Report

Noorhaidi Hasan: Tiga Tahap Transformasi Gerakan Hijrah

2 Mins read

IBTimes.ID – Secara historis, tidak bisa dinafikan bahwa fenomena hijrah dilahirkan oleh gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan Jamaat el Islami di Indo-Pakistan. Dua gerakan tersebut, sejak tahun 1928 memulai upaya untuk mengislamkan seluruh sistem kehidupan. Oleh para sarjana hal tersebut disebut dengan Islamisme atau Islam Politik. Yaitu sebuah visi misi, upaya, gagasan, aksi untuk mendorong Islam ke dalam pusat kekuasaan.

Hal ini disampaikan oleh Prof. Noorhaidi Hasan dalam Launching Penelitian PPIM tentang Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer, Senin (1/1). Launching yang dilaksanakan secara daring ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Convey Indonesia.

Menurut Noorhaidi Hasan, gerakan-gerakan tersebut berpendapat bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, melainkan juga ideologi politik, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem budaya. Seluruh aspek kehidupan harus diatur oleh nilai-nilai Islam.

“Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah gerakan ingin merekrut pengikut seluas-luasnya. Salah satu strateginya adalah menggunakan hijrah. Doktrin yang mereka kembangkan bermula dari tauhid yang diinterpretasikan secara tendensius. Misalnya, mereka melarang sistem pendidikan yang berlandaskan pada undang-undang tertentu. Atau sistem politik yang mengikuti aturan negara tertentu. Semua harus berlandaskan pada sistem Islam semata,” papar Noorhaidi.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut mengatakan bahwa hal-hal tersebut dimulai sejak era Hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb. Dari doktrin tersebut lahir doktrin al-wala’ wal barra’ (loyalitas dan pemutusan hubungan). Dunia dibelah menjadi jahiliyyah dan non jahiliyyah. Jika kita ingin menjadi orang Islam yang taat, kita harus menjauhi orang-orang yang tidak satu paham atau tidak satu pandangan. Tidak ada pilihan lain selain hijrah menuju sistem non jahiliyah.

Menurut Noorhaidi, doktrin ini pada awalnya bertujuan untuk melawan pemerintah yang berkuasa di negara masing-masing, terutama Mesir di era Gamal Abdul Nashir dan Anwar Sadat. Hijrah ini digunakan sebagai strategi untuk meyakinkan para pengikut gerakan.

Baca Juga  Menyoal Keterputusan Makna Hijrah

Dari sini lahir Jamaah at-Takfir Wa al-Hijrah yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan Anwar Sadat. Gerakan ini memiliki doktrin bahwa rezim harus dikafirkan ketika tidak mau menerima sistem syariat. Jika tidak mau, maka umat Islam wajib melawan. Jika tidak mampu melawan, maka harus hijrah.

“Gerakan Islamis yang bertujuan untuk menjatuhkan rezim-rezim yang berkuasa ternyata mengalami kegagalan. Gerakan Islamis yang tadinya kencang sekali untuk meruntuhkan rezim ternyata loyo. Rezim di negara muslim tetap tegak dan tidak tunduk kepada kelompok Islamis,” imbuh pakar politik Islam tersebut.

Setelah menemui kegagalan, lanjut Noorhaidi, kelompok Islamis tersebut merubah strategi menjadi mengislamkan masyarakat dari akar rumput. Mereka mengutamakan jenggot, gamis, dan celana yang tidak isbal. Hal ini adalah transformasi hijrah yang pertama dilakukan, yaitu dari politis menjadi simbolis.

Setelah terjadi fenomena the global war on terrorism (perang global melawan terorisme) yang terjadi di seluruh dunia, kelompok Islamis semakin tertekan. Pada tahun 1970, menurut Noorhaidi, pembicaraan tentang hijrah selalu bermakna politis. Sementara pada tahun 1980 & 1990 berubah menjadi simbol seperti jenggot dan celana di atas mata kaki.

“Sedangkan sekarang ini hijrah dimaknai sebagai ideologi salafi, masih ada hasrat untuk mendorong Islam agar tampil sebagai pusat segalanya, tetapi upaya ini dinegosiasikan atau didamaikan dengan kehidupan dalam wadah negara, demokrasi, dan pluralisme,” imbuhnya.

Negosiasi untuk menerima konsep negara bangsa oleh gerakan hijrah ini adalah transformasi menjadi bentuk yang ketiga. Yaitu gerakan yang lebih adaptif dan akomodatif terhadap konsep-konsep modernitas. Berawal dari gerakan politis, kemudian menjadi gerakan simbolis, dan terakhir adalah gerakan akomodatif.

Menurutnya, yang masih menjadi pertanyaan para peneliti adalah apakah transformasi yang sedang berlangsung ini adalah pergeseran karena tidak ada pilihan lain, atau murni karena proses demokratisasi yang berlangsung di seluruh dunia.

Baca Juga  Din: Tiga Syarat Pemakzulan Pemimpin Negeri

“Apakah ini sinyal politis atau sinyal negatif? Kalau pergeseran hanya taktis karena tidak ada pilihan lain, ini negatif. Mereka pintar merubah strategi untuk pada suatu hari nanti kembali lagi pada agenda utama, merubah negara menjadi negara Islam,” lanjut Noorhaidi.

Reporter: Yusuf

Avatar
1345 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *