Sebelum membahas potensi zakat dan wakaf di Indonesia, kita perlu mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia. Dari data yang dikeluarkan oleh World Population Review, jumlah penduduk muslim di Tanah Air pada tahun 2020 mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk yang berjumlah 273,5 juta jiwa.
Begitupun di sisi lain Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam non-hayati. Bahkan, dalam Protokol Nagoya diperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi tulang punggung perkembangan perekonomian yang berkelanjutan. Kekayaan sumber daya yang dimiliki Indonesia tersebut, jika diakomodasi dengan baik tentu akan berefek pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Potensi Zakat
Zakat adalah kewajiban setiap muslim jika sudah mampu dan itu jelas di tetapkan dalam rukun Islam serta merupakan instrumen penting umat muslim untuk peningkatan perekonomian. Jika zakat dapat dikelola dengan baik dari segi pengumpulan hingga pendistribusian, maka zakat adalah sebuah resolusi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Nilai Dasar Perjuangan-nya bahwa zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan antara yang kaya dan miskin. Karena zakat diambil dari orang-orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk diberikan ke orang miskin.
Menurut Cak Nur, kemiskinan yang terjadi di masyarakat disebabkan adanya arus besar kapitalisme (penumpukan harta secara pribadi). Sehingga, untuk meminimalisir hal tersebut maka zakat adalah sebuah solusi untuk menyelesaikannya. Begitupun jika dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2011 juga telah mengatur persoalan pengelolaan zakat, yang menyebutkan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan inilah yang menjadi landasan bahwa sebanyak apapun dana zakat yang terkumpul, semuanya digunakan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
***
Tentang pengelolaan zakat di Indonesia, walaupun bersifat sukarela namun dari beberapa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang penulis ketahui setiap bulannya kurang lebih Rp 2 miliar yang terkumpul. Mulai dari zakat, infak, maupun sedekah. Jika kita coba untuk kalkulasikan, maka setiap tahunnya, jumlah total dari pengumpulan yang dilakukan oleh BAZNAS bisa mencapai angka Rp 24 milyar untuk satu instansi BAZNAS. Namun, jika diperkirakan secara umum, jika satu provinsi memiliki satu BAZNAS maka dari 34 Provinsi di Indonesia, jumlah total pengumpulan zakat, infak, dan sedakah dapat mencapai angka Rp 816 triliun tiap tahunnya.
Perkiraan umum potensi zakat di atas hanya diambil jika satu provinsi di Indonesia hanya memiliki satu BAZNAS. Bagaimana jika lebih dari itu? Tentu angkanya akan semakin besar dan peluang inilah yang seharusnya dilihat oleh pemerintah untuk mem-back-up agar zakat dapat di kelola dengan baik dari segi pendataan hingga distribusi.
Selama ini yang terjadi adalah pengelolaan zakat masih menggunakan konsep filantropis yang memerlukan kesadaran berzakat. Seharusnya hal ini dipertegas secara konstitusional oleh pemerintah. Sehingga, legitimasi pengelolaan zakat sangat besar dan tentunya akan berdampak pada peningkatan jumlah dari pengumpulan dana zakat.
Potensi Wakaf
Jika zakat memiliki potensi yang sangat besar, sama halnya dengan wakaf. Pada dasarnya, zakat dan wakaf memiliki kesamaan untuk kemaslahatan umat manusia tetapi berbeda secara tata kelola. Zakat bebas dikelola dengan cara apapun sedangkan wakaf dikelola dengan membuat/membangun sebuah sarana yang memiliki nilai kemaslahatan dan kebajikan agar dapat digunakan oleh masyarakat secara terus-menerus. Hal ini juga telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia beberapa hari yang lalu bahwa potensi wakaf di Indonesia dapat mencapai angka Rp2.000 triliun, dan potensi wakaf uang bisa menembus angka 188 triliun rupiah.
Apalagi jika dilihat bahwa wakaf secara hukumnya merupakan sebuah harta yang tidak bisa diperjualbelikan tetapi murni diberikan untuk digunakan dan dikelola dengan tujuan kebermanfaatan serta kemaslahatan masyarakat secara terus-menerus. Maka dari itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang merupakan lembaga/instansi negara yang memiliki fungsi mengurus persoalan wakaf harus mampu mengeluarkan formulasi baru agar potensi wakaf ini dapat diakomodasi dengan baik.
Dari beberapa argumentasi diatas, menurut penulis persoalan zakat dan wakaf tidak akan berjalan efektif dan bersifat utopis jika tidak di-back-up oleh pemerintah, baik dari segi filosofinya maupun konstitusi. Khususnya yang terpenting adalah dari segi konstitusi. Karena selama ini zakat maupun wakaf masih lemah, sehingga perlu ketegasan dengan meningkatkan kekuatan hukum dalam hal pengelolaan zakat dari proses pendataan hingga distribusi.
Formulasi Pengelolaan Zakat dan Wakaf
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan diatas, zakat maupun wakaf merupakan sebuah solusi yang harus segera difokuskan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terutama di Indonesia yang memiliki kekayaan sangat besar untuk menunjang pengelolaan zakat dan wakaf secara terstruktur dan sistematis.
Jika melihat dari sejarah, salah satu contohnya ialah pada masa Umar bin Abdul Aziz yang mampu mengelola zakat secara baik. Sehingga, saat itu masyarakat tidak membutuhkan atau tidak mau menerima zakat karena sudah memiliki kehidupan yang sejahtera. Sejarah ini memberikan sebuah stimulus positif bahwa pengelolaan zakat yang baik akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup, bukan hanya umat muslim saja melainkan seluruh umat manusia.
Dalam pengelolaan zakat, hal utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan produktivitas para penerima dana zakat. Amil sebagai pengelola dana zakat, dalam distribusinya harus mampu membuat para mustahik (penerima dana zakat) menjadi produktif. Produktivitas ini akan berdampak pada menurunnya angka penerima zakat dan meningkatkan pemberi zakat. Sehingga, yang saat ini menerima zakat, dapat diproyeksikan satu atau dua tahun kedepan akan menjadi pemberi zakat. Di sisi lain, jika zakat ini dikelola dengan baik, terstruktur, dan sistematis, maka zakat berpotensi menjadi pemasok kas utama negara.
***
Maka dari itu, perlu formulasi baru dalam hal distribusi dana zakat agar sesuai dengan situasi dan kondisi zaman saat ini. Semisal akan ada pendistribusian dana zakat untuk membuka usaha, maka sebelum menyalurkan dana zakat, amil harus mampu merubah paradigma mustahik dari yang bersifat konsumtif untuk menjadi produktif. Selain itu juga perlu memberikan edukasi dan pelatihan sesuai dengan usaha yang akan dijalankan.
Contohnya untuk memberi modal usaha ternak hewan untuk 10 mustahik. Belum tentu setiap mustahik tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam hal ternak hewan, sehingga harus adanya edukasi dan pelatihan, seperti cara menjaga kesehatan hewan hingga cara mengembangbiakan hewan ternak. Setelah diberikan edukasi dan pelatihan barulah dana zakat disalurkan. Hal ini tentu akan membuat penyaluran dana zakat sangat efektif dan efisien karena dana zakat diberikan ketika mental produktif sudah terbentuk dalam diri para mustahik.
Begitupun dalam hal Wakaf, harta yang diwakafkan harus dikelola untuk sesuatu yang memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Seperti pembangunan infrastruktur atau jika yang di wakafkan adalah uang, maka wakaf uang tersebut dapat diubah menjadi sesuatu yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara terus-menerus. Intinya, pada persoalan wakaf, sesuatu yang diwakafkan harus memiliki efek kebermanfaatan dan kebajikan kepada masyarakat dan bertahan lama (berkesinambungan).
Editor: Nabhan