Yogyakarta, Sabtu 25 September 2010.
Pukul enam pagi status Merapi dinaikkan BMKG menjadi Awas. Ini tahap terakhir sebelum sebuah gunung berapi meletus. Kami mengambil keputusan cepat. Tiket pesawat untuk besok pagi yang sudah di tangan diganti dengan tiket kereta api. Betul saja, Ahad sore Merapi meletus. Seketika penerbangan dari dan menuju Jogja ditutup. Tetapi kami sudah berada di atas kereta api menuju Jakarta. Sehingga istriku bisa mengejar jadwal penerbangan ke Australia pada Senin sore.
Iya, si cantik dari Jepara ini akan terbang ke Australia. Ini sebuah perjalanan yang tidak terbayangkan sebelumnya bisa dialami oleh istriku, oleh kami sekeluarga. Dia sedang masuk ke orbit kehidupan yang lebih luas. Semua berawal dari hal yang bagi sebagian orang dianggap remeh. Seorang doktoranda dengan IP lumayan pada awal 1990-an menjadi pengasuh bayi.
Inilah kisah tentang konsistensi, istiqamah. Ketekunan atas hal-hal kecil di tingkat Ranting yang belakangan ternyata membuka pintu-pintu besar. Inilah kisah tentang istriku yang setelah kami mempunyai cucu mendapat panggilan baru, Nino (nenek dalam bahasa Kerinci).
Akhir 1991 aku kembali ke Jogja. Dengan ijazah sarjana di tangan aku memenuhi panggilan pengabdian di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Jogja yang mengirim aku kuliah di Solo. Aku bersama istriku adalah pasangan pengantin baru. Kami mulai memasuki dunia kehidupan yang sesungguhnya. Resminya kami adalah tamatan Pondok Shabran UMS, sekolah kader Muhammadiyah tingkat nasional.
Tetapi kami masuk “kandang macan.” Jogja adalah pusat Muhammadiyah dimana ada banyak kader dari semua level, Ranting sampai Pusat. Maka kami harus siap diuji dengan kiprah kekaderan yang sesungguhnya. Aku sendiri, memulai tahap awal ini dengan sepenuhnya menerjunkan diri dalam aktivitas Persyarikatan. Ini aku anggap sebagai ekuivalen masa pengabdian dua tahun sesuai perjanjian.
Maka hampir setiap malam aku berkegiatan. Sebagai anggota PW Pemuda Muhammadiyah DIY, pengurus (transkriptor sekaligus editor) Pengajian Malam Selasa, anggota Majelis Pustaka PP Muhammadiyah, dan pengurus Ranting Muhammadiyah Ngampilan.
Sedangkan si Doktoranda menjalani dua aktivitas utama. Awalnya fokus membesarkan anak pertama kami, kemudian Nino aktif di Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiah (PP NA). Nino bisa masuk ke orbit Pusat lebih karena ditarik oleh Bu Dyah Siti Nuraini ketua PP NA yang merupakan pembina kami di Pondok Shabran sebelumnya.
Belakangan Nino menambah aktivitas dengan menekuni Aisyiyah di tingkat Ranting. Nino menjadi Sekretaris Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) dan Pimpinan Cabang Aisyiyah Ngampilan pada periode 1995-2000 ketika aku menjadi ketua PRM Ngampilan. Setelah beberapa tahun Nino mengambil keputusan berani: mundur dari PP NA.
Dia merasa tidak bisa berbuat banyak di tingkat Pusat. Terlalu banyak diskursus, katanya. Sedangkan di Ranting dia merasa bisa lebih optimal berbuat. Di Ranting ini Nino mendapatkan kepercayaan penuh dari ibu-ibu pimpinan yang pada umumnya sudah berumur. Sebagian dari mereka sebaya dengan mertuaku/ibunda Nino. Mereka juga senang sekali menemukan kader yang masih segar seperti kami dan mau bergerak di Ranting.
Salah satu program visioner Aisyiyah Ranting Ngampilan pada periode ini adalah mendirikan Taman Penitipan Anak (TPA). Di Indonesia saat itu belum banyak lembaga yang mendirikan TPA. Di Jogja pun baru ada dua TPA. Milik IKIP Karangmalang dan milik Pasar Beringharjo.
Ibu Aisyiyah Ngampilan ingin membantu ibu-ibu muda yang yang wajib mengasuh anak sambil harus bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Sehingga mereka tidak optimal membersamai tumbuh-kembang anak pada usia emas pertumbuhan. Banyak dari anak-anak ini menjadi ‘anak pembantu.’
Situasi ini bisa lebih buruk bila rumah sang orangtua kecil sehingga ruang gerak anak menjadi tidak memadai. Dengan menitipkan anak di TPA banyak manfaat diperoleh. Ibu-ibu muda ini bisa tetap bekerja. Pada waktu yang sama anak-anak mereka mendapatkan pengasuhan dengan sentuhan pendidikan dan agama. Tentu ini dilangsungkan dalam suasana bermain sesuai dengan kebutuhan anak usia dini.
TPA milik Aisyiyah Ngampilan ini diberi nama Nur’aini. Untuk menjalankannya, PRA Ngampilan menyewa sebuah rumah di tengah kampung Ngampilan. Pengasuhnya dua orang direkrut dari anggota dan simpatisan Aisyiyah setempat. Tiga bulan setelah diresmikan Nur’aini baru mendapatkan satu anak asuh. Pada era pendirian Nur’aini ini wacana tentang pendidikan anak usia dini memang belum semarak. Masyarakat baru mengenal Taman Kanak-Kanak (TK).
Secara kelembagaan Nuraini masih menginduk pada Dinas Sosial. Dalam hal ini Nuraini sering mendapat bantuan sembako dari Dinas Sosial Jogja. Anak-anak yang menjadi peserta didik di Nuraini dianggap sebagai anak kurang sejahtera karena tidak diasuh langsung oleh orangtua.
Baru tiga tahun berjalan, Nur’aini terusir dari kontrakan. Kontrak rumah Nuraini tidak bisa diperpanjang. Ini menjadi ujian pertama Nino dan kawan-kawan dalam membesarkan Nuraini. Pemilik rumah berdoa semoga Nur’aini bisa lebih berkembang di tempat yang baru. Bagi pengurus doa yang manis ini justru terasa masam mereka belum berpikir tentang pindah tempat.
Ini terkait dengan pendanaan dan membangun lingkungan sosial yang tidak selalu mudah. Mereka sedang fokus membesarkan Nur’aini secara kelembagaan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Untungnya pada waktu yang bersamaan Komplek Almanaar yang tadinya merupakan asrama mahasiswa UMY ditutup. UMY sudah memiliki Kampus Terpadu yang baru dan megah tetapi tidak lagi dekat dari Almanaar.
Sebagai orang UMY yang diberi mandat menjadi pembina asrama sekaligus penjaga Komplek Almanaar maka aku mengambil inisiatif memasukkan Nur’aini ke komplek Almanaar ini. Pembaca bisa menikmati tulisanku lebih dalam tentang Almanaar ini dalam Almanaar, Nuraini, dan Anjar Nugroho.
Secara umum, Nur’aini sebagai amal usaha Aisyiah tingkat Ranting ini mengalami perkembangan yang menggembirakan. Secara kelembagaan, Nur’aini makin kuat dengan bergabungnya TK ABA Ngampilan yang tadinya berada di lokasi yang berbeda. Kemudian Nur’aini makin lengkap dengan pendirian Kelompok Bermain. Minat para orang tua untuk menitipkan anak juga meningkat dari tahun ke tahun.
Secara fisik Nur’aini telah menempati tempat baru yang lebih luas di Komplek Almanaar yang terletak di tempat yang strategis di tepi jalan KHA. Dahlan. Perkembangan ini tentu saja meningkatkan kinerja pendanaan. Nur’aini bisa menggaji sekitar 50 guru dan karyawannya di atas rata-rata gaji para guru PAUD di Jogja.
Nur’aini juga berhasil mengembangkan diri secara fisik. Pada tahun 2014 Nur’aini membeli lahan yang dikenal sebagai Kampus 2 Nur’aini. Eloknya pembelian lahan ini tanpa dengan meminjam uang di bank atau di amal usaha Muhammadiyah lainnya yang lebih besar. Dana murni dari hasil mengelola Nur’aini. Eloknya lagi di dalam lahan yang baru ini ada sebuah rumah yang sebelumnya Nur’aini “terusir” dari kontrakan pada masa awal rintisan. Alhamdulillaah.
Pembangunan kampus 2 Nur’aini ini menyimpan banyak cerita menarik. Khususnya tentang semangat emak-emak membesarkan amal usaha Persyarikatan di tingkat Ranting. Modal utamanya adalah semangat dan tentu saja keikhlasan berbagi. Berbagi bisa dalam bentuk harta, tenaga, pikiran, dan juga perasaan. Sebagian emak-emak ini bermodalkan semangat. Mereka sangat guyub menekuni kegiatan Aisyiyah.
Walaupun tidak banyak konsep keluar dari pikiran mereka, senyum tulus dan doa mereka sangat berarti bagi kami sebagai penekun di Ranting. Sebagian lagi senang berbagi dana sesuai dengan kemampuan masing-masing. Apa yang terjadi di Nur’aini ini rasanya juga berlaku di berbagai amal usaha maupun unit persyarikatan lainnya yang tumbuh dan berkembang di berbagai penjuru di tanah air.
Setidaknya penulis melihat hal ini misalnya di Aimas Sorong Papua ataupun di Bireun Aceh. Ketika dua modal utama ini dibaca masyarakat maka terbukalah pintu bagi partisipasi lanjut dari masyarakat yang lebih luas. Maka tinggal menunggu waktu saja sebuah amal usaha Persyarikatan menjadi semakin berkembang.
Pada tahun 2013 aku memimpin rapat panitia pegembangan Kampus 2 Nur’aini. Rapat segera ditutup karena agenda utama yaitu laporan Pak Ponijo sang tukang gambar master plan dan pembayaran honornya sudah selesai. Tiba-tiba Pak Ponijo meminta waktu. Ada tiga poin beliau sampaikan.
Pertama, rasa terima kasih atas pekerjaan yang diberikan padanya. Lanjut Pak Ponijo, “alhamdulillaah pekerjaan sudah saya selesaikan, honor sudah saya terima. Rezeki saya lancar.” Kedua, “mohon maaf saya mau mengaku. Jelek-jelek begini saya juga anggota Ranting Muhammadiyah di Sleman bagian barat. Karena itu saya bisa merasakan semangat membesarkan amal usaha disini.
Ketiga, “ijinkan saya untuk ikut ambil bagian dalam membesarkan Nur’aini.” Tanpa menunggu jawabanku Pak Ponijo mengeluarkan tiga dari enam ikatan uang honor tukang gambar yang baru diterimanya dari Nur’aini dan “Niki kulo nyumbang sepalih njih.” (Saya menyumbang setengah). Maka mengalirlah dana segar tiga juta rupiah untuk Kampus Nur’aini-2. Kami peserta rapat seketika terkesima dengan kedermawanan pak Ponijo ini.
Selanjutnya baru saja aku terbata-bata mengucapkan terima kasih pada Pak Ponijo tiba-tiba sebuah interupsi kembali masuk. Kali ini datang dari Bu Prayit. Nama lengkap beliau Hajjah Siti Salamah Suprayitno. Beliau merupakan mantan ketua PRA Ngampilan dan pemilik lahan yang dijual dengan harga sangat murah untuk dijadikan Kampus 2 Nur’aini. Jauh lebih murah dari harga pasaran.
“Pak Mahli, kulo atas nami keluarga besar njih nderek nyengkuyung. Sementara niki kulo infaq 6 juta rumiyen.” (Pak Mahli, saya atas nama keluarga ikut membantu. Sementara saya memberikan 6 juta dulu). Maka lantunan kata alhamdulillaahi Rabbil ’aalamiiiin keluar deras dari mulut kami peserta rapat sore itu.
Aku dan beberapa anggota rapat lainnya tidak kuasa menahan linangan air mata. Tentu saja air mata kesyukuran. Dalam waktu singkat Nur’aini mengeluarkan dana 6 juta dan dalam waktu yang lebih singkat Nur’aini kemasukan dana 9 juta Rupiah. Allahu Akbar! (bersambung).
Editor: Yusuf