Perspektif

Kampus Merdeka: Integrasi dan Implementasi Kontribusi Perempuan

4 Mins read

Setiap 8 Maret, masyarakat dunia memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI). Peringatan ini dilakukan sejak tahun 1977. Pada hari ini, seluruh perempuan merayakan pencapaian dalam kehidupannya: kesehatan, agama, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan politik.

Sejarah telah mencatat kontribusi perempuan. Pasal 14 Perempuan Pedesaan dalam Konvensi CEDAW menyebut bahwa KDRT termasuk bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Konvensi CAT juga menjadi salah satu dia ntara kontribusi perempuan Indonesia pada mekanisme HAM internasional

#BreakTheBias, Bukan Sekadar Tema

Sekalipun kontribusi perempuan Indonesia besar, nyatanya tantangan #BreakTheBias (tema HPI) masih kuat. Tema ini menggedor kesadaran selain budaya patriarki yang mendarah-daging. Hambatan nyata pencapaian kemajuan perempuan lainnya adalah bias gender yang hadir dalam setiap nafas kehidupan. Tanpa disadari, seolah tak ada, tapi nyata.

Tubuh perempuan tidak dianggap penting atau dikesampingkan dalam kebijakan negara. Misalnya, visum at repertum, biaya perawatan kesehatan, dan pemulihan korban KDRT, perkosaan, dan incest tidak diakomodir BPJS, dikecualikan dari penyakit. Demikian pula dalam hal pendidikan, tidak menyebutkan kontribusi perempuan dan sejarah perempuan bagian dari bias gender yang sudah saatnya dipecahkan.

Mengapa sejarah perempuan, isu-isu perempuan penting dibahas melalui pendidikan? Karena kesadaran ketidakadilan gender dalam kehidupan berbangsa, bernegara harus dimulai sejak dalam pikiran, dalam proses pembelajaran, dan pengaderan. Agar kelak kesadaran itu membekas, menumbuhkan pribadi yang menghormati perempuan dan tidak melecehkan perempuan.

Kelak, ketika mahasiswi/a menjadi pimpinan, memiliki otoritas, maka kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang pro-perempuan dan anak. Tema #BreakTheBias atau memecah bias menjadi relevan dalam pendidikan, terintegrasi dalam kurikulum kampus merdeka, dan terimplementasi dalam budaya pendidikan, pengajaran, dan pengabdian masyarakat di kampus.

Kampus Merdeka: Integrasi dan Implementasi

Kampus Merdeka, Merdeka Belajar, memberikan angin segar improvisasi dosen untuk semakin mengenalkan sejarah perempuan dan menumbuhkan kesetaraan gender, empati, dan nilai-nilai sosial bagi peserta didik.

Baca Juga  Sudahkah Perempuan Berkemajuan?

Mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn—yang kemudian berubah menjadi Pancasila melalui keputusan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan presiden pada 12 Januari 2022—adalah salah satu mata kuliah yang saya integrasikan dan mengimplementasikan untuk kampus merdeka. Integrasi ini bisa dibaca lebih lanjut di Jurnal Maarif, 2021 dengan judul Refleksi Pendidikan Pancasila, Dar al-Ahdi Wa al-Syahada, dan Islam Wasathiyah; Daya Laku (Agensi) dan Paradigma Orang Muda.

Pertama, diintegrasikan dengan Al-Islam dan Kemuhammadiyah (AIK). Sebagai mata kuliah wajib, AIK merupakan catur pertama dari catur dharma perguruan Tinggi Muhammadiyah/’Aisyiyah se-Indonesia selain pendidikan, pengajaran, dan pengabdian masyarakat. Melalui AIK, mahasiswi/a diberikan penguatan keislaman, kemuhammadiyahan sebagai fondasi menapaki kehidupan.

AIK yang terintegrasi dengan PPKn diberikan pengetahuan Islam kompatibel dengan Pancasila. Persaksian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara diuraikan Muhammadiyah melalui Dar al-Ahdi Wa al-Syahada. Ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadist, as-Sunnah dibahas bersamaan dengan sila-sila dan butir-butir Pancasila.

Selain itu, mahasiswi/a dikenalkan keterlibatan, kontribusi tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam sejarah perumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945, BPUPKI dan PPKI. Seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mas Mansoer, Abdul Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo, dan Soekarno.

Kedua, sejarah perempuan. Jamak kita dengar, tertulis dalam buku-buku PPKn kontribusi pemikiran laki-laki dalam pendirian negara-bangsa, disebut founding fathers, seolah perempuan nihil kontribusi. Padahal dari 62 anggota BPUPKI, ada dua perempuan yakni Maria Ulfah Soebadio dan Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito. 
 
Di Indonesia, Maria Ulfa, perempuan pertama sarjana hukum (Meester in de Rechten atau MR) lulusan Universitas Leiden, Belanda, (1933) dan pendiri organisasi Isteri Indonesia. Ia pengajar di sekolah Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat, mengajarkan baca tulis hitung ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban (1934). 

Baca Juga  Amina Wadud: Perempuan Bukan Makhluk Inferior!

Menjadi menteri sosial Kabinet Sjahrir II dan III, perempuan pertama menduduki jabatan Menteri era Sjahrir. Kontribusi pentingnya dalam rumusan UUD 1945 adalah Pasal 27, persamaan warga negara di depan hukum serta pencetus hari buruh sedunia melalui Maklumat Kementerian Sosial.

Adapun Siti Sukaptinah, kader Nasyiatul Aisyiyah, Kepala Bagian Perempuan (Fujinkai) di kantor pusat Jawa Hokokai, Jakarta. Ia ahli nembang dan mengubah lagu, hasil belajar dari Nyi dan Ki Hajar Dewantara. Kontribusi pemikirannya adalah falsafah negara Indonesia dalam rumusan BPUPKI, dorongan belajar dan sekolah bagi anak perempuan, serta pembatasan poligami yang kala itu marak laki-laki berpoligami melalui kebijakan UU Perkawinan 1/1974, yang sebelumnya ia berpendapat melarang poligami dimasa pemerintahan Hindia-Belanda.

Lalu, Surastri Karma Trimurti (SK Trimurti), sosok pengibar bendera merah putih saat proklamasi 17/8/1945. SK Suratstri merupakan menteri tenaga kerja pertama di Indonesia (1947- 1948) di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifudin. SK Trimurti mendobrak kesadaran maraknya kekerasan seksual di tempat kerja serta sistem diskriminasi upah perempuan.

Selain tiga perempuan ini, Fatmawati, penjahit bendera merah putih, kader Nasyiatul Aisyiyah, juga disinggung. Jadi PPKn, tak kering, melulu founding fathers. Saya ubah menjadi founding parents, ibu dan bapak pendiri bangsa.

Integrasi Pancasila dan Isu Perempuan dalam Kurikulum Kampus Merdeka

Ketiga, integrasi sila-sila Pancasila dengan isu perempuan. Mahasiswi/a langsung diminta praktik setelah pembelajaran di kelas dengan melakukan: observasi pada diri sendiri, keluarga, dan komunitas atau organisasi mereka; membuat catatan untuk mendorong tahapan perubahan; melakukan perubahan; dan melaporkan hasilnya dengan membuat refleksi melalui tulisan di media (cetak atau online), jurnal, atau membuat konten video kreatif melalui YouTube Rumah Muthmainnah.

Misalnya, dikaitkan dengan Sila 1 Pancasila, pengalaman perempuan dalam beragama di komunitasnya. Sila 2 Pancasila, bagaimana adil dan beradab itu bebas dari incest, KDRT dan kekerasan seksual sejak dalam rumah/keluarga, komunitas. Persatuan Indonesia, tentang kesetaraan akses, setara perempuan dan laki-laki, tiada diskriminasi.

Baca Juga  Kampus Merdeka: Program Prematur yang Dipaksakan

Sila 4 Pancasila menekankan perempuan punya hak sama menjadi pemimpin eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pentingnya keterwakilan perempuan. Dibahas juga musyawarah mufakat bukan atas tirani mayoritas, relasi kuasa laki-laki pada perempuan, atau kuat-lemah. Sila 5 Pancasila, keadilan merata, termasuk hak-hak korban mengakses jaminan perlindungan sosial negara melalui BPJS, nila-nilai gotong-royong harus diimplementasikan dukungan korban.

Tema pemerintahan yang baik, ramai di kelas. Kasusnya Pilkada saat pandemi. Kelas dibagi pro dan kontra. Mahasiswi/a presentasi, berperan menjadi presiden, anggota DPR, masyarakat. Tema ini sekaligus memerankan Sila 4.

Berangkat dari itu, hasil temuan mahasiswi/a sangat menakjubkan, sadar bahaya hoaks. Di sisi lain mahasiswi/a menghasilkan temuan observasi Musrembang di tempat tinggalnya minim peserta perempuan, minim pembahasan isu perempuan. Rapat RT/RW melulu bahas pembangunan rumah ibadah, tidak membangun ruang hijau ramah anak.

Dalam tahapan perubahan yang mereka lakukan, ada yang mendialogkan pada ayahnya agar tak melulu perintah ibu, ada yang tergugah melakukan kerja-kerja domestik yang selama ini sebagai laki-laki tak pantas memasak, ada yang mendorong ayahnya mengusulkan ada ruang bermain bola di kompleksnya daripada membuat saung pertemuan, termasuk ada yang berefleksi, bercita-cita menjadi menteri pendidikan perempuan pertama di Indonesia, memastikan seluruh kurikulum pro perempuan.

Pada akhirnya, saya optimis, mahasiswi/a sebagai orang muda penting diajak mempraktikkan Pancasila dengan realitas sosial politik sekarang, untuk mempersiapkan kehidupan mereka selanjutnya. Dan kampus merdeka tepat menemukan pola itu. Belajar secara merdeka, tak melulu tatap muka di kelas. 

Editor: Yusuf

Avatar
12 posts

About author
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I Anggota LHKP PP Muhammadiyah I Penulis Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Articles
Related posts
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…
Perspektif

Gerhana Matahari di Penghujung Ramadan 1445 H

2 Mins read
Ramadan tahun 1445 Hijriah memiliki fenomena langit yang spesial, yakni dua peristiwa gerhana. Gerhana bulan penumbra pada 25 Maret 2024 dan gerhana…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *