IBTimes.ID – Fatwa adalah pandangan ulama tentang satu persoalan yang pada umumnya dipertanyakan terlebih dahulu. Maka ada istilah mufti (produsen fatwa), al-mustafti (orang yang meminta fatwa), istifta (proses pembuatan fatwa), dan darul ifta (lembaga yang menaungi proses pembuatan fatwa).
Pada umumnya, fatwa bersifat responsif. Hukum selalu datang belakangan. Peristiwa datang terlebih dahulu, baru diikuti oleh hukum. Ifta adalah bagian dari ijtihad karena merespon sesuatu yang tidak ada teksnya secara eksplisit. Ijtihad berarti memberikan pemecahan terhadap persoalan yang secara eksplisit tidak ada teksnya dalam Alquran atau hadits.
Hal ini disampaikan oleh Pradana Boy dalam webinar yang diselenggarakan oleh PSIF Universitas Muhammadiyah Malang, Selasa (19/1).
Pradana Boy menyebut bahwa salah satu makna ijtihad adalah ma’rifati ahkami asy-syar’iyyati allati thoriquha al-ijtihad (proses untuk mengetahui hukum-hukum syariah melalui penggunaan akal).
Fungsi Fatwa
Menurut Boy, ada dua fungsi fatwa. Pertama, perubahan sosial. Geliat ekonomi Islam atau ekonomi syariah di Indonesia didorong oleh fatwa MUI. Seringkali ada studi yang dilakukan oleh mahasiswa tentang perbandingan lembaga ekonomi syariah dan non syariah. Kesimpulannya selalu mengatakan bahwa syariah lebih baik. Dan faktor pendorongnya adalah fatwa MUI.
Kedua, penegak ideologi. Boy bercerita ketika ia menulis disertasi, ia membahas tentang MUI. Pengujinya, Prof. Farid Al-Attas menyebut salah satu kesimpulan dari disertasi yang ia tulis adalah MUI didominasi oleh orang-orang dengan ideologi salafisme.
“Fatwa-fatwa MUI yang mencerminkan dominasi ideologi salafisme merupakan bukti bahwa dalam konteks tertentu, fatwa menjadi alat penegakan ideologi. Dalam konteks Muhammadiyah, fatwa Muhammadiyah bersifat modern. Misalnya sikap Muhammadiyah terhadap penentuan awal bulan Ramadhan. Di balik fatwa-fatwa Muhammadiyah terdapat ideologi Muhammadiyah,” ujar Boy.
Persepsi Masyarakat terhadap Fatwa
Boy mengutip sebuah penelitian yang dilakukan oleh Reihanah Abdullah di Malaysia. Dalam penelitian tersebut, 95,4% masyarakat Malaysia mengenal fatwa. Tetapi 95,4% yang pernah mendengar istilah fatwa itu tidak mengetaui apa hakikat fatwa.
13,9% responden mengatakan bahwa fatwa adalah pertanyaan dan jawaban tentang agama. 16,8% mengatakan bahwa fatwa berhubungan dengan hukuman. 17,3% responden menyamakan fatwa dengan prinsip-prinsip hukum Islam. 41,1% menganggap fatwa sebagai tindakan dan perkataan mufti atau posisi mufti tentang persoalan hukum.
Menurut Pradana Boy, meskipun di Indonesia belum ada penelitian serupa, tetapi gambarannya tidak terlalu jauh dengan apa yang terjadi di Malaysia.
“Di Indonesia sangat jarang ada fatwa yang bersifat individual. MUI memiliki komisi fatwa, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih. Lembaga-lembaga ini ada karena menurut Ibnu Qoyyim, ulama itu menduduki posisi para nabi. Kalau umat membutuhkan penjelasan sebuah persoalan, larinya ke ulama,” imbuhnya.
Perkembangan Darul Ifta di Muhammadiyah
Ia menyebut bahwa salah satu faktor pendorong lahirnya Majelis Tarjih di Muhammadiyah adalah penetrasi Ahmadiyah ke Muhammadiyah. Ada satu masa ketika Muhammadiyah dan Ahmadiyah sangat akrab, bahkan para jamaahnya memiliki keanggotaan ganda.
Bahkan beberapa tokoh Ahmadiyah sempat diundang dan mendapatkan kesempatan berbicara di forum Muhammadiyah sehingga mempengaruhi pengurus teras Muhammadiyah. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa ideologi Muhammadiyah harus dijaga, salah satunya melalui Majelis Tarjih.
Pada saat itu, lanjut Pradana Boy, ketika mengusulkan lembaga tarjih, nama “Tarjih” justru tidak keluar. Mas Mansur, inisiator Majelis Tarjih mengusulkan tiga nama, yaitu Majelis Tasyri’, Majelis Tanfidz, dan Majelis Taftisy. Namun setelah disepakati berubah nama menjadi Majelis Tarjih.
Pada tahun 1995, Amin Abdullah masuk ke Majelis Tarjih atas ajakan Amien Rais sebagai Ketua Umum terpilih PP Muhammadiyah. Salah satu problem yang membuat Amien Rais mengajak Amin Abdullah adalah kemandekan pemikiran di Muhammadiyah sejak tahun 1980an. Sehingga Amien Rais berpikir bahwa Amin Abdullah sebagai seorang ahli filsafat bisa menggerakkan kebekuan pemikiran ini.
Amin Abdullah kemudian mengubah nama Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan memasukkan pendekatan interdisipliner. Hal tersebut memunculkan banyak kritik. Pada tahap ini, lanjut Boy, masyarakat perlu berbicara tentang interdisipliner.
“Ini menunjukkan bahwa pendekatan interdisipliner dalam studi Islam dan dalam Majelis Tarjih sangat penting, namun sekaligus sangat berat. Sehingga belakangan nama Pengembangan Pemikiran Islam dihapus,” imbuh Pradana Boy.
Reporter: Yusuf