Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah resmi mengetok palu tanda disahkannya calon Kapolri Komjen. Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si menjadi Kapolri baru menggantikan Jendral Idham Aziz. Secara resmi memberhentikan dengan hormat Jendral Idham Aziz sebagai Kapolri (21/01/2021).
Pengesahan itu dilakukan dua hari setelah Komjen Listio Sigit melakukan Fit and Proper test dan menjelaskan makalahnya yang berjudul Transformasi Menuju Polri yang Presisi. Kata presisi merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparasi berkeadilan.
Nama Kapolri terpilih tersebut nantinya dikhawatirkan akan menuai polemik ditengah masyarakat. Dikarenakan Kapolri terpilih tersebut bukan beragama Islam. Contohnya saja seperti apa yang dikatakan beberapa waktu yang lalu. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Junaidi berkata;
“Seorang pemimpin Non Muslim mengendalikan keamanan negara yang mayoritas penduduknya muslim adalah sebuah keanehan dan tugasnya pasti amat berat. Apalagi Kepolisian tugasnya sangat erat dengan masalah keamanan masyarakat. Pendekatan persuasif sangat dibutuhkan dalam aksi dan demo masa.” (25/11/2020).
Memilik Hak yang Sama
Jika kita merujuk pada UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak ada syarat dan ketentuan seperti apa yang dikatakan Muhyiddin tadi.
Dalam persyaratan yang tertera di UU itu semua perwira tinggi memiliki hak yang sama untuk menjadi Kapolri. Pertimbangannya, dilihat dari jenjang kepangkatan dan karir. Lalu dimana letak kesalahannya jika Kapolri terpilih kita berasal dari golongan non-Islam.
Tidak hanya itu Kapolri terpilih tersebut pada saat menjadi Kapolda Banten pada tahun 2016 juga pernah ditolak oleh MUI Banten. Namun dia tetap bisa menjadi kapolda, dan berhasil berbaur dengan ulama untuk menjaga kerukunan.
Bukankah Abu Bakar As-Shiddiq sahabat Rasulullah SAW pernah menunjuk salah satu penduduk Mekkah penyembah Latta. Ia adalah Abdullah bin Uraiqith. Ia ditugaskan memberikan petunjuk jalan dan mengawal pasukan Rasulullah SAW pada saat hijrah ke Madinah.
Soal agama calon Kapolri bagi saya tidak mejadi masalah. Dikarenakan Kapolri itu bukan lembaga dakwah, lembaga agama, ataupun sejenis obat-obatan, makanan, dan minuman yang membutuhkan label halal.
Terkait dengan itu maka kita ibaratkan seperti kita menaiki sebuah pesawat. Pada saat kita menaiki sebuah pesawat apakah kita menyakan agama dari sang pilot? Tentunya tidak, dikarenakan kita sudah tau bahwa sang pilot telah memiliki lisensi. Ia sudah mendapat pelatihan dan jam terbang yang lama.
Selain kita harus mencontoh negara tetangga kita yaitu Singapura. Singapura yang dihuni oleh berbagai macam suku, yaitu India, China, dan Melayu. Mereka menjadikan Presiden dengan bergantian ras dan suku.
Sebagai contoh ras minoritas yaitu melayu, yang bernama Halimah Yacob juga berhasil menjadi Presiden Republik Singapura. Ia menjadi Presiden Singapura pada tahun 2017 dengan cara aklamasi. Sekaligus menjadi Presiden wanita pertama di Singapura. Setelah sekian lama Singapura tidak dipimpin oleh etnis melayu sejak tahun 1970.
Indonesia pun juga demikian sama, jumlah suku, ras dan agama di negara kita jauh lebih banyak dari Singapura. Kita harus juga memberi kesempatan agama-agama yang bukan mayoritas menduduki jabatan-jabatan yang ada di negara ini.
Maka dari itu kita harus melihat Kalpolri terpilih yang akan memimpin kepolisian di seluruh Indonesia ini dari pengalaman dan kepemimpinannya. Bukan malah dilihat dari agamanya.
Editor: Dhima Wahyu Sejati