Tajdida

Ragam Makna dan Tipologi Islam Liberal

5 Mins read

Islam Indonesia, Beda dengan Islam Arab

Indonesia adalah negara sekaligus bangsa yang tidak bisa dilepaskan dari Islam. Hari ini, mulai ada yang menganggap bahwa Islam hanyalah agama dan budaya impor yang tidak asli Indonesia. Mereka berpendapat begitu karena alasan psikologis dan sosiologis. Mereka muak dengan ekspresi intoleransi dari sebagian kecil pemeluk Islam. Jadinya, Islam dicoreng oleh pemeluknya sendiri.

Padahal, secara empiris Islam di Indonesia bukan hanya berjasa menciptakan budaya dan karakter bangsa kita, serta berjasa menyatukan kita melawan penindasan penjajah; melainkan, Islam juga hidup dan terlahir kembali dari dalam tanah air Indonesia (Abdul Hadi W.M, 2016).

Kita saja yang sering tidak paham, bahwa Islam di Indonesia sangat berbeda dari Islam yang diaktualisasikan di Arab, Iran, dan Turki, misalnya. Kebetulan sejak 2015 hingga 2019 saya tinggal di Turki, sehingga sedikit paham tentang perbedaan itu. Bukan asas-asas agamanya yang berbeda, melainkan kreativitas Muslim Indonesia dalam membentuk peradaban Islamnya yang berbeda.

Kreativitas Muslim Indonesia banyak diakui dan dirasakan dampaknya oleh dunia global. Ketika Timur Tengah, yang katanya tempat asal Islam, hancur akibat perang tak berkesudahan; Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, justru menjadi salah satu negara demokratis terbesar yang pernah ada.

Jangan mengira bahwa pemikir-pemikir Muslim Indonesia tak punya andil apa-apa. Islam Liberal yang pernah mereka hasilkan, secara empiris, berjasa dalam menciptakan peradaban Islam Indonesia yang damai dan demokratis. Jika hari ini Anda mudah sekali menjadi Muslim modern yang merasa aman dengan modernitas, demokrasi, dan persaudaraan bangsa; jangan dikira sikap itu lahir begitu saja. Dulu, itu semua adalah polemik. Lalu muncul pemikir Islam Liberal, memperjuangkan ide-ide tadi, dan akhirnya membumi hari ini.

Ragam Makna Islam Liberal

Anda boleh saja tidak suka dengan Islam Liberal. Saya yakin, rasa tidak suka itu muncul karena Anda mengira ia sesat. Dan biasanya, anggapan sesat itu ada karena tidak mau mengenal lebih jauh. Di sini, meski serba ringkas, saya mau mengajak Anda sedikit mengenal lebih jauh Islam Liberal.

Pertama-tama, mari kita mengetahui makna-maknanya. Dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang lalu dibukukan dengan judul Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (2011), Halid Alkaf mencatat beberapa kemungkinan makna bagi Islam Liberal.

Baca Juga  Karakteristik Khilafah dalam Perspektif Sejarah

Pertama, pengembangan pemikiran dan sikap rasional dalam memahami ajaran Islam. Kedua, kebebasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan tanpa terikat pada satu mazhab tertentu dalam Islam. Ketiga, keyakinan bahwa semua agama pada dasarnya sama, yakni menganjurkan kebajikan dan mendukung nilai-nilai kemanusiaan universal. Keempat, memperkuat upaya sekularisasi agama, dalam arti memisahkan hal-hal yang profane (duniawi) dari yang sakral (ukhrawi).

Saya bisa mengonfirmasi catatan-catatan pak Halid di atas sebagai tepat. Mungkin karena saya sempat jadi santri di Jaringan Islam Liberal (JIL) pada kurun waktu 2011-2015. Kala itu, sembari kuliah dan mondok, saya juga ikut menimba ilmu secara langsung dari Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Abd Moqsith Ghazali, dan Hamid Basyaib. Keempat makna di atas memang merupakan kepedulian utama Islam Liberal.

***

Anda mungkin akan menyanggah, dan berkata: Akal tidak bisa dipakai memahami Islam, tidak boleh sembarangan bebas menafsirkan Islam, hanya Islam agama yang benar, semua yang ada di dalam Islam adalah suci dan sakral!

Sayangnya, Anda mungkin lupa, bahwa jika bukan dengan akal, maka tidak akan bisa muncul ragam pemikiran fikih, kalam, filsafat, dan tasawuf dalam Islam. Kemudian, kebebasan yang menjadi inti ide Islam Liberal, sering disalahpahami. Kebebasan di sini bukan bebas serampangan tanpa tahu aturan, seperti pengemudi mobil ugal-ugalan. Kebebasan dalam Islam Liberal adalah kebebasan dari pendapat-pendapat lama yang cenderung disucikan.

Pluralisme agama juga sering dianggap sesat. Padahal kenyataan sosiologis dan historis di dunia, termasuk Indonesia, merekam pluralisme agama tersebut. Masalahnya, manusia suka marah jika melihat ternyata bukan dia saja satu-satunya yang benar. Apalagi jika berkaitan dengan agama. Sikap itu tentu akan meledak suatu saat. Ketika eksklusivisme dan absolutisme agama bertemu dengan kenyataan pluralitas agama, maka pertikaian, perang, dan konflik adalah ujung dari itu semua.

Tipologi Islam Liberal

Menurut Halid Alkaf, Islam Liberal di Indonesia punya genealogi yang panjang. Maksudnya, ada mata rantai silsilah sehingga pemikiran Islam Liberal bisa tumbuh di Indonesia. Biasanya, orang yang kurang informasi akan mengira hanya JIL saja yang merupakan bentuk Islam Liberal. Padahal, jauh ke belakang kita bisa menyaksikan tokoh-tokoh Muslim dunia maupun Indonesia yang bisa dikatakan termasuk Islam Liberal.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Problem Besar dari Khilafah

Akhirnya, pemikiran dan gerakan Islam Liberal di Indonesia memuncak pada beberapa nama, dan dari sana bisa dilakukan tipologisasi, atau pengkategorian berdasarkan karakteristik masing-masing. Meski tipologi ini beragam, tapi mereka tetap masuk dalam kerangka Islam Liberal, karena mengandung empat makna liberalisme Islam yang dikemukakan di atas.

Tipologi pertama adalah Modernisme Ortodoks. Tokohnya adalah Harun Nasution. Tipologi ini berangkat dari pandangan bahwa kemajuan umat Islam harus ditopang oleh semangat ilmiah, rasional, dan etos kemodernan.

Konsep modern yang ditafsirkan berakar pada prinsip kemodernan Islam dan Barat. Rujukan doktrinal yang dipakai adalah Al-Quran, hadits Nabi, serta para filsuf, ahli kalam, dan sufi yang berhasil mengembangkan etos kerja ilmiah. Menurut Alkaf, tipologi ini kurang kritis terhadap Barat sebagai entitas sosial. Modernitas Barat yang sekuler cenderung diterima begitu saja.

***

Kedua, Neomodernisme. Tokohnya adalah Nurcholish Madjid. Guru Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman, mengatakan bahwa neomodernisme diperlukan untuk melahirkan Renaisans Islam. Renaisans Islam adalah kondisi lahirnya peradaban Islam yang baru, yang diliputi oleh pemikiran ilmiah, serta tidak lagi ideologis dan dogmatis.

Gerakan ini melakukan upaya dialog segitiga antara khazanah intelektual Islam, kemodernan, dan tradisi lokal. Ia juga mencari hubungan sinergis antara nilai-nilai universal dalam agama, kemodernan, dan kemanusiaan. Ini tampak pada diri Nurcholish Madjid. Pemikiran sinergis antara Islam, kemodernan, dan keindonesiaan darinya mampu melahirkan ide-ide inklusivisme pemikiran, pluralisme agama, dan demokratisasi bangsa.

Menurut Alkaf, konstruksi keilmuan agama yang kuat, penguasaan ilmu-ilmu sosial yang matang, dan konteks sosialnya yang berasal dari lingkungan tradisional (pesantren) sekaligus lingkungan modern (berkat pengembaraannya di Barat dan Timur Tengah), menjadikan Nurcholish Madjid berbeda dari pembaru lainnya dari tipologi Modernisme Ortodoks.

Ketiga, Neotradisionalisme. Tokohnya adalah Abdurrahman Wahid. Tipologi ini berangkat dari pandangan bahwa nilai-nilai tradisi yang berkembang di masyarakat lokal bisa menjadi potensi positif bagi lahirnya gerakan intelektualisme, etos kerja, dan pembangunan bangsa.

Baca Juga  Ini Doa untuk Perempuan yang Ingin Segera Mendapatkan Jodoh

Bagi tipologi ini Islam adalah sumber yang hidup dan aktif dalam kenyataan empiris dan sosial. Islam tidak terjebak dalam kitab suci maupun kitab kuning semata. Tugas kitalah untuk menerjemahkannya dalam konteks Indonesia. Gus Dur menyebutnya dengan Pribumisasi Islam.

Keempat, Rasionalisme-Radikal. JIL adalah representasinya di Indonesia. Meski begitu, tipologi ini sebenarnya bisa ditemukan akar-akar historisnya pada masa keemasan Islam, seperti diwakili oleh tokoh-tokoh rasionalisme Islam klasik seperti Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.

Menurut Alkaf, tipologi ini didasarkan pada pandangan bahwa akal dan agama tidak mungkin bertentangan. Bahkan, agama tanpa akal hanya akan melahirkan pemahaman dan praktik keagamaan yang mengarah pada fundamentalisme-radikal, hingga melahirkan sikap dan perilaku keagamaan yang destruktif.

Masa Depan Islam Liberal

Akhirnya, kita patut merenungkan bagaimana nasib pemikiran Islam Liberal di Indonesia. Menurut Mark Juergensmeyer dalam bukunya Global Religions: An Introduction (2003), di hampir setiap sudut dunia, fundamentalisme keagamaan justru mengalami musim semi.

Pemikiran keagamaan yang cenderung intoleran ini bisa dipicu oleh banyak hal. Tapi hal-hal tersebut jauh lebih sebagai bensin yang memperbesar ukuran api. Api itu sendiri selalu ada dan mengintai peradaban global.

Belum lama ini, kita dikagetkan dengan pembunuhan seorang guru di Prancis. Katanya guru itu melecehkan Nabi Muhammad di hadapan murid-muridnya. Guru itu pun dibunuh oleh seorang Muslim fundamentalis. Tak disangka, ternyata berita bahwa guru itu melecehkan Nabi adalah kebohongan yang disebar salah satu muridnya.

Ketika kabar bahwa ada guru yang menghina Nabi tersebar, tanpa terlebih dahulu memeriksa kebenaran berita, seluruh dunia Islam kebakaran jenggot. Mulai dari Erdogan sampai Jokowi terkena tipu daya berita bohong ini.

Apa artinya ini semua? Bisa jadi ini berarti sikap kita dalam beragama masih sangat dogmatis dan ideologis. Kita beragama seperti orang yang sedang berada dalam medan tempur menghadapi musuh dan tentara iblis. Kita perlu Islam yang lebih damai, ramah, dan berorientasi kemajuan. Islam Liberal pernah memperjuangkan itu semua. Sayangnya, pemikiran dan gerakan Islam yang progresif ini sudah kadung dicap sesat.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds