“Pak Abbott, jika anda ingin tahu seperti apa misogini dan seksisme di Australia hari ini, anda tidak perlu debat di DPR. Anda hanya butuh cermin.”
(Julia Gillard, Pidato Misogini, 2012)
Sebagai warga Muhammadiyah yang tinggal di Australia, bagaimana kita memaknai Hari Perempuan Internasional, yang diperingati setiap tahunnya di tanggal 8 Maret?
Merayakan Hari Perempuan Internasional di Australia kurang afdhal rasanya tanpa membicarakan perdana menteri perempuan pertama di negara ini: Julia Gillard. Syahdan, Gillard terkenal karena sebuah pidato yang kemudian dikenal sebagai “pidato misogini”.
Bagi yang bingung dengan apa itu misogini, kamus Macquarie terbitan Australia mendefinisikannya sebagai “prasangka dan kebencian yang tidak-tidak terhadap perempuan” (hatred and entrenched prejudice against women).
Ketika itu, dalam sebuah debat di DPR Australia, Gillard dengan lantang mengkritik Tony Abbott, pemimpin oposisi dan Ketua Umum Partai Liberal Australia. Karena sikap dan perilakunya kepada perempuan dalam politik Australia. Pidato ini segera terkenal dan menjadi momen paling tidak terlupakan dalam sejarah politik Australia.
Namun, warisan Julia Gillard untuk Australia bukan hanya terbatas pada pidato misogini itu, tapi juga banyak bentuk kebijakan lain yang sampai sekarang masih terus berjalan. Tulisan ini ingin mendiskusikan warisan-warisan itu dan melihat apa yang bisa kita pelajari sebagai umat Islam Indonesia, terutama dalam konteks Hari Perempuan Internasional.
Julia Gillard: fari Aktivis Mahasiswa ke Perdana Menteri
Julia Gillard figur yang cukup kompleks. Ia lahir dan besar sebagai pemimpin gerakan mahasiswa Australia dan kemudian tampil di politik hingga menjadi perdana menteri. Ia lahir di Wales dan kemudian pindah ke Australia di usia 5 tahun.
Masa mudanya dihabiskan di Adelaide dan Melbourne. Bu Gillard kuliah di Fakultas Hukum University of Adelaide dan menghabiskan masa perkuliahannya sebagai aktivis mahasiswa. Beliau pernah menjadi Ketua BEM University of Adelaide dan, kemudian, menjadi Ketua Umum Serikat Mahasiswa Australia (Australian Union of Students) yang bermarkas di Melbourne.
Selepas lulus, beliau menjadi pengacara. Sejak usia muda, Bu Gillard sudah tertarik dengan politik buruh. Ia kemudian bekerja sebagai Staf Khusus Josh Brumby, yang waktu itu jadi Ketua DPW Partai Buruh Victoria.
Tahun 1998, Gillard masuk ke politik nasional ketika terpilih sebagai anggota DPR mewakili Lalor di Victoria. Sepanjang karier politiknya, Gillard dikenal sebagai salah satu tokoh sayap kiri di Partai Buruh, yang memang mendominasi politik Victoria.
Gillard muncul dalam kondisi politik Australia yang tidak begitu mendukung. Delapan tahun setelah masuk jadi anggota DPR, Gillard mulai muncul sebagai generasi pemimpin baru Partai Buruh.
Tahun 2006, beliau (bersama Kevin Rudd, anggota DPR dari Queensland) menjadi penggerak Kongres Luar Biasa (KLB) di Partai Buruh, yang akhirnya mengantarkan beliau sebagai Wakil Ketua Umum Partai Buruh. Setahun kemudian, Partai Buruh menang Pemilu dan Gillard akhirnya duduk di kursi Wakil Perdana Menteri.
***
Popularitas Rudd menurun dengan cepat. Dan di tahun 2010, Gillard melakukan gebrakan yang cukup mengejutkan. Yaitu mendorong KLB Partai Buruh yang akhirnya menjungkalkan Rudd dan mendudukkan Gillard sebagai Perdana Menteri.
Di tahun yang sama, Australia mengadakan Pemilu dan hasilnya adalah ‘parlemen gantung’. Baik Partai Buruh maupun koalisi, gagal mencapai mayoritas. Dengan kemampuan negosiasinya yang brilian, Gillard berhasil membentuk pemerintahan atas dukungan Partai Hijau dan tiga anggota non-partai.
Jadinya, Gillard harus menghadapi dua situasi politik yang tidak menguntungkan: kekuatan partainya yang cukup kecil dan bergantung pada koalisi di DPR, plus perpecahan internal di tubuh Partai Buruh akibat KLB tahun 2010.
Kondisi ini membuat Gillard dalam banyak hal harus melakukan akrobat politik untuk mengamankan pemerintahannya. Terutama, dari pemimpin oposisi Tony Abbott yang terkenal konservatif.
Kepemimpinan Julia Gillard hanya sampai 3 tahun. Tahun 2013, Partai Buruh kembali menggelar Kongres Luar Biasa dan beliau kalah. Tak lama kemudian Pemilu lagi, dan Partai Buruh kalah. Ketika itu juga beliau pensiun dari politik.
Warisan untuk Australia
Namun, meskipun hanya memimpin selama 3 tahun dengan kondisi yang awut-awutan, Gillard justru memberikan banyak warisan penting bagi politik Australia. Satu hal yang penting: Gillard banyak mendorong kebijakan dan UU baru yang lebih adil secara gender, dan lebih berpihak pada perempuan.
Selama kurang lebih 3 tahun, Gillard menghasilkan sekitar 570 UU, yang oleh Koran The Guardian dianggap sebagai “pemerintahan paling produktif di Australia”. Menurut Dr Blair Williams, peneliti di Universitas Nasional Australia, beberapa UU penting yang terkait dengan perlindungan pekerja dan pengupahan yang lebih adil justru hadir di masa pemerintahan Gillard. Di antaranya adalah; UU tentang skema asuransi penyandang disabilitas nasional, pembentukan komisi penanganan kekerasan pada anak, kebijakan ongkos karbon, reformasi pembiayaan pendidikan, hingga cuti hamil dan melahirkan (bukan hanya untuk ibu, tapi juga bapak).
***
Selain itu, Gillard mendorong kebijakan yang berorientasi pada kesehatan masyarakat, terutama bagi ibu dan anak. Bahkan dalam politik luar negeri, Gillard juga mengeluarkan buku putih yang mendudukkan Australia di ‘Abad Asia’ yang sekarang justru makin relevan karena kebangkitan Tiongkok dan pergeseran tatanan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik.
Konon, dalam hal UU dan kebijakan yang berpihak pada pekerja, prestasi Gillard melampaui dua pendahulunya, Bob Hawke dan Paul Keating, yang dikenal di tahun 1980an sebagai bapak reformasi ekonomi Australia.
Namun sebagaimana juga sering terjadi di Indonesia, pencapaian itu tertutupi oleh isu lain yang tidak penting. Tiga tahun masa pemerintahannya dihantui oleh isu perpecahan internal Partai Buruh, terutama di kabinet yang beliau pimpin.
Politikus konservatif menghembuskan isu kalau Gillard tidak menikah dan tidak punya anak. Lalu juga ada pembunuhan karakter karena beliau dinilai menikam dari belakang ketika KLB tahun 2010.
Padahal, Gillard bukan satu-satunya perdana menteri yang terpilih melalui KLB. Paul Keating, mantan perdana Menteri yang juga berasal dari Partai Buruh, melakukannya pada Bob Hawke pada tahun 1991.
Sebelumnya ada William McMahon, politikus Partai Liberal yang mengambil alih kepemimpinan dari John Gorton tahun 1960an. Isu yang sebetulnya menunjukkan betapa misoginisnya politik Australia hari ini, yang sudah dengan tepat ditunjukkan Gillard ketika berdebat di DPR.
Pelajaran untuk Umat Islam Indonesia
Lalu apa yang bisa kita pelajari, terutama sebagai warga Muhammadiyah, dari Julia Gillard?
Tentu Indonesia bukan Australia. Meski dalam banyak hal ada banyak kesamaan antara budaya politik Indonesia dan Australia dalam hal seksisme dan misogini.
Tidak usah jauh-jauh. Ketika Gillard dengan lantang mengkritik misogini dan seksisme pada lawan politiknya, kita banyak melihat politikus di Indonesia yang menyalahkan perempuan ketika terjadi kekerasan seksual. Dan juga banyak politikus dan tokoh masyarakat yang merundung aktivis perempuan yang vokal di ruang publik. Tentu namanya tidak perlu disebut di sini ya, supaya tidak terkena UU ITE.
Padahal, Indonesia punya organisasi gerakan perempuan Muslim seperti ‘Aisyiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiyaah yang sejak awal punya kesadaran untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ruang publik, tentu bersama-sama organisasi yang lain. Dan tentu juga dalam banyak mendorong aturan perundang-undangan yang berpihak bagi perempuan.
Di sini, Julia Gillard memberikan kita pelajaran bahwa mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan memang butuh ongkos, dan punya banyak rintangan. Di Australia, rintangannya adalah politikus konservatif seperti John Howard dan Tony Abbott yang cenderung menganggap misogini dan seksisme dalam politik sebagai sesuatu yang normal. Lalu ada persepsi publik yang gampang teralih pada hal-hal tidak substansial daripada UU yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual, misalnya.
***
Namun di sisi lain, Julia Gillard berhasil menunjukkan bahwa seringkali kebijakan yang substansial didorong tidak dalam hingar-bingar media dan politik Jakarta. Melainkan, dalam pembangunan aliansi gerakan di dalam dan luar parlemen, juga konsolidasi isu yang kontinyu dan penuh kesabaran.
Akhirnya, meskipun Gillard hanya memimpin Australia secara singkat, kepemimpinannya berhasil membangun dasar kebijakan yang berpihak pada perempuan, yang dalam banyak hal juga dirasakan oleh pekerja dan mahasiswa Indonesia yang ada di Australia
Sehingga, dalam perspektif saya sebagai warga Muhammadiyah, ada satu hal yang bisa dipelajari: merayakan hari perempuan juga berarti mendukung dan mendorong kebijakan progresif semacam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia.
Hal ini tak terhindarkan. Bukan karena kita meniru pada apa yang ada di Australia. Tapi justru karena kita perlu melindungi kaum Muslimah di ruang publick. Dan juga memberikan ruang bagi para Muslimah untuk menyuarakan apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan mereka di dunia nyata. Dari cuti melahirkan hingga kebijakan pengupahan yang adil. Hal yang saya yakin sudah dirintis dan diperjuangkan oleh Muhammadiyah dan Aisyiah selama ini. Selamat Hari Perempuan Internasional!
Nashrun Minallah Wa Fathun Qariib.
Editor: Yahya FR