Perspektif

Membela Warga Syiah Sampang

3 Mins read

Sehari setelah dilantik, Menteri Agama Gus Yaqut membuat kebijakan kontroversial, yaitu berencana mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah. Ia mengatakan tidak ingin kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah terusir dari kampung mereka karena perbedaan keyakinan. “Mereka warga negara yang harus dilindungi,” kata Gus Yaqut, Kamis, 24 Desember 2020.

Tentu hal itu melahirkan polemik dari berbagai kalangan umat Islam, terlebih Indonesia adalah tempat bagi populasi muslim Sunni terbesar di dunia. Namun tentu sebagai negara demokrasi, pengakuan terhadap keberagaman haruslah dilakukan. Warga Syiah juga warga negara Republik Indonesia, oleh karenanya ia sama dengan saudaranya, muslim Sunni.

Tidak ada satu pun alasan yang membenarkan tindak kesewenang-wenangan hanya karena ia memiliki perbedaan keyakinan. Dan karena itulah kita harus membela warga Syiah yang terusir dan diperlakukan sewenang-wenang.

Sejarah Syiah di Sampang

Masuknya Syiah di Sampang, dipelopori oleh seorang ulama yang bernama Kiai Makmun. Ia awalnya adalah muslim Sunni yang memutuskan berpindah menjadi muslim Syiah di tahun 1980-an. Alasannya, ia terinspirasi oleh Revolusi Islam yang ada di Iran.

Karena ketertarikannya itu, di tahun 1983 Kiai Makmun mengirim tiga anak laki-lakinya, yaitu Iklil al Milal, Tajul Muluk, Roisul Hukama, dan putrinya, Ummi Hani, ke Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan, yang cenderung pada mazhab Syiah. Kelak anak-anaknya ini akan meneruskan perjuangan Kiai Makmun dalam menyebarkan ajaran Syiah di Karang Gayam.

Pada tahun 2004, sejumlah warga desa yang juga murid Kiai Makmun mewakafkan sebidang tanah untuk mengembangkan pesantren beraliran Syiah yang diberi nama Misbahul Huda. Berbeda dengan sang ayah, Tajul Muluk mengajar dan berdakwah ajaran Syiah secara terbuka dan terang-terangan.

Sikap Tajul yang supel, cekatan, dan tidak bersedia menerima imbalan setiap ceramah, membuat Tajul menjadi kiai muda yang karismatik di Karang Gayam. Dalam waktu yang singkat, hanya sekitar tiga tahun, ratusan warga di Desa Karang Gayam dan di Blu’uren (desa tetangga) telah menjadi pengikut Syiah dan murid Tajul yang setia.

Baca Juga  Bahasa, Canda, dan Kopi Klotok Bersama Buya Syafii

Pengusiran dari Tanah Kelahiran

Setelah Kiai Makmun meninggal Juni 2004, para ulama setempat menentang keras penyebaran Syiah yang dilakukan anak-anak Kiai Makmun. Intimidasi dan kekerasan terhadap komunitas minoritas Syiah Sampang yang dianggap sesat mulai kerap terjadi sejak saat itu.

Pada akhirnya, tuntutan para ulama anti Syiah mengerucut pada dua opsi, Tajul Muluk harus keluar dari desanya, atau Tajul harus keluar dari ajaran Syiah dan berpindah ke Sunni. Karena keyakinannya yang begitu kuat, akhirnya Tajul Malik memilih untuk meninggalkan Karang Gayam yang merupakan tempat kelahirannya.

Sungguh disayangkan, di mana pemerintah Sampang sama sekali tidak mendorong adanya penghormatan dan perlindungan bagi kelompok minoritas Syiah yang tidak berdaya. Sebaliknya, pemerintah justru terkesan mendukung perlakukan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kelompok mayoritas Sunni kepada kelompok Syiah di Sampang.

Membela Mereka yang Terusir

Kita sering kali gagal paham dalam melihat kasus pengusiran warga Syiah yang berada di Sampang. Fokus kita senantiasa ditekankan pada aspek teologis dari warga Syiah. Mereka dituduh sesat, dan bahkan telah keluar dari ajaran Islam (kafir). Hal yang jarang sekali kita pikirkan adalah bahwa mereka juga manusia sama seperti kita, bahkan mereka juga warga negara Republik Indonesia sama dengan kita.

Mereka pun dalam menjalankan agamanya tidak pernah merugikan umat Islam yang lainnya. Lalu mengapa mereka harus dibenci? Mengapa mereka harus dimusuhi bahkan diusir dari tempat kelahiran mereka sendiri?

Apa hanya karena mereka sesat menurut pandangan kita lantas membuat kita berhak untuk merenggut kenyamanan hidup mereka, berhak mengusir mereka, menghancurkan rumah dan tempat ibadah mereka.

Apakah itu yang dikehendaki oleh Allah Swt? Tentu tidak, sebaliknya Allah menghendaki kita untuk berlaku adil dan berbuat baik (An-Nahl: 90). Bahkan kepada kaum yang kita benci sekali pun, kita diperintahkan untuk tetap berlaku adil (Al-Maidah: 08).

Baca Juga  Ternyata Kiblatnya Orang Syiah Juga ke Ka'bah

Dalam kasus pengusiran ini pula pemerintah daerah harusnya bersikap netral, dengan tidak berpihak pada kedua belah pihak yang berkonflik. Pemerintah harus menjadi mediator, yang menjembatani dialog dari kedua belah pihak. Agama itu sakral, ia ada jauh di lubuk hati yang paling dalam bagi tiap pemeluk-pemeluknya, oleh karenanya negara tidak boleh mengganggu kesakralan agama itu.

Negara harus memandang setiap warga negara dengan setara, apapun aliran keagamaannya. Negara jangan mau dijadikan alat oleh kelompok mayoritas untuk menggebuk kelompok-kelompok minoritas, bukankah mereka juga punya hak yang sama sebagai warga negara.

***

Ruang-ruang dialog harus segara dimasifkan, pemahaman akan keterbukaan, toleransi, dan persatuan harus makin giat dikampanyekan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sipil. Negara punya andil paling besar untuk menjembatani dua pihak yang bertikai ini (Syiah dan Sunni).

Oleh karenanya penulis berharap, perkataan Gus Yaqut pada hari Kamis lalu dapat benar-benar dijalankan. Kementerian Agama harus benar-benar menjadi Menteri bagi semua agama, bukan hanya untuk muslim Sunni saja, namun juga untuk muslim Syi’ah yang hidup dan tinggal di tiap jengkal tanah Republik Indonesia.

Editor: Zahra

Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *