Perspektif

Membangkitkan GBHN: Rencana Perubahan ke-5 UUD 1945

4 Mins read

Oleh:Rheza Firmansyah*

Pasca selesianya tahapan Pemilu 2019 kini, MPR mengemukakan gagasan untuk melakukan perubahan ke-5 (kelima) terhadap UUD 1945. Salah satu wacana yang digulirkan yaitu membangkitkan kembali kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

MPR mengusulkan desain baru pengaturan GBHN. Nantinya akan berisi pedoman-pedoman bagi arah pembangunan nasional (Pola Pembangunan Nasional Model GBHN). Gagasan tersebut bertujuan  antara lain: Pertama, menciptakan sistem pembangunan nasional yang lebih konsisten. Karena, pola pembangunan nasional saat ini yang cenderung berubah-ubah sesuai visi, misi, dan arah politik presiden/kepala daerah.

Kedua, untuk menciptakan sistem pembangunan nasional yang berkesinambungan (terintegrasi) antara pusat dan daerah. Namun, gagasan ini masih berupa kerangka besar belum menyentuh aspek teknis pengaturan dan pelaksanaan kewenangan. Jika ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa problem yang berpotensi muncul akibat diterapkannya pola pembangunan model GBHN ini.

Beberapa Problem Penerapan GBHN

Setidaknya terdapat  problem yang berpotensi timbul akibat penerapan pola pembangunan nasional model GBHN ini. Pertama, problem konseptual. Salah satu kritikan MPR terkait sistem pembangunan nasional saat ini adalah tidak adanya konsistensi terkait arah pembangunan nasional. Karena, hal tersebut menyesuaikan dengan kepentingan politik presiden/kepala daerah.

Namun, penentuan arah pembangunan nasional melalui GBHN nantinya juga tidak menjamin terwujudnya arah pembangunan yang konsisten. Hal ini karena pembentukan GBHN di tangan MPR sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa pada saat GBHN itu dibentuk.

Dalil ini dibuktikan dengan komposisi keanggotaan MPR yang didominasi oleh kekuatan politik (political representation). Hanya 1/3 keanggotaan MPR yang mewakili kekuasaan non-politik melalui DPD (teritorial representation)  sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 22D ayat (2) UUDN RI 1945.

Kemudian dari aspek otonomi daerah juga dapat menimbulkan persoalan disintegrasi antara pusat dan daerah. Besarnya dominasi politik dalam pembentukan GBHN mengakibatkan tersisihnya kepentingan daerah. Yakni kepentingan daerah yang tidak berkesesuaian dengan kepentingan mayoritas politik di MPR.

Baca Juga  Bagaimana Al-Qur'an dan Filsafat Merespon Fenomena Bunuh Diri?

Terlebih lagi, pembentukan GBHN murni menjadi kewenangan tunggal MPR. Kondisi ini juga dapat menciptakan pemusatan kekuasaan di tangan MPR. Sehingga mengingkari prinsip checks and balances. Yang mana, menjadi bangunan dasar hubungan antar kekuasaan negara di Indonesia pasca reformasi.

Kedua, problematika yuridis. Pengaturan GBHN nantinya harus dituangkan dalam suatu produk hukum tertentu. Produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh MPR saat ini hanyalah Ketetapan MPR (Tap MPR, lihat UU No. 12 Tahun 2011). Namun, politik hukum amandemen UUD 1945 telah merubah kewenangan MPR. Sehingga tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Tap MPR yang bersifat mengatur (regeling).

Padahal, sebagai pedoman arah pembangunan nasional, GBHN nantinya haruslah memiliki daya ikat secara umum. Mengapa? agar dapat dijadikan pedoman arah pembangunan bagi lembaga negara lainnya.

Namun, jika MPR nantinya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan Tap MPR yang bersifat mengatur, hal ini tentunya akan mengingkari semangat amandemen UUD 1945.  Dimana, telah melucuti kewenangan MPR untuk mengeluarkan Tap MPR yang bersifat mengatur. Ketiga, problematika pengawasan (control mechanism).

GBHN yang dikonsepkan sebagai pedoman pembangunan nasional, tentu membutuhkan mekanisme pengawasan. Supaya pelaksanaan pembangunan nasional tetap berjalan sesuai pedoman yang telah ditetapkan dalam GBHN. Lantas, yang menjadi pertanyaan, siapakah yang akan mengawasi pelaksanaan GBHN?

Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai lembaga pembentuk GBHN, maka MPR dimungkinkan menjadi lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan nasional.

Namun, peletakan pengawasan secara tunggal di tangan MPR ini dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Susunan MPR yang didominasi oleh kekuatan politik serta pengaturan GBHN yang bersifat umum dapat memicu subjektivitas penilaian. Subjektivitas tersebut berpotensi menganulir pelaksanaan pembangunan (pusat maupun daerah) yang tidak berkesesuaian dengan kepentingan politik MPR.

Baca Juga  Apa Saya Masih (Dianggap) Muhammadiyah Sedangkan Saya Merokok?

Kondisi ini tentunya bertentangan dengan prinsip checks and balances. Yang mana hal tersebut dibangun dalam hubungan pelaksanaan antar cabang kekuasaan negara. Selain itu, dapat pula mengintervensi kemandirian daerah untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan hak otonomi daerah.

Solusi

Gagasan MPR untuk menerapkan pola pembangunan nasional dengan GBHN, tidak mampu menjawab problematika sistem pembangunan nasional yang ada. Justru menimbulkan problem ketatanegaraan baru. Oleh karena itu, setidaknya terdapat beberapa rekomendasi yang solutif dan aplikabel dalam rangka menjawab problem ketatanegaraan tersebut.

Pertama, redesain pembentukan UU RPJPN melalui model tripartid dengan melibatkan DPD. Pedoman pelaksanaan pembangunan diatur menggunakan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN). UU tersebut saat ini digunakan sebagai pedoman pembangunan nasional. Pengaturan pembentukan UU RPJPN melalui model Tripartid nantinya akan dilakukan secara bersama oleh 3 (tiga) Lembaga. Tiga lembaga tersebut yaitu, presiden (perwakilan eksekutif), DPR (Political representation), serta DPD (Teritorial representation).

Model ini lebih mencerminkan prinsip checks and balances. Serta memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan daerah di tingkat nasional melalui DPD. Guna menghindari disintegrasi pembangunan di daerah.

Kedua, penguatan kelembagaan DPD melalui redesain pengaturan keanggotaan DPD. Saat ini jumlah DPD hanya 1/3 dari jumlah DPR (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945). Implikasinya, DPD tidak memiliki kedudukan yang kuat untuk mengimbangi kekuatan politik yang dicerminkan Presiden dan DPR.

Oleh karena itu, ke depan jumlah keanggotaan DPD perlu diseimbangkan dengan jumlah keanggotaan DPR. Hal ini untuk mengimbangi dominasi kekuatan politik yang dicerminkan oleh Presiden dan DPR. Serta untuk meningkatkan ruang aspirasi pembangunan daerah di tingkat nasional.

Ketiga, penguatan kewenangan pengawasan oleh DPR dan DPD. UU RPJPN sebagai pedoman pembangunan nasional akan dijabarkan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui peraturan pelaksanaannya. Guna menciptakan konsistensi, maka DPR dan DPD nantinya perlu diberikan ruang pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan (mengacu pada UU RPJPN). Itu dilakukan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pengawasan ini dilaksanakan melalui hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat yang ujungnya adalah pengajuan impeachment terhadap presiden.

Baca Juga  Aplikasi Sirekap KPU Ruwet di Akar Rumput

Dari Top Down ke Bottom Up

Kaitannya dengan pemerintah daerah, maka ruang pengawasan dapat dilakukan melalui mekanisme pengujian terhadap produk hukum daerah. Baik melalui mekanisme executive preview (UU 23 Tahun 2014) serta melalui mekanisme judicial review oleh MA (Pasal 24A UUD 1945). Pola pengawasan ini jauh lebih mencerminkan prinsip checks and balances.

Perubahan  paradigma pembangunan nasional secara bottom up. Pola pembangunan nasional saat ini cenderung bersifat top down. Melalui pembentukan pedoman pembangunan nasional oleh pemerintah pusat yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah di bawahnya. Konsep ini cenderung mempersempit aspirasi daerah sehingga mengakibatkan adanya ketidaksesuaian antara pola pembangunan di daerah dengan di pusat.

Oleh karena itu, ke depan pembentukan pedoman pembangunan nasional perlu dibangun dari bawah. Yaitu dengan memperhatikan aspirasi dan keinginan daerah (bottom up) yang disuarakan melalui DPD. Untuk mewujudkan solusi tersebut perlu ada penguatan kewenangan DPD baik pada tingkatan UUD maupun di tingkat UU.

Dalam hal ini pemerintah perlu memberikan ruang gerak bagi DPD sebagai penyeimbang kekuatan politik serta untuk menjaring aspirasi daerah di level nasional guna penguatan sistem pembangunan nasional kedepan.

*Tim Asistensi Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds