, ia pun berhenti. Yang satunya pun demikian pula, ia makan sebuah pisang dan dikunyah-kunyahnya. Dan setelah kenyang, ia pun berhenti pula.

Kemudian aku pun mengambil sebuah senapan. Aku tembak kedua makhluk tadi,  tar… tar... Keduanya sama rebah dengan terguling, tak bernyawa lagi. Kembali kuperhatikan, tapi… Ah, tak berbeda kedua-duanya. Sama-sama mati dan kehilangan roh.

Kalau kita lihat perumpamaan di atas, maka seolah-olah timbul dalam hati kita bisikan yang mengatakan bahwa manusia dan binatang itu tak ada perbedaannya. Akan tetapi, bilamana kita perdalam penglihatan kita, memperhatikan pada kehidupan dua makhluk tadi, maka barulah kita ketahui bahwa yang menjadi perbedaan antara keduanya (manusia dan binatang) hanyalah “akal.” Hal ini dapat kita buktikan setelah kita lihat bahwa binatang tadi dapat ditarik dan hidup diperintah oleh manusia ke sana kemari menurut kehendak hatinya. Hidupnya pun begitu saja, tak berubah-ubah, semenjak dari dahulu kala sampai sekarang ini.

Tapi, bila kita lihat kehidupan manusia, kita sendiri merasa kagum. Bagaimanakah ia dapat menundukkan makhluk yang lain yang lebih besar, jauh lebih kuat daripadanya? Bagaimana ia dapat mendirikan gedung-gedung yang besar tinggi, yang mana kalau dilihat dari kekuatannya saja tak akan dapat ia mengadakan yang demikian itu? Ba­gaimanakah ia dapat mengubah-ubah dan mempergunakan segala macam benda yang keras dan lembek, diperintahkannya, disuruhkannya berjalan, berlari, terbang, dan lain-lainnya?

Baca Juga  Syah Wali Allah: Akal dan Nalar untuk Ijtihad

Semuanya, kalau dipandang dari ukuran tubuh dan kekuatannya, manusia tak akan dapat mengadakan yang demikian itu. Akan tetapi, rupanya di balik itu ada suatu suatu rahasia yang tersimpan. Rahasia yang dapat menimbulkan kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa untuk memerintah dan menundukkan makhluk dan benda yang di alam ini. Rahasia mana tak lain dari “akal.”

Karena akal tadi yang dari hari ke hari semakin tajam, mengeluarkan kekuatan yang tak sedikit dari zaman ke zaman. Akal semakin kuat menimbulkan kekuasaan manusia melebihi kekuasaan lain-lain makh­luk. Maka manusia yang berakal inipun makin lama makin memuncak naik ke alam kecerdikan. Ia mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga segala makhluk yang melata di atas dunia ini, dari kecil sampai yang sebesar-besarnya, semuanya tunduk dan bertakluk di bawah kekuasaannya.

Jadi, seumpama manusia ini hidup dengan tak mempunyai akal, tentu tak ubahnyalah ia dengan binatang. Kekuatan dan kecerdikannya hanyalah menurut kadar ukuran tubuh dan keadaannya, tak akan bertingkat-tingkat dan naik menurut aliran masa dan peredaran alam.

Akan tetapi, setelah ia dihinggapi oleh tetesan akal, maka ia pun mempunyai kesanggupan yang luar biasa menerima bumi ini dan menundukkan isi-isinya turut di bawah perintahnya. Sebab, kalau dilihat dari ukuran tubuhnya tak akan sanggup ia berakal demikian, karena beberapa makhluk yang lain yang lebih besar daripada dia dan lebih kuat daripada dia tentu dapat mengalahkan dan menundukkannya, sebagaimana gajah, harimau dan lain-lainnya. Sekarang, dengan akal ia dapat menghadapi semuanya, walaupun bagaimana besar dan kuatnya itu binatang.

Dengan hal demikian, maka nyatalah bagi kita tentang perbedaan manusia dan binatang ialah akal. Akal yang disimpan oleh ruh. Tentang jisim-nya tak adalah bedanya. Demikian pun hidupnya sama-sama hidup. Sama-sama punya ruh. Hanya saja, ruh manusia itu menyimpan rahasia, yakni akal. Sedang ruh binatang kosong, tak ada apa-apanya. Maka dengan akal itulah manusia berjuang menundukkan isi bumi ini.

Baca Juga  Jean Paul Sartre: Manusia lah yang Menentukan Takdirnya Sendiri, Bukan Tuhan
Disusun oleh M. Arsjad Al-Donggalawy
Sumber: Adil no. 31 Tahun VIII/4 Mei 1940
Editor: Arif
Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *