Jika ditanya tentang Turki, pasti sebagian besar orang di Indonesia akan mengenal sosok penting di negeri tersebut, yaitu Receb Tayyip Erdogan atau biasa dikenal dengan Erdogan. Dia adalah sosok yang berhasil mengubah Turki yang awalnya sebagai negeri sekuler, menjadi sangat religius. Namanya makin tersohor di Indonesia, dan mungkin penjuru dunia Islam, ketika ia berhasil mengembalikan Museum Hagia Sophia menjadi masjid.
Tapi yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia adalah, bersamaan dengan menguatnya rezim Erdogan, dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party), tren menjadi ateis juga marak terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Turki, Negara Muslim yang Sekuler
Saya yakin masih banyak orang di luar sana yang salah mempersepsi bahwa Turki adalah negara Islam. Hal itu karena benderanya yang bergambar bulan sabit dan bintang, yang jamak diketahui sebagai simbol Islam. Padahal nyatanya Turki, sebelum Erdogan, adalah sebuah negara yang sekular dan secara aktif menjauhkan agama (Islam) dari ruang-ruang publik.
Sejarah awal sekularisme di Turki dapat dirunut pada kebijakan Tanzimat yang dilakukan oleh Kesultanan Utsmaniyah di tahun 1839. Dan menjadi lebih tegas di tahun 1928 ketika prinsip laicite diperkenalkan saat amandemen Konstitusi tahun 1924, yang menghapus ketentuan bahwa “Agama Negara adalah Islam”, dan kemudian reformasi yang dilakukan oleh presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Pasya (Atatürk) untuk menciptakan negara yang modern, demokratis dan sekular.
Tujuan dari penerapan sekularisasi Turki, selain untuk mengubah sistem politik, juga untuk memperbarui aspek sosial dan budaya masyarakat Turki yang didominasi dengan takhayul, dogma, dan kebodohan yang kebanyakan disebabkan oleh doktrin-doktrin agama yang berkembang di penjuru negeri Turki. Bagi Atatürk, jalan terbaik untuk memodernisasi Turki, adalah dengan menjauhkannya dari agama (Islam) yang dirasa telah membelenggu.
Pemerintahan Erdogan dan AK Party
Semuanya berubah saat Erdogan dan AK Party menguasai politik Turki. Secara perlahan namun pasti Turki menjadi negara yang lebih Islami. Namun di balik itu semua, Erdogan memerintah dengan cara-cara yang represif dan cenderung totaliter.
Terlebih ketika kudeta militer di tahun 2016 berhasil digagalkan oleh pemerintahan Erdogan. Aksi bersih-bersih lawan politik pun dilakukan, dengan dalih menyingkirkan pembangkang negara. Salah satu korbannya adalah seorang aktivis perdamaian dan toleransi beragama Fethullah Gulen. Di mana ia dituduh tanpa bukti sebagai dalang dari kudeta pada tahun 2016 silam.
Guna mengamankan kekuasaannya itu, tak jarang Erdogan melanggar HAM dan bertindak secara represif. Kebebasan pers dikekang, lebih dari 150 ribu PNS, militer, jaksa, dokter, guru, dan polisi, dipecat dengan keputusan darurat tanpa proses hukum yang semestinya. Semuanya dilakukan untuk menyingkirkan pengaruh Fethullah Gulen di Turki.
Tahun 2018 silam Erdogan berhasil merubah konstitusi negara, dan menjadikan Republik Turki yang memakai sistem parlementer, menjadi system presidensial. Hal tersebut menjadikan Presiden Erdogan memiliki kekuasaan yang amat sangat luas, dari sebelumnya yang hanya sebagai simbol negara. Dengan berubahnya sistem pemerintahan Turki menjadi presidensial, kekuasaan Erdogan menjadi makin menguat dan menuju ke arah totaliter.
Walau agama senantiasa digaungkan sebagai alat legitimasi kekuasaan Erdogan dan pertainya, bukan berarti AK Party akan selalu menang dalam setiap kontestalasi politik. Buktinya pada tahun 2019 silam, dalam pilkada di berbagai kota di Turki, Koalisi Kerakyatan yang berhaluan kiri-sekuler berhasil mengalahkan AK Party di berbagai kota. Dua di antaranya adalah kemenangannya di Istanbul dan Ankara. Hal ini tentu saja menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Erdogan yang otoriter itu.
Ketidakpuasan dan Bangkitnya Ateisme di Turki
Politisasi agama yang dilakukan oleh Erdogan dan partainya tidak selalu berakibat baik bagi Islam. Sebaliknya agama yang senantiasa digunakan untuk legitimasi kekuasaan malah melahirkan penolakan yang kuat pada eksistensi agama. Hasil survei yang dilakukan oleh Konda, yang dirilis pada tahun 2019 silam, menyebutkan bahwa masyarakat Turki semakin banyak yang menjadi ateis. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir (di tahun 2019).
Sementara warga Turki yang menyatakan menganut agama Islam dan benar-benar menjalankannya turun dari 55 menjadi 51 persen. Mengingat hingga kini politik Turki masih dikuasai oleh AK Party milik Erdogan, tidak menutup kemungkinan angkanya akan terus meningkat.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa? Statement dari warga Turki yang memilih ateis barang kali bisa menjelaskan alasan mengapa ateisme makin banyak dianut oleh warga Turki.
“Banyak orang yang bertanya pada dirinya. Inikah wajah Islam yang sebenarnya? Karena kalau mengamati perilaku tokoh politik Islam, kelihatan bahwa mereka sekarang mencoba meniru praktik Islam pada masa-masa awal kelahirannya…” ucap Ahmet Balyenez, seorang warga Turki yang sudah 10 tahun memilih untuk menjadi ateis.
Selain itu ahli teologi asal Turki Cemil Kilic, juga memberikan pendapatnya, “Acara shalat besar-besaran sering jadi ajang untuk menunjukkan loyalitas politik kepada kepemimpinan politik. Dan khotbah di masjid-masjid jadi lebih mencerminkan pandangan politik penguasa.”
Bagi Kilic, perkembangan ateisme itu tak lepas dari 16 tahun pemerintahan Erdogan (di tahun 2019). Karena sejak menjadi Perdana Menteri 2014 hingga sekarang menjadi presiden, terjadi kebiasaan bahwa pejabat akan menggunakan agama untuk melegitimasi kekuasaan. Hal itulah yang justru membuat masyarakat mempertanyakan sakralitas agama, dan beberapa malah memutuskan untuk menjadi ateis atau setidaknya deis.
Hilangnya Sakralitas Agama di Turki
Pemaksaan ajaran Islam justru menciptakan resistensi dari berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat menjadi muak dengan pemahaman Islam yang dipaksakan kepada mereka. Upaya Erdogan untuk menjadikan Turki religius malah menuju sebaliknya, pemerintah dan organisasi-organisasi keagamaan malah terkesan merendahkan dirinya sendiri dengan terlibat dalam politik kekuasaan. Sakralitas agama hilang, dan yang tersisa hanya simbolisasi-simbolisasi agama untuk meraih dukungan politik semata.
Sebagai negeri yang juga mayoritas muslim, sedikit banyak kita perlu belajar dari Turki. Jangan sampai agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan semata. Islam harusnya menginspirasi ranah politik untuk melahirkan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran bagi warga negaranya. Bukan malah menjadi jargon-jargon di waktu kampanye saja.
Editor: Zahra